Anak Bangsa Mampu Pimpin BUMN
A
A
A
JAKARTA - Rencana Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno membuka peluang jajaran direksi perusahaan pelat merah diisi oleh warga negara asing (WNA) bukanlah langkah tepat.
Kebijakan itu juga bukan solusi menghadapi persaingan global. Masih banyak profesional Tanah Air yang mempunyai kompetensi memimpin BUMN. Pandangan demikian disampaikan Ketua Umum BUMN Watch Naldy Nazar Haroen dan mantan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN (FSP BUMN) Abdul Latif Algaf.
“Saya merasa aneh dengan kebijakan Ibu Rini, apakah di Indonesia tidak ada yang jujur dan profesional hingga harus mencari dari luar negeri?” ucap dia, saat dihubungi KORAN SINDO, kemarin. Menurut Naldy, masih banyak profesional yang berasal dari dalam negeri dan mempunyai kompetensi untuk mengembangkan perusahaan pelat merah hingga mampu bersaing secara global.
Seharusnya perusahaan BUMN tidak usah takut potensi kalah saing dengan perusahaan luar negeri. Indonesia mempunyai sumber daya manusia dan sumber daya alam yang besar. Abdul Latif Algaf memandang rencana Rini Soemarno mengangkat orang asing menjadi dirut BUMN merupakan stereotip kebijakan kaum neoliberal.
Dia pun mengingatkan, eksistensi dan misi BUMN merupakan amanat Pasal 33 UUD 1945 di mana BUMN menjadi soko guru perekonomian nasional. Menurut Latif, jika tidak menghentikan kebijakan yang secara diametral bertentangan dengan spirit konstitusi, tidak menutup kemungkinan karyawan BUMN menuntut Rini Soemarno turun dari jabatan menteri BUMN.
“Pasti kebijakan itu akan ditentang banyak pihak. Kebijakan tersebut harus dihentikan, kata dia. Latif lantas menuturkan, Rini Soemarno semestinya fokus pada penguatan good corporate governance (GCG), meningkatkan daya saing BUMN menghadapi pasar bebas, membereskan BUMN yang rugi dan bermasalah, serta memberdayakan kualitas SDM yang ada.
Bukan malah melakukan impor CEO BUMN. Menurutnya, Rini Soemarno seharusnya bisa belajar dari pengalaman beberapa menteri BUMN yang berasal dari profesional seperti Tanri Abeng, Laksamana Sukardi, Sofyan Djalil, dan Dahlan Iskan. “Jangan tiru menteri BUMN yang suka obral aset BUMN. Setelah selesai jadi menteri malah berurusan dengan KPK,” ucap Latif.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo menyarankan Kementerian BUMN lebih memprioritaskan pemetaan dan penataan ulang keberadaan perusahaan BUMN secara jelas. Penataan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi perusahaan BUMN yang profit oriented dan public service.
Tahap pemilihan direksi harus sesuai tujuan BUMN tersebut. Agus mengatakan, untuk mewujudkan itu, Kementerian BUMN harus memilih orangorang profesional dan tidak terkait kasus korupsi untuk mengisi kursi direksi maupun komisaris BUMN. Posisi direksi harus diisi orang-orang yang profesional dan memiliki track record yang bersih.
”Kalau kementerian taruh orang kan biasa di komisaris itu mewakili pemerintah. Tapi, kalau sampai di level direksi ada orang titipan, ya kapan bagusnya BUMN kita,” kata Agus. Sebelumnya Rini Soemarno menyatakan membuka peluang untuk mengangkat WNA sebagai jajaran direksi di perusahaan milik negara. Ini untuk meningkatkan standar pemimpin BUMN agar bisa bersaing secara global.
Dengan tidak membatasi kewarganegaraan, hal tersebut diharapkan dapat mendorong kompetensi perusahaan di kancah internasional. “Untuk direktur bisa saja diambil dari luar. Tranding internasional kita masih lemah jadi ada kemungkinan dicari head hunter dari luar. Kalau mau berkompetisi secara internasional, otomatis tidak boleh membatasi untuk berkiprah lebih lanjut,” ucap Rini belum lama ini.
Pemerintahan Penuh Kontroversi
Kebijakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) banyak yang kontroversial karena bertentangan dengan logika publik. Kesimpulan demikian disampaikan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang dan Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jerry Sumampouw dalam Evaluasi Akhir Tahun “Presiden Baru, PolitikPecahBelah, danKeharusan Regenerasi Elite Politik” di Kedai Deli, Jalan Sunda, Jakarta Pusat, kemarin.
