Tabir di Balik Data Kemiskinan
A
A
A
Sebelum tahun baru temanteman saya yang bekerja pada bidang sosial ekonomi di Badan Pusat Statistik (BPS) pusat tidak mau diganggu. Mereka minta maaf karena pada 2 Januari 2015 pengumuman tentang kondisi data kemiskinan di Indonesia.
Data yang diumumkan adalah kondisi capaian angka kemiskinan pada September 2014. Dengan begitu, sedikit ada pembaharuan data kemiskinan yang sebelumnya menggambarkan kondisi pada Maret 2014. Bisa dimaklumi tentunya. Namun, sekaligus menyempurnakan series data kemiskinan selama lima tahun terakhir, sejak periode kepresidenan Bapak SBY dan Boediono.
Data kemiskinan tahun terakhir dapat dianggap sebagai baseline dari kondisi kemiskinan. Sebagaimana biasanya, data kemiskinan ditampilkan dengan menggunakan patokan penetapan garis kemiskinan. Secara nasional persentase kemiskinan sudah dapat diturunkan menjadi 10,96% pada 2014 di mana pada 2009 angkanya mencapai 14,15%.
Berarti, selama lima tahun terakhir penurunan kemiskinan dapat ditekan sebesar 3,19 poin yang menyisakan jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 27,73 juta orang. Penurunan kemiskinan setiap tahun tidak sampai satu juta orang (menurut head count). Dengan capaian laju pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 5,1-5,3% selama lima tahun terakhir, tampaknya indeks penurunan kemiskinan semakin lama semakin menurun.
Artinya, sensitivitas pembangunan semakin kurang menurunkan angka kemiskinan. Karena itu, mesti dipikir ulang ketika pemerintahan baru menargetkan angka kemiskinan tersisa 5% pada 2019 mesti dengan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, setidaknya kisaran 7% bisa dicapai tentunya dengan sasaran yang lebih terarah. Semakin rendahnya angka kemiskinan pada lima tahun terakhir dimungkinkan terjadi mengingat perekonomian nasional mendapatkan bonanza.
Penyumbang bonanza itu dari membaiknya harga komoditas pertanian, besarnya tingkat remitansi para buruh Indonesia dari luar negeri, dan intensitas program kemiskinan melalui program nasional dan dilanjutkan di daerah-daerah. Kajian penulis menemukan alokasi belanja pemerintah pusat yang sensitif terhadap penurunan kemiskinan adalah pengeluaran per kepala untuk pendidikan, pengeluaran per kepala untuk kesehatan, dan pengeluaran per kepala untuk program perumahan.
Sementara pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur dan sektor lain tidak signifikan berdampak dalam pengurangan kemiskinan. Ini sinyal bahwa alokasi investasi selama ini di luar tiga sektor itu justru lebih sensitif meningkatkan penghasilan kelompok masyarakat perkotaan serta kecenderungan pada lokasi- lokasi tertentu.
Dampak lanjutan bisa dimengerti ketika kemiskinan sedikit turun, angka ketimpangan pembangunan justru naik menggila. Potensial kemiskinan sebenarnya besar ketika terjadi perubahan eksternal external shocks, berupa melemahnya harga komoditas internasional, khususnyapertanian, termasukjugaperubahan cuaca yang tidak menentu seperti kabut asap, kebakaran, dan kekeringan. Jumlah penduduk di kisaran garis kemiskinan merupakan sebuah tantangan yang masih besar di Indonesia.
Pemuda Aktif
Memang data kemiskinan kita menunjukkan penurunan dibandingkan kondisi sebelumnya. Namun, jika kita sepakat untuk menggunakan standar Bank Dunia, penduduk miskin di bawah USD2, jumlah kemiskinan di Indonesia diperkirakan akan lebih dari dua kali lipat dari kondisi sekarang. Secara implisit berarti, persoalan kemiskinan sedikit bergeser dari kondisi di bawah garis kemiskinan ke persoalan kemiskinan yang berada pada sekitar-sekitar kemiskinan.
