Meliterasikan Generasi Indonesia
A
A
A
Dalam membicarakan tahun 2015 ada sejarah yang perlu kita ingat yakni Soekarno dalam buku Iwan Siswo, Panca Azimat Revolusi Jilid II (2014), pernah meneguhkan pada 17 Agustus 1959 sebagai tahun teristimewa.
Menurut Soekarno, tahun tersebutlah di mana kita sesudah pengalaman pahit hampir sepuluh tahun kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Tahunnya kita kembali pada jiwa revolusi dan tahunnya penemuan kembali revolusi lengkapnya pada 1959 adalah tahun “Rediscovery of our revolution“.
Soekarno pada tahun-tahun sebelum 1959 dengan susah payahnya meladeni pergolakan politik prakemerdekaan sampai pasca kemerdekaan dengan beberapa kali mencoba landasan untuk Indonesia yang tepat akhirnya menemukan kembali asas yang sah yakni kembali ke UUD 1945 untuk Indonesia. Maka itu, tak ayal pada 2015 pun pemimpin Indonesia saat ini harus mampu mengembalikan wajah Indonesia pada budaya literasi berbasis pendidikan.
Bukan kenistaan bahwa kekuatan literasi adalah spirit untuk membangkitkan peradaban bangsa. Dalam buku Tim Kreatif LKM UNJ, Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya (2011), Reza Toufik mengisahkan peradaban Yunani kuno, kekuatan literasi filsuf Yunani mampu menguasai alam helenistik. Bukan hanya itu, kekuatan literasi bahkan mampu memajukan bangsa seperti Jepang, Amerika, dan China.
Pertanyaannya, bagaimana bangsa Indonesia bisa melangkah selangkah demi selangkah jika literasi yang dimotori dalam dunia pendidikan tidak mampu mewadahi mereka hingga akhirnya membuat orang terpingkal- pingkal dan terjungkal ke dalam jurang kebodohan? Kenyataan ini bukanlah hal yang harus ditakuti semata, melainkan harus ditindaklanjuti agar pada gilirannya kelak memang tidak terjadi.
Peran pemerintah dalam hal ini haruslah mengerti soal peradaban manusia sebagai proses pembangunan memajukan peradaban pengetahuan bangsa, bukan malah seakan mengesampingkan persoalan dari kenyataan. Dalam upaya meliterasikan generasi keutamaan memperhatikan lembaga pendidikan sebuah keniscayaan yang tak terpungkiri.
Masyarakat, guru, dan pemerintah wajib menjadi tokoh utamanya. Dengan begitu, kelak kita berharap wajah peradaban manusia di bumi yang menjadi panutan di kemudian hari tidak lain adalah bangsa kita sendiri. Semoga.
Menurut Soekarno, tahun tersebutlah di mana kita sesudah pengalaman pahit hampir sepuluh tahun kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Tahunnya kita kembali pada jiwa revolusi dan tahunnya penemuan kembali revolusi lengkapnya pada 1959 adalah tahun “Rediscovery of our revolution“.
Soekarno pada tahun-tahun sebelum 1959 dengan susah payahnya meladeni pergolakan politik prakemerdekaan sampai pasca kemerdekaan dengan beberapa kali mencoba landasan untuk Indonesia yang tepat akhirnya menemukan kembali asas yang sah yakni kembali ke UUD 1945 untuk Indonesia. Maka itu, tak ayal pada 2015 pun pemimpin Indonesia saat ini harus mampu mengembalikan wajah Indonesia pada budaya literasi berbasis pendidikan.
Bukan kenistaan bahwa kekuatan literasi adalah spirit untuk membangkitkan peradaban bangsa. Dalam buku Tim Kreatif LKM UNJ, Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya (2011), Reza Toufik mengisahkan peradaban Yunani kuno, kekuatan literasi filsuf Yunani mampu menguasai alam helenistik. Bukan hanya itu, kekuatan literasi bahkan mampu memajukan bangsa seperti Jepang, Amerika, dan China.
Pertanyaannya, bagaimana bangsa Indonesia bisa melangkah selangkah demi selangkah jika literasi yang dimotori dalam dunia pendidikan tidak mampu mewadahi mereka hingga akhirnya membuat orang terpingkal- pingkal dan terjungkal ke dalam jurang kebodohan? Kenyataan ini bukanlah hal yang harus ditakuti semata, melainkan harus ditindaklanjuti agar pada gilirannya kelak memang tidak terjadi.
Peran pemerintah dalam hal ini haruslah mengerti soal peradaban manusia sebagai proses pembangunan memajukan peradaban pengetahuan bangsa, bukan malah seakan mengesampingkan persoalan dari kenyataan. Dalam upaya meliterasikan generasi keutamaan memperhatikan lembaga pendidikan sebuah keniscayaan yang tak terpungkiri.
Masyarakat, guru, dan pemerintah wajib menjadi tokoh utamanya. Dengan begitu, kelak kita berharap wajah peradaban manusia di bumi yang menjadi panutan di kemudian hari tidak lain adalah bangsa kita sendiri. Semoga.
(bbg)