Sebastian menyebut kontroversi dimaksud di antaranya ditunjukkan Rini Soemarno. Selain berencana merekrut profesional asing, rencana menjual Gedung BUMN juga tak kalah kontroversialnya. “Itu solusi konyol. Ia ingin menunjukkan kepemimpinan yang efisien, tapi dengan cara instan, sementara efek negatifnya lebih besar,” katanya.
Dia melihat pernyataan Rini merugikan pemerintahan Jokowi-JKkarenamengingatkan publik terhadap kepemimpinan Megawati Soekarnoputri saat menjabat sebagai presiden yang dikenal “suka” menjual aset negara. “Kabinet Jokowi-JK harus berhati-hati jika membuat pernyataan karena akan menjadi rujukan publik. Harus dilandasi data dan informasi yang valid karena efek komunikasi politik sangat luas,” kata Sebastian.
Selain pernyataan Rini, kontroversi juga dilakukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno yang meminta Polri tak memberi izin penyelenggaraan Munas Golkar di Bali (30/11) dengan alasan keamanan. “Karena Tedjo tak hati-hati, dampaknya muncul kecurigaan publik terhadap pemerintah. Sampai sekarang pemerintah dituduh ikut andil dalam perpecahan Golkar dan PPP,” ungkapnya.
Kontroversi lain adalah kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di tengah harga minyak dunia yang turun dan dana talangan untuk korban lumpur Lapindo. “Akhir tahun pemerintah dan kabinetnya justru membuat kebijakan yang tak strategis. Ini bisa menjadi bom waktu yang akan meledak pada 2015,” sebut Sebastian.
Jerry Sumampouw melihat pemerintahan terlalu berani mengambil risiko dalam mengambil kebijakan yang tidak populis. Itu dinilainya berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang sangat berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang berisiko ditentang publik.
“Presiden sebelumnya berhati- hati, tidak merekrut kabinet yang berisiko dicerca publik. Jokowi berbeda, dia berani ambil risiko dengan merekrut kabinet yang kontroversial. Pemerintah sebelumnya responsif terhadap kasus pelanggaran HAM di daerah. Ini ada kasus penembakan warga sipil di Papua tidak direspons. Entah model kepemimpinan Jokowi itu bisa bertahan atau tidak,” ungkapnya.
Jerry meminta masyarakat, termasuk pendukung Jokowi, terus mengawal dan mengkritisi kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. “Jangan sampai mendukung membabi buta, jangan biarkan pemerintah membuat kebijakan yang tak prorakyat. Biar betul bekerja dan tidak sekadar pencitraan,” ucap Jerry.
Heru febrianto/Khoirul muzakki
Kebijakan itu juga bukan solusi menghadapi persaingan global. Masih banyak profesional Tanah Air yang mempunyai kompetensi memimpin BUMN. Pandangan demikian disampaikan Ketua Umum BUMN Watch Naldy Nazar Haroen dan mantan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN (FSP BUMN) Abdul Latif Algaf.
“Saya merasa aneh dengan kebijakan Ibu Rini, apakah di Indonesia tidak ada yang jujur dan profesional hingga harus mencari dari luar negeri?” ucap dia, saat dihubungi KORAN SINDO, kemarin. Menurut Naldy, masih banyak profesional yang berasal dari dalam negeri dan mempunyai kompetensi untuk mengembangkan perusahaan pelat merah hingga mampu bersaing secara global.
Seharusnya perusahaan BUMN tidak usah takut potensi kalah saing dengan perusahaan luar negeri. Indonesia mempunyai sumber daya manusia dan sumber daya alam yang besar. Abdul Latif Algaf memandang rencana Rini Soemarno mengangkat orang asing menjadi dirut BUMN merupakan stereotip kebijakan kaum neoliberal.
Dia pun mengingatkan, eksistensi dan misi BUMN merupakan amanat Pasal 33 UUD 1945 di mana BUMN menjadi soko guru perekonomian nasional. Menurut Latif, jika tidak menghentikan kebijakan yang secara diametral bertentangan dengan spirit konstitusi, tidak menutup kemungkinan karyawan BUMN menuntut Rini Soemarno turun dari jabatan menteri BUMN.
“Pasti kebijakan itu akan ditentang banyak pihak. Kebijakan tersebut harus dihentikan, kata dia. Latif lantas menuturkan, Rini Soemarno semestinya fokus pada penguatan good corporate governance (GCG), meningkatkan daya saing BUMN menghadapi pasar bebas, membereskan BUMN yang rugi dan bermasalah, serta memberdayakan kualitas SDM yang ada.
