Ironi Religiusitas Pejabat Serakah nan Korup
A
A
A
Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkaptangan KH Fuad Amin Imron (FAI), ketua DPRD Bangkalan, Jawa Timur (2/12/2014), dalam kasus suap dari Antonio Bambang Djatmiko (direktur PT Media Karya Sentosa) untuk suatu izin usaha migas di daerahnya, mungkin banyak pihak hanya akan menyorot kejahatan pidananya yang terungkap dalam relasi penguasa daerah dan pebisnis hitam.
Tentu itu tak salah, apalagi memang pada era otonomi daerah (otda) kepala daerah, karena kewenangannya yang begitu kuat, hampir secara otonomi terbangun hubungan saling memanfaatkan dengan para pebisnis yang mau menggarap potensi daerah bersangkutan. Namun, bukan pola hubungan kuasa-bisnis itu yang akan dibahas di dalam artikel singkat ini, melainkan lebih menjadikan kasus FAI sebagai kecenderungan fenomenal yang di satu pihak secara sosiologis menarik untuk jadi kajian tersendiri, dan di pihak lain bisa menjadi fokus dari aparat pemberantas korupsi di negeri ini.
Pertama, FAI bukanlah sekadar politisi karena dengan gelar Raden Kiai Haji yang disandangnya menunjukkan posisi sosial sebagai tokoh dan pemimpin religi di lingkungannya, patron sekaligus guru bagi masyarakat santri. Posisi dan jabatannya di politik pun tampaknya diperoleh karena ia memiliki basis sosial religius yang sangat kuat. Andai saja tak ada batasan dua periode masa jabatan seorang bupati, barangkali boleh jadi FIA akan terus saja jadi kepala daerah di Bangkalan sepanjang ia masih menginginkannya.
Maka itu, ketika harus berhenti dari jabatannya, ia pun mulus-mulus saja ketika berkehendak untuk mewariskan kepada putranya, MuhMakmun Ibnu Fuad, 26. Begitu juga dengan komitmen perjuangan politiknya yang luar biasa udengan memberikan kemenangan 100% pada Prabowo- Hatta dalam Pilpres 9 Juli 2014. Padahal, daerah itu basis NU yang seharusnya PKB yang mendukung Jokowi-JK akan tetap memiliki kantong-kantong pemilih.
Tetapi, ternyata modal kefiguran religius dengan dukungan basis massa yang kuat itu justru disalahgunakan untuk sekaligus memenuhi syahwat materi duniawi dengan korupsi. Ini akan semakin memperkuat keyakinan bahwa derajat kedalaman pemahaman terhadap ajaran agama ternyata bukan jaminan untuk menghindari diri dan keluarga dari “mengonsumsi barang haram”.
Pemahaman agama, bagi para politisi, boleh jadi hanya akan jadi jualan oknum-oknumnya untuk “menghipnosis” rakyat awam dengan “tipu muslihatnya”, seraya terusmenerus akan memapankan kepanutan rakyat yang akan berjalan bersamaan dengan cengkeraman sang figur pemimpin itu. Sebagian besar rakyat pun akan manut.
Setidaknya, rakyat yang sudah telanjur percaya pada pimpinan agama dan pimpinan daerahnya sekaligus akan selalu taklid, termasuk di dalamnya melakukan pembelaan jika ada pihak yang menyerang kebijakan dan perilaku sang patron.
Pada tingkat tertentu, para pejabat yang berwenang memberantas korupsi di daerah pun seperti aparat kejaksaan dan kepolisian akan dengan mudah diluluhkan oleh pemimpin dengan latar belakang seperti FIA ini. Mengapa?
Karena di samping sangat rentan atau gampang tergiur dengan tawaran untuk “berbagi sedikit dari hasil korupsi” misalnya - ditambah dengan pola hubungan di antara sesama pejabat di daerah, para oknum aparat berwenang itu pun akan selalu berhitung tentang risiko sosial politik di tingkat lokal, termasuk di dalamnya bisa berupa risiko fisik dari kelompok-kelompok warga yang “fanatik buta” terhadap pemimpinnya.