Jika penurunan kemiskinan itu bisa disebabkan oleh semakin banyak orang bekerja atau semakin meningkat produktivitas kerja, jumlah penduduk usia kerja yang menganggur juga menurun secara absolut. Pada 2007 misalnya sebanyak 10,0 juta orang (9,1%) penduduk sedang mencari pekerjaan, dapat menurun menjadi 8,3 juta orang (7,2%) pada 2010, dan dilanjutkan penurunannya pada 2013 menjadi 7,4 juta orang (6,3%).
Sedikit penurunan angka pengangguran terbuka pada akhir-akhir ini akan berfluktuasi, biasanya pada laporan Maret jumlah pencari kerja meningkat, setelah selesainya wisuda akhir tahun, sementararekrutmenbelum terjadi. Dengan begitu, angka pengangguran anak muda dan berpendidikan biasanya kembali rendah pada laporan data Susenas pada September.
Mereka yang menganggur anak muda dan berpendidikan dianggap sebagai pemuda potensial karena mereka jika tidak bekerja justru membebankan ekonomi rumah tangga. Justru ketika dapat didorong agar mereka dapat bekerja, pemuda merupakan potensi untuk membayar pajak dari hasil pekerjaan mereka.
Banyak yang membahas tentang pengangguran ini. Salah satunya laporan Bank Dunia tentang “Memenuhi Keterampilan Kerja Anak Muda” yang berisikan bahwa pendidikan kita belummeningkatkankemampuan kognitif yang cukup dan belum meningkatkan keterampilan dan soft skills pencari kerja. Hal yang sama juga dijumpai di berbagai negara seperti Mesir, India, dan Bangladesh. Tugas menyediakan proses keterampilan untuk anak muda sungguh mulia akan mampu memecahkan apa yang ada dalam tirai kemiskinan di Indonesia.
Pemuda Pasif
Dimensi yang sangat merisaukan kita adalah ketika angka pengangguran sekitar 17,4 juta pada kondisi terakhir, para pencari kerja itu masih optimistis, mereka masih berupaya mencari kerja. Dimensi lain adalah masuknya kelompok pemuda usia 15-24 tahun yang masuk kategori tidak bekerja, tidak sedang mencari pekerjaan, tidak sekolah, dan tidak berumah tangga.
Mereka menjawab ketika Susenas dilakukan berstatus “lainnya”. Kelompok ini fenomena baru di balik data kemiskinan yang menurun di Indonesia. Justru kelompok penduduk yang menjawab “lainnya”/ ”idle“, atau pemuda malas justru mengalami peningkatan yang sangat merisaukan kita. Pada 2007 di Indonesia jumlah yang masuk kategori “lainnya” ini sebanyak 8,4 juta orang, meningkat menjadi 8,5 juta pada 2010 dan data terakhir tetap mengalami peningkatan menjadi 8,7 juta orang pada 2013.
Mereka ini adalah malas dan pasif, sekitar 25% berusia tua, namun sebanyak seperempat adalah berusia muda. Jika kita jumlahkan, sebenarnya bobot masalah baru pengangguran dan “idle“ menjadi 16,1 juta. Sebuah angka yang fantastis di balik sedikit penurunan angka kemiskinan nasional. Bagaimana kita menjelaskan fenomena ini? Sulit menjelaskan siapa yang masuk kategori “idle” ini.
Memang pada kisaran 25% di antaranya orang tua dan mereka memang tidak akan menjadi pekerja lagi. Tetapi, jumlah anak muda yang masuk kategori ini sebenarnya menunjukkan peningkatan yang tinggi. Kita bisa berdalih mereka ini menunggu untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang berikutnya atau menunggu untuk berkeluarga.