Bukan malah melakukan impor CEO BUMN. Menurutnya, Rini Soemarno seharusnya bisa belajar dari pengalaman beberapa menteri BUMN yang berasal dari profesional seperti Tanri Abeng, Laksamana Sukardi, Sofyan Djalil, dan Dahlan Iskan. “Jangan tiru menteri BUMN yang suka obral aset BUMN. Setelah selesai jadi menteri malah berurusan dengan KPK,” ucap Latif.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo menyarankan Kementerian BUMN lebih memprioritaskan pemetaan dan penataan ulang keberadaan perusahaan BUMN secara jelas. Penataan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi perusahaan BUMN yang profit oriented dan public service.
Tahap pemilihan direksi harus sesuai tujuan BUMN tersebut. Agus mengatakan, untuk mewujudkan itu, Kementerian BUMN harus memilih orangorang profesional dan tidak terkait kasus korupsi untuk mengisi kursi direksi maupun komisaris BUMN. Posisi direksi harus diisi orang-orang yang profesional dan memiliki track record yang bersih.
”Kalau kementerian taruh orang kan biasa di komisaris itu mewakili pemerintah. Tapi, kalau sampai di level direksi ada orang titipan, ya kapan bagusnya BUMN kita,” kata Agus. Sebelumnya Rini Soemarno menyatakan membuka peluang untuk mengangkat WNA sebagai jajaran direksi di perusahaan milik negara. Ini untuk meningkatkan standar pemimpin BUMN agar bisa bersaing secara global.
Dengan tidak membatasi kewarganegaraan, hal tersebut diharapkan dapat mendorong kompetensi perusahaan di kancah internasional. “Untuk direktur bisa saja diambil dari luar. Tranding internasional kita masih lemah jadi ada kemungkinan dicari head hunter dari luar. Kalau mau berkompetisi secara internasional, otomatis tidak boleh membatasi untuk berkiprah lebih lanjut,” ucap Rini belum lama ini.
Pemerintahan Penuh Kontroversi
Kebijakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) banyak yang kontroversial karena bertentangan dengan logika publik. Kesimpulan demikian disampaikan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang dan Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jerry Sumampouw dalam Evaluasi Akhir Tahun “Presiden Baru, PolitikPecahBelah, danKeharusan Regenerasi Elite Politik” di Kedai Deli, Jalan Sunda, Jakarta Pusat, kemarin.
Sebastian menyebut kontroversi dimaksud di antaranya ditunjukkan Rini Soemarno. Selain berencana merekrut profesional asing, rencana menjual Gedung BUMN juga tak kalah kontroversialnya. “Itu solusi konyol. Ia ingin menunjukkan kepemimpinan yang efisien, tapi dengan cara instan, sementara efek negatifnya lebih besar,” katanya.
Dia melihat pernyataan Rini merugikan pemerintahan Jokowi-JKkarenamengingatkan publik terhadap kepemimpinan Megawati Soekarnoputri saat menjabat sebagai presiden yang dikenal “suka” menjual aset negara. “Kabinet Jokowi-JK harus berhati-hati jika membuat pernyataan karena akan menjadi rujukan publik. Harus dilandasi data dan informasi yang valid karena efek komunikasi politik sangat luas,” kata Sebastian.
Selain pernyataan Rini, kontroversi juga dilakukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno yang meminta Polri tak memberi izin penyelenggaraan Munas Golkar di Bali (30/11) dengan alasan keamanan. “Karena Tedjo tak hati-hati, dampaknya muncul kecurigaan publik terhadap pemerintah. Sampai sekarang pemerintah dituduh ikut andil dalam perpecahan Golkar dan PPP,” ungkapnya.
Kontroversi lain adalah kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di tengah harga minyak dunia yang turun dan dana talangan untuk korban lumpur Lapindo. “Akhir tahun pemerintah dan kabinetnya justru membuat kebijakan yang tak strategis. Ini bisa menjadi bom waktu yang akan meledak pada 2015,” sebut Sebastian.
Jerry Sumampouw melihat pemerintahan terlalu berani mengambil risiko dalam mengambil kebijakan yang tidak populis. Itu dinilainya berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang sangat berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang berisiko ditentang publik.
“Presiden sebelumnya berhati- hati, tidak merekrut kabinet yang berisiko dicerca publik. Jokowi berbeda, dia berani ambil risiko dengan merekrut kabinet yang kontroversial. Pemerintah sebelumnya responsif terhadap kasus pelanggaran HAM di daerah. Ini ada kasus penembakan warga sipil di Papua tidak direspons. Entah model kepemimpinan Jokowi itu bisa bertahan atau tidak,” ungkapnya.
Jerry meminta masyarakat, termasuk pendukung Jokowi, terus mengawal dan mengkritisi kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. “Jangan sampai mendukung membabi buta, jangan biarkan pemerintah membuat kebijakan yang tak prorakyat. Biar betul bekerja dan tidak sekadar pencitraan,” ucap Jerry.
Heru febrianto/Khoirul muzakki
(bbg)