Sembilan Saksi Ungkap Pidana Romi Herton

Jum'at, 09 Januari 2015 - 10:03 WIB
Sembilan Saksi Ungkap...
Sembilan Saksi Ungkap Pidana Romi Herton
A A A
JAKARTA - Sembilan saksi kunci mengungkap proses pidana pengurusan sengketa Pilkada Kota Palembang, Sumatera Selatan dan pemberian suap dengan terdakwa Wali Kota Palembang nonaktif Romi Herton dan istrinya, Masyito, kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar.

Para saksi kunci itu dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang lanjutan terdakwa Romi dan Masyito di Pengadilan Tipikor Jakarta kemarin. Mereka adalah Miko Fanji Tirtayasa (mantan pegawai PT Promic), Dicky Wahyudi (mantan pegawai PT Promic), Srino (mantan sopir Muhtar Ependy), Iwan Sutaryadi (mantan wakil pimpinan BPD Kalbar Cabang Jakarta), Rika Fatmawati (karyawati BPD Kalbar/kepala teller ), Risna Hasrilianti (karyawati BPD Kalbar/ teller ), Nur Affandi (satpam BPD), dan Heri Purnomo (satpam BPD Kalbar).

Dalam sidang itu, JPU juga menghadirkan dua saksi lain yakni Liza Merliani Sako (orang dekat Romi dan mantan direktur Romi Herton Foundation) dan Muhtar Ependy (pemilik PT Promic Internasional sekaligus orang dekat M Akil Mochtar). Proses pidana yang diduga dilakukan Romi Herton dan istrinya tersebut terbagi ke dalam empat bagian.

Pertama , permintaan pengurusan Romi Herton melalui Muhtar Ependy. Kedua, lobi dan pertemuan di Gedung MK. Ketiga , eksekusi suap lewat transfer di BPD Kalbar Cabang Jakarta. Keempat , pemesanan atribut kampanye dan pelantikan Romi Herton. Miko Fanji Tirtayasa menyatakan, awal mula suap sebenarnya dari pemesanan atribut pilkada oleh Romi Herton dan pasangannya, Harno Joyo, sebelum Mei 2013.

Di sela-sela itu Muhtar membuat kartu nama sebagai konsultan hukum yang beperkara di MK. Padahal, background pendidikannya bukan sarjana hukum. Setelah pemesanan itu, pada Mei 2013 Miko mengantar Muhtar ke sebuah tempat. Di tengah jalan Muhtar menerima telepon dari seseorang yang disebut dengan kode atau sandi “Kiai Palembang”.

“Handphone-nya di loudspeaker . Waktu itu saya tidak tahu kiai itu siapa, tapi minta tolong pihaknya dizalimi dalam perkara pilkada. Bapak bilang akan sampaikan ke bos besar lalu tutup telepon,” ungkap Miko di depan majelis hakim kemarin. Belakangan Muhtar menceritakan sandi “Kiai Palembang” itu untuk sebutan Romi Herton.

Sedangkan sandi “bos besar”, Miko mengaku baru tahu dari gambar BlackBerry Massanger (BBM) Muhtar yang ada gambar lambang garuda sebuah ruangan di MK. Ternyata, itu ruangan M Akil Mochtar. Artinya, sandi “bos besar” yang dimaksud adalah Akil Mochtar. Berikutnya, Miko disuruh datang meliput sidang di MK.

Belakangan Miko baru tahu sengketa yang diliputnya dengan menggunakan handycam adalah sidang perkara Pilkada Palembang. Saat itu Muhtar dihubungi dua kali oleh Romi. Dalam pembicaraannya, Muhtar mengatakan, “bos besar” meminta uang dengan sandi “pempek” dan di bungkus dalam tiga dus.

“Bos besar minta pempek tiga dus ke Kiai Palembang. Pengirimannya saya tidak tahu bagaimana,” ungkap Miko. Dia melanjutkan, Muhtar beberapa kali hadir di MK baik saat sidang kesaksian maupun putusan. Untuk memuluskan aksinya, Muhtar acapkali menghubungi sekuriti MK untuk menanyakan jadwal sidang.

Muhtar bahkan menemui Akil Mochtar membicarakan dan melobi sengketa pilkada. Miko melanjutkan, dirinya bersama Muhtar menghadiri sidang putusan Pilkada Palembang di MK pada 20 Mei. Saat duduk di bangku pengunjung, Muhtar mengatakan kepada Miko bahwa Romi sudah menang. Padahal, pembacaan putusan akhir belum selesai.

“Berita ini dari bos besar, Pak Akil maksudnya. Ini disampaikan ke saudara Romi. Pak Muhtar bilang, kiai itu Pak Romi yang dizalimi pihak lawan,” papar Miko. Berselang beberapa hari setelah putusan, pasangan Romi-Harno memesan suvenir pelantikan. Pemesanan ini diketahui dari Lia Tri Tirtasari, istri Muhtar Ependy. Lia juga yang memerintahkan pembelian suvenir tersebut. Lia juga berkomunikasi dengan istri Romi, Masyito, berkaitan dengan pemesanan itu.

“Bu Lia dan Bu Masyito masih kerabat jauh. Bu Lia perintahkan ke saya, tapi akhirnya telepon langsung ke Cibinong (Kantor Promic),” ungkap Miko. Selain itu, Muhtar juga turut mengurusi penundaan pelantikan bupati Banyuasin. Masih pada 2013 sekitar Ramadan, Muhtar juga menerima pemesanan dan pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Lawang dari Budi Antoni Aljufri. Saat itu, ujarnya, ada telepon masuk dari Budi Antoni.

Berikutnya terjadi pertemuan Muhtar dan Budi di Kelapa Gading, Jakarta. Miko yang ikut menemani membeberkan ada kesepakatan pemberian uang untuk “bos besar”. “Itu sekitar Juni atau Juli itu dari Haji Budi Antoni,” ungkapnya. Dia juga mengaku pernah mengantar Muhtar Ependy ke Kantor BPD Kalbar mengambil pesanan uang untuk Akil atau yang disebut dengan sandi “pempek”.

Iwan Sutaryadi, Rika Fatmawati, dan Risna Hasrilianti membenarkan pada 13 Mei 2013 Masyito datang bersama rombonganditemaniMuhtarEpendy ke Kantor BPD Kalbar. Salah satu rombongan adalah Liza Merliani Sako. Ketiganya membenarkan ada uang Rp11,395 miliar dan USD316.700 yang disetor. “Yang datang menyerahkan uang itu benar (di antaranya) Masyito, Muhtar Ependy, dan Liza Sako. Sempat salaman,” ungkap Iwan Sutaryadi yang dibenarkan oleh saksi Rika dan Risna.

Namun, Liza Merliani Sako membantah pernah datang ke BPD Kalbar untuk membawa uang bersama Masyito dan Muhtar. “Saya tidak pernah dan saya yakin tidak pernah hadir ke BPD Kalbar,” ungkap Liza. Mendengar pengakuan ini, Ketua JPU Pulung Rinandoro dan anggota majelis hakim Supriyono langsung mencecar pertanyaan kepada Liza.

Keterangan Liza yang berbelit-belit ini membuat Supriyono mengingatkan bahwa Liza sudah disumpah. Supriyono meyakini ada di antara keterangan Liza yang tidak benar. “Saya ingatkan posisi. Kalau terjadi sumpah palsu, akan terjadi di sini lagi. Ini kan jadi saksi kok mau berbohong. Kalau jadi sumpah palsu, akan jadi terdakwa. Kita bisa menilai nanti, silakan,” ucap Supriyono.

Sabir laluhu
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0723 seconds (0.1#10.140)