Atau sama sekali tidak tahu mau melakukan apa karena tidak memiliki keterampilan. Kalau mau berusaha, sebagian besar mereka tidak memiliki keterampilan kerja atau tinggal dengan orang tua yang juga miskin. Di negara maju mereka yang masuk kategori “idle” ini juga besar, namun “idle” karena cacat hanya pada kisaran 2-3%.
Pada umumnya karena kemiskinan dan termasuk tersangkut dengan proses hukum akibat tindakan kriminal. Berjalan jalanlah ke desadesa akan ketahuan banyak kelompok anak-anak muda yang duduk di dekat balai pemuda yang tidak tentu pekerjaan. Atau, lihat di perempatan jalan di perkotaan, sekarang anakanak usia sekolah dasar (SD) saja sudah berani mencari uang mengatur lalu lintas.
Lihatkah di sudut-sudut kedai, akan kelihatan kelompok pemuda yang main domino dan gaple membuang waktu. Sekiranya kita wawancarai mereka, apakah mereka mendapatkan akses terhadap program- program pembangunan yang memihak kepada pendayagunaan mereka menjadi produktif, jawabannya akan nihil.
Program tentang pengangguran dan bahkan untuk mereka yang malas luput dari program pembangunan. Gejala absensinya negara terhadap fenomena ini menjadi sangat jelas. Sudah saatnya program khusus difokuskan oleh pemerintahan baru serta dikonkretkan operasionalnya oleh masing- masing pemerintahan daerah.
Menyiapkan generasi muda untuk mau bekerja dan meningkatkan nilai tambah. Jika kita ingin memperoleh sumber pemasukan di daerah semakin meningkat serta mengurangi problema unofficial economy bagi anak-anak muda, program untuk mereka mesti disiapkan sesegera mungkin.
Caranya? Pertama, mari petakan mereka per kelurahan. Kedua, ajak mereka berdiskusi apa yang mereka perlukan. Ketiga, sediakan pemuda penggerak yang akan meningkatkan motivasi kerja. Keempat, kembangkan pusat keterampilan per nagari/kelurahan, dan siapkan program insentif bagi mereka yang ingin melakukan kegiatan. Programkan dalam baliho meningkatkan semangat kerja mereka. Itu baru maknyus.
Data yang diumumkan adalah kondisi capaian angka kemiskinan pada September 2014. Dengan begitu, sedikit ada pembaharuan data kemiskinan yang sebelumnya menggambarkan kondisi pada Maret 2014. Bisa dimaklumi tentunya. Namun, sekaligus menyempurnakan series data kemiskinan selama lima tahun terakhir, sejak periode kepresidenan Bapak SBY dan Boediono.
Data kemiskinan tahun terakhir dapat dianggap sebagai baseline dari kondisi kemiskinan. Sebagaimana biasanya, data kemiskinan ditampilkan dengan menggunakan patokan penetapan garis kemiskinan. Secara nasional persentase kemiskinan sudah dapat diturunkan menjadi 10,96% pada 2014 di mana pada 2009 angkanya mencapai 14,15%.
Berarti, selama lima tahun terakhir penurunan kemiskinan dapat ditekan sebesar 3,19 poin yang menyisakan jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 27,73 juta orang. Penurunan kemiskinan setiap tahun tidak sampai satu juta orang (menurut head count). Dengan capaian laju pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 5,1-5,3% selama lima tahun terakhir, tampaknya indeks penurunan kemiskinan semakin lama semakin menurun.
Artinya, sensitivitas pembangunan semakin kurang menurunkan angka kemiskinan. Karena itu, mesti dipikir ulang ketika pemerintahan baru menargetkan angka kemiskinan tersisa 5% pada 2019 mesti dengan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, setidaknya kisaran 7% bisa dicapai tentunya dengan sasaran yang lebih terarah. Semakin rendahnya angka kemiskinan pada lima tahun terakhir dimungkinkan terjadi mengingat perekonomian nasional mendapatkan bonanza.
