Mitos Sektor Perikanan Indonesia

Senin, 22 Desember 2014 - 11:36 WIB
Mitos Sektor Perikanan Indonesia
Mitos Sektor Perikanan Indonesia
A A A
Pernyataan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti yang ingin meningkatkan target penangkapan ikan laut dapat dimaknai dalam dua perspektif. Pertama, membawa pesan sindiran atas lemahnya industri hasil olahan komoditas ikan.

Kedua, menyiratkan keberlanjutan mindset lama tentang kepercayaan atas berlimpahnya kekayaan laut Indonesia yang tidak terbatas (abundance and unlimited resources). Dengan luas teritorial sekitar 284.210 km2 dan zona ekonomi eksklusif seluas 2.981.211 km2, tidak berlebihan jika memiliki kepercayaan atas besarnya potensi alam laut Indonesia.

Namun dalam lintasan sejarah ekonomi Indonesia, sektor perikanan tidak pernah menjadi tulang punggung pendapatan ekonomi negara. Berbeda dengan beberapa negara kepulauan lainnya seperti Swedia atau Norwegia yang menjadikan sektor perikanan sebagai sumber penting bagi pendapatan negaranya.

John Butcher (2004) menyimpulkan bahwa negara di Asia Tenggara baru mulai tertarik untuk mengembangkan sektor perikanan di awal 1800 termasuk mengalokasikan subsidi. Pada masa negara kolonial Hindia Belanda, industri perikanan lebih banyak diinisiasi oleh orang lokal dari China atau Arab, seperti di Bagan Si Api Api untuk industri pengasinan ikan atau pengumpulan teripang dan kerang mutiara di wilayah Maluku-Aru.

Pihak penguasa negara kolonial masih fokus pada komoditas konvensional pertanian sehingga beroperasinya kapal-kapal milik Jepang, Vietnam, China-Taiwan dan Thailand di sekitar perairan kepulauan tidak dianggap sebagai ancaman ekonomi. Baru di awal 1950, negara Indonesia merdeka melirik sektor perikanan sebagai hal penting dalam strategi pembangunan ketahanan pangan seiring peningkatan populasi.

Bahkan, sektor perikanan menjadi kunci kesediaan Indonesia ikut menandatangani perjanjian damai San Francisco tahun 1952 serta paket konsensi Jepang untuk mengakui perairan kepulauan Indonesia di tahun 1962 pasca-Deklarasi Djuanda tahun 1957.

Data Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa di tahun 2007, sektor perikanan hanya menyumbang 2,47% dari produk domestik bruto atau sekitar Rp97,697 miliar dan hanya meningkat 3,10% di tahun 2010 atau Rp199,219 miliar. Sindiran tentang komoditas laut “label” Malaysia tampaknya tepat diletakkan dalam kritik besar terhadap struktur ekonomi Indonesia yang masih menitikberatkan pada ekspor barang mentah daripada olahan yang tentu memiliki nilai jual lebih tinggi.

Sudah jadi rahasia umum bahwa banyak produk mentah Indonesia yang diekspor ke China, Singapura, atau Malaysia dengan harga “murah”, lalu dijual dan dikemas ulang sebagai produk “label” mereka dengan nilai jual yang jauh lebih tinggi di pasar dunia. Kecenderungan ekspor barang mentah dalam sektor perikanan Indonesia nampaknya mendominasi para pengambil kebijakan.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun2011denganjelasmenampilkan minimnya produksi pengolahan hasil laut (industri hilir) jika dibandingkan dengan produksi hasil laut (industri hulu). Jika di 2010, industri hulu perikanan menghasilkan pendapatan sekitar Rp199,219 miliar, maka industri hilir hanya mampu bernilai Rp17,918 miliar.

Kondisi ini dapat “dimaklumi” jika disandingkan dengan data statistik tentang masih minimnya ketersediaan pelabuhan dan pasar ikan, produksi es dan penyimpanan ikan (cold storage), produksi garam, serta tempat dan sentra pengolahan ikan.

Beberapa pihak meyakini bahwa kebijakan transshipment yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan kurang keberpihakan terhadap pengembangan industri hilir perikanan, selain menguatkan persepsi ketidakmampuan sistem pengawasan terhadap penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia dan minimnya kapabilitas kapal-kapal penangkap ikan Indonesia.

Data KKP mencatat tindakan pidana perikanan sebanyak 155 di tahun 2007, 172 di tahun 2010, dan turun di tahun 2011 menjadi 90. Mayoritas tindak pidana masuk dalam kategori tanpa izin, tanpa izin dan alat tangkap terlarang, serta dokumen tidak lengkap atau lebih dipahami sebagai tindakan pencurian ikan (illegal fishing).