*** Kedua, eksploitasi simbolsimbol agama tampaknya sudah jadi bagian dari tren “gerakan tipu daya” dari sebagian figur pejabat kepala daerah yang derajat pemahaman agamanya biasa-biasa saja. Untuk memperoleh legitimasi moral dari sebagian masyarakat yang bisa dikelabui, tak sedikit pejabat politik di daerah yang di samping bersikap dermawan terhadap berbagai kegiatan keagamaan, termasuk memfasilitasi pembangunan rumah-rumah ibadah, juga menunjukkan aktivitas ibadahnya dengan misalnya melaksanakan umrah bahkan lebih dari sekali dalam setahun.
Apalagi menjelang pemilihan kepala daerah, sosoknya yang seolaholah religius sungguh ditunjukkan ke publik. Sebagai negara yang menganut prinsip ketuhanan, setiap warga sebenarnya memang memerlukan pemimpin yang religius pula dengan harapan semakin tinggi derajat pemahaman agamanya, akan kian kuat pula derajat integritasnya.
Tepatnya, para pemimpin yang agamais akan menjadi front terdepan untuk memberantas korupsi di negeri ini, yang sekaligus akan dicintai rakyat karena akan sangat peduli dengan pemenuhan hak-hak rakyat yang dipimpinnya. Namun, yangterjaditampaknya adalah tren formalisme simbol-simbol agama seperti pada kasus FIA dan banyak pejabat korup lain, baik itu kepala daerah maupun lainnya. Inilah yang merusak citra agama.
Celakanya, dengan kasus FIA itu, bukan mustahil akan jadi pembenaran bagi para pejabat yang kadar pemahaman agamanya dalam derajat “standar” saja untuk terus berperilaku korup. Mereka akan menyatakan, “Jangankan kami yang biasa-biasa atau awam dalam pemahaman agamanya, si FIA yang begitu dalam pemahamannya saja sudah terus saja korupsi sampai kemudian tertangkap KPK baru berhenti”.
*** Ketiga, yang menarik dari FIA adalah watak kepemimpinannya yang termasuk “berhasil membangun dinasti”. Seperti sudah disinggungdandiketahui publik bangsa ini, dia memaksakan putranya yang masih “tergolong hijau” untuk jadi bupati sebagai penggantinya. Ini bagian dari fenomena para pejabat yang terbukti korup selama ini.
Fakta tak terbantahkan dari sebagian pejabat korup pada Era Reformasi ini memang selalu menunjukkan gairahnya untuk membangun dinasti keluarga berbasis kekuasaan atau jabatan politik yang dimiliki. Catat misalnya mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosyiah, yang sekarang ini mengisi hotel prodeo KPK, merupakan figur pejabat politik yang berhasil membangun dinasti kekuasaan dan bisnis.
Mantan Gubernur Riau Rusli Zainal, yang juga terbukti koruptor, telah menunjukkan gairahnya untuk membangun dinasti dengan misalnya “memaksakan” istrinya untuk jadi wali Kota Pekan Baru meski tak berhasil kendati sudah dicoba diperjuangkan pula melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Mantan Bupati Bantul dua periode Idham Samawi, yang kemudian kekuasaannya diwariskan pada istrinya, Sri Surya Widati, ternyata juga korup dan sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Yogyakarta dalam kasus penyalahgunaan dana hibah KONI tahun 2011 sebesar Rp12,5 miliar. Jika menelusuri sejumlah pejabat yang korup itu, terutama kepala daerah, akan selalu terlihat gairah membangun dinasti dengan akan berusaha mengusai tiga pilar utama: jabatan politik, bisnis, dan birokrasi.
Maka itu, tak heran kalau sejumlah jabatan politik baik di DPR, DPD, dan DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) diduduki oleh keluarga kepala daerah (istri, anak, menantu, kakak, adik, sepupu, dan sejenisnya); ekspresi dari keserakahan atas nama “kesamaan hak politik”. Cermati saja para pejabat yang membangun dinasti seperti itu, besar kemungkinan akan selalu ada kasus korupsinya yang