Penyumbang bonanza itu dari membaiknya harga komoditas pertanian, besarnya tingkat remitansi para buruh Indonesia dari luar negeri, dan intensitas program kemiskinan melalui program nasional dan dilanjutkan di daerah-daerah. Kajian penulis menemukan alokasi belanja pemerintah pusat yang sensitif terhadap penurunan kemiskinan adalah pengeluaran per kepala untuk pendidikan, pengeluaran per kepala untuk kesehatan, dan pengeluaran per kepala untuk program perumahan.
Sementara pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur dan sektor lain tidak signifikan berdampak dalam pengurangan kemiskinan. Ini sinyal bahwa alokasi investasi selama ini di luar tiga sektor itu justru lebih sensitif meningkatkan penghasilan kelompok masyarakat perkotaan serta kecenderungan pada lokasi- lokasi tertentu.
Dampak lanjutan bisa dimengerti ketika kemiskinan sedikit turun, angka ketimpangan pembangunan justru naik menggila. Potensial kemiskinan sebenarnya besar ketika terjadi perubahan eksternal external shocks, berupa melemahnya harga komoditas internasional, khususnyapertanian, termasukjugaperubahan cuaca yang tidak menentu seperti kabut asap, kebakaran, dan kekeringan. Jumlah penduduk di kisaran garis kemiskinan merupakan sebuah tantangan yang masih besar di Indonesia.
Pemuda Aktif
Memang data kemiskinan kita menunjukkan penurunan dibandingkan kondisi sebelumnya. Namun, jika kita sepakat untuk menggunakan standar Bank Dunia, penduduk miskin di bawah USD2, jumlah kemiskinan di Indonesia diperkirakan akan lebih dari dua kali lipat dari kondisi sekarang. Secara implisit berarti, persoalan kemiskinan sedikit bergeser dari kondisi di bawah garis kemiskinan ke persoalan kemiskinan yang berada pada sekitar-sekitar kemiskinan.
Jika penurunan kemiskinan itu bisa disebabkan oleh semakin banyak orang bekerja atau semakin meningkat produktivitas kerja, jumlah penduduk usia kerja yang menganggur juga menurun secara absolut. Pada 2007 misalnya sebanyak 10,0 juta orang (9,1%) penduduk sedang mencari pekerjaan, dapat menurun menjadi 8,3 juta orang (7,2%) pada 2010, dan dilanjutkan penurunannya pada 2013 menjadi 7,4 juta orang (6,3%).
Sedikit penurunan angka pengangguran terbuka pada akhir-akhir ini akan berfluktuasi, biasanya pada laporan Maret jumlah pencari kerja meningkat, setelah selesainya wisuda akhir tahun, sementararekrutmenbelum terjadi. Dengan begitu, angka pengangguran anak muda dan berpendidikan biasanya kembali rendah pada laporan data Susenas pada September.
Mereka yang menganggur anak muda dan berpendidikan dianggap sebagai pemuda potensial karena mereka jika tidak bekerja justru membebankan ekonomi rumah tangga. Justru ketika dapat didorong agar mereka dapat bekerja, pemuda merupakan potensi untuk membayar pajak dari hasil pekerjaan mereka.
Banyak yang membahas tentang pengangguran ini. Salah satunya laporan Bank Dunia tentang “Memenuhi Keterampilan Kerja Anak Muda” yang berisikan bahwa pendidikan kita belummeningkatkankemampuan kognitif yang cukup dan belum meningkatkan keterampilan dan soft skills pencari kerja. Hal yang sama juga dijumpai di berbagai negara seperti Mesir, India, dan Bangladesh. Tugas menyediakan proses keterampilan untuk anak muda sungguh mulia akan mampu memecahkan apa yang ada dalam tirai kemiskinan di Indonesia.