Kondisi ini jelas menggambarkan lemahnya sistem perizinan dan pengawasan penangkapan ikan di perairan Indonesia. Tumpang tindih otoritas pengawasan dan lemahnya alutsista di wilayah perairan Indonesia adalah persoalan klasik yang sering dijadikan justifikasi tentang lemahnya sistem pengawasan dan pengamanan aktivitas di perairan Indonesia.

Revitalisasi Bakorkamla terbukti belum mampu menyodorkan solusi efektif dalam persoalan ini. Tak mengejutkan jika illegal fishing di perairan Indonesia yang banyak dilakukan oleh kapal penangkap ikan berbendera asing khususnya Jepang, Thailand, Vietnam, dan China-Taiwan masih seperti penyakit yang belum mau disembuhkan walaupun sudah ditemukan sumber penyakitnya.

Kajian historis menunjukkan bahwa sejak akhir abad ke-19 beberapa wilayah perairan Indonesia sudah masuk kategori overfishing khususnya Laut Jawa dan sekitar Selat Malaka. Indikasi ini sebenarnya mudah terdeteksi dengan maraknya kapal penangkap ikan lintas batas ini yang bersifat offshore. Akibatnya para nelayan Indonesia dihadapkan pada “ancaman” penyusutan “jatah” penangkapan mereka.

Konsep tragedy of the commons (Hardin 1968) menyebutkan fenomena eksploitasi sumber laut yang dianggap milik bersama sehingga boleh dieksploitasi oleh siapa pun tanpa sadar adanya batas toleransi sebuah ekosistem. Maraknya konflik nelayan menguatkan indikasi menipisnya sumber ikan akibat ketakutan mereka terhadap menurunnya jumlah tangkapan.

Apakah tantangan Menteri Susi untuk peningkatan target produksi penangkapan ikan di laut dilandasi dari asumsi masih rendahnya pengembangan industri hilir atau memang keyakinan tentang unlimited source di perairan Indonesia? Apakah peningkatan hasil tangkapan akan meningkatkan kesejahteraan nelayan? Asumsi dasar kebijakan pemerintahan dalam penataan sistem perikanan menjadi sangat vital dalam memutuskan pilihan penyelesaian persoalan yang ada.

Pada 1970-an, pemerintah pernah mengeluarkan kebijakan subsidi penyediaan kapal dan penggunaan trawl sebagai upaya modernisasi sektor perikanan dan peningkatan kesejahteraan nelayan. Tujuannya meningkatkan produksi penangkapan ikan. Namun tak lama berselang, pemerintah mengeluarkan pelarangan penggunaan trawl yang diyakini telah menyebabkan overfishing di tahun 1980-an.

Kelompok nelayan tetap termarjinalisasi dan mayoritas menjadi kelompok ekonomi miskin. Salah satu alasannya adalah nelayan dan komunitas kawasan pesisir pantai tidak pernah “diikutsertakan” dalam siklus produksi ikan, namun hanya penangkapan ikan saja. Ironisnya, jumlah nelayan cenderung meningkat walaupun kemiskinan terus menjerat kehidupan mereka.

Ini menunjukkan persoalan struktural. Bandingkan dengan Swedia misalnya di mana jumlah nelayan menyusut drastis karena terserap dalam industri dan modernisasi perikanan diwujudkan efisiensi penangkapan ikan. Bahkan, pengembangan industri pariwisata kepulauan diintegrasikan dengan sistem manajemen kawasan pesisir.

Dalam semangat “revolusi mental”, pilihan perspektif dan asumsi menjadi penting dalam mengidentifikasi masalah, pilihan solusi, serta penetapan parameter atau target sebuah solusi. Beberapa “mitos” dalam penataan sektor perikanan harus segera didekonstruksi seperti target peningkatan pendapatan perikanan melalui peningkatan hasil tangkap semata, sumber laut yang berlimpah dan dapat bergenerasi dengan sendirinya (unlimited resources), subsidi langsung terhadap nelayan tanpa pengembangan industri pengelolaan.

Masih maraknya penggunaan bahan peledak merupakan ekspresi ekstrem dari hadirnya mitos unlimited resouces. Konsep common property resources yang sering dilekatkan pada arti laut harus segera berganti menjadi common pool resources (CPR), yaitu penataan sistem manajemen perikanan didasarkan dari asumsi sumber daya alam yang terbatas.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6214 seconds (0.1#10.140)