Jokowi Dipandang Terlalu Akomodatif Pada Parpol Pendukung
A
A
A
JAKARTA - Jelang 100 hari kerja pemerintahan Jokowi-JK, realisasi Nawacita dan Trisakti seperti apa yang dijanjikan Jokowi sebelumnya semakin jauh dari ekspektasi publik. Bahkan, Jokowi menjadi terlalu akomodatif terhadap kepentingan tokoh-tokoh partai politik (parpol) pendukung pemerintahan.
“Jokowi sangat akomodatif dengan kepentingan tokoh-tokoh partai anggota koalisi, padahal sekutu sesungguhnya Jokowi adalah rakyat,” kata Peneliti dari Indonesian Institute for Development and Democracy (INDED) Arif Susanto dalam diskusi yang bertajuk “Politik 2015: Berpihak Kepada Siapa?” di Dre’s Kopitiam Sabang, Jakarta, Minggu (11/1/2015).
Arif berpendapat, hal ini mengindikasikan lemahnya daya cengkeram kekuasaan Jokowi sebagai orang nomor satu di Indonesia. Padahal, Jokowi memiliki modal legitimasi yang kuat, karena telah dipilih langsung oleh lebih dari 50% penduduk Indonesia pada Pilpres 2014 lalu.
“Hal ini sangat terlihat ketika pengangkatan sejumlah pejabat negara, dan dalam membuat kebijakan di bidang energi seperti BBM bersubsidi dan gas elpiji,” jelas Arif.
Bahkan, Arif menilai, Jokowi seringkali mengambil kebijakan secara sepihak dan minim musyawarah. Terlepas dari kondisi DPR dimana dua kubu sedang berselisih, setidaknya pemerintah dapat meminta berbagai masukan masyarakat sebagai bahan pertimbangan sebelum mengambil suatu kebijakan.
“Faktanya, Jokowi meralat kebijakan yang telah diambil sebelumnya, harga BBM dinaikan Rp2.500 kemudian diturunkan Rp900,” ujar Arif.
Arif menambahkan, Jokowi terlalu sering mengurusi hal yang bersifat teknis. Padahal, presiden seharusnya lebih memikirkan hal-hal yang bersifat strategis.
"Alih-alih menunjukkan segi presiden yang berorientasi kerja, Jokowi justru menunjukkan kelemahannya dalam kendali kekuasaan. Misalnya, Jokowi yang melakukan penataan ruang wartawan istana,” pungkasnya.
“Jokowi sangat akomodatif dengan kepentingan tokoh-tokoh partai anggota koalisi, padahal sekutu sesungguhnya Jokowi adalah rakyat,” kata Peneliti dari Indonesian Institute for Development and Democracy (INDED) Arif Susanto dalam diskusi yang bertajuk “Politik 2015: Berpihak Kepada Siapa?” di Dre’s Kopitiam Sabang, Jakarta, Minggu (11/1/2015).
Arif berpendapat, hal ini mengindikasikan lemahnya daya cengkeram kekuasaan Jokowi sebagai orang nomor satu di Indonesia. Padahal, Jokowi memiliki modal legitimasi yang kuat, karena telah dipilih langsung oleh lebih dari 50% penduduk Indonesia pada Pilpres 2014 lalu.
“Hal ini sangat terlihat ketika pengangkatan sejumlah pejabat negara, dan dalam membuat kebijakan di bidang energi seperti BBM bersubsidi dan gas elpiji,” jelas Arif.
Bahkan, Arif menilai, Jokowi seringkali mengambil kebijakan secara sepihak dan minim musyawarah. Terlepas dari kondisi DPR dimana dua kubu sedang berselisih, setidaknya pemerintah dapat meminta berbagai masukan masyarakat sebagai bahan pertimbangan sebelum mengambil suatu kebijakan.
“Faktanya, Jokowi meralat kebijakan yang telah diambil sebelumnya, harga BBM dinaikan Rp2.500 kemudian diturunkan Rp900,” ujar Arif.
Arif menambahkan, Jokowi terlalu sering mengurusi hal yang bersifat teknis. Padahal, presiden seharusnya lebih memikirkan hal-hal yang bersifat strategis.
"Alih-alih menunjukkan segi presiden yang berorientasi kerja, Jokowi justru menunjukkan kelemahannya dalam kendali kekuasaan. Misalnya, Jokowi yang melakukan penataan ruang wartawan istana,” pungkasnya.
(kri)