Pemuda Pasif
Dimensi yang sangat merisaukan kita adalah ketika angka pengangguran sekitar 17,4 juta pada kondisi terakhir, para pencari kerja itu masih optimistis, mereka masih berupaya mencari kerja. Dimensi lain adalah masuknya kelompok pemuda usia 15-24 tahun yang masuk kategori tidak bekerja, tidak sedang mencari pekerjaan, tidak sekolah, dan tidak berumah tangga.
Mereka menjawab ketika Susenas dilakukan berstatus “lainnya”. Kelompok ini fenomena baru di balik data kemiskinan yang menurun di Indonesia. Justru kelompok penduduk yang menjawab “lainnya”/ ”idle“, atau pemuda malas justru mengalami peningkatan yang sangat merisaukan kita. Pada 2007 di Indonesia jumlah yang masuk kategori “lainnya” ini sebanyak 8,4 juta orang, meningkat menjadi 8,5 juta pada 2010 dan data terakhir tetap mengalami peningkatan menjadi 8,7 juta orang pada 2013.
Mereka ini adalah malas dan pasif, sekitar 25% berusia tua, namun sebanyak seperempat adalah berusia muda. Jika kita jumlahkan, sebenarnya bobot masalah baru pengangguran dan “idle“ menjadi 16,1 juta. Sebuah angka yang fantastis di balik sedikit penurunan angka kemiskinan nasional. Bagaimana kita menjelaskan fenomena ini? Sulit menjelaskan siapa yang masuk kategori “idle” ini.
Memang pada kisaran 25% di antaranya orang tua dan mereka memang tidak akan menjadi pekerja lagi. Tetapi, jumlah anak muda yang masuk kategori ini sebenarnya menunjukkan peningkatan yang tinggi. Kita bisa berdalih mereka ini menunggu untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang berikutnya atau menunggu untuk berkeluarga.
Atau sama sekali tidak tahu mau melakukan apa karena tidak memiliki keterampilan. Kalau mau berusaha, sebagian besar mereka tidak memiliki keterampilan kerja atau tinggal dengan orang tua yang juga miskin. Di negara maju mereka yang masuk kategori “idle” ini juga besar, namun “idle” karena cacat hanya pada kisaran 2-3%.
Pada umumnya karena kemiskinan dan termasuk tersangkut dengan proses hukum akibat tindakan kriminal. Berjalan jalanlah ke desadesa akan ketahuan banyak kelompok anak-anak muda yang duduk di dekat balai pemuda yang tidak tentu pekerjaan. Atau, lihat di perempatan jalan di perkotaan, sekarang anakanak usia sekolah dasar (SD) saja sudah berani mencari uang mengatur lalu lintas.
Lihatkah di sudut-sudut kedai, akan kelihatan kelompok pemuda yang main domino dan gaple membuang waktu. Sekiranya kita wawancarai mereka, apakah mereka mendapatkan akses terhadap program- program pembangunan yang memihak kepada pendayagunaan mereka menjadi produktif, jawabannya akan nihil.
Program tentang pengangguran dan bahkan untuk mereka yang malas luput dari program pembangunan. Gejala absensinya negara terhadap fenomena ini menjadi sangat jelas. Sudah saatnya program khusus difokuskan oleh pemerintahan baru serta dikonkretkan operasionalnya oleh masing- masing pemerintahan daerah.
Menyiapkan generasi muda untuk mau bekerja dan meningkatkan nilai tambah. Jika kita ingin memperoleh sumber pemasukan di daerah semakin meningkat serta mengurangi problema unofficial economy bagi anak-anak muda, program untuk mereka mesti disiapkan sesegera mungkin.
Caranya? Pertama, mari petakan mereka per kelurahan. Kedua, ajak mereka berdiskusi apa yang mereka perlukan. Ketiga, sediakan pemuda penggerak yang akan meningkatkan motivasi kerja. Keempat, kembangkan pusat keterampilan per nagari/kelurahan, dan siapkan program insentif bagi mereka yang ingin melakukan kegiatan. Programkan dalam baliho meningkatkan semangat kerja mereka. Itu baru maknyus.
(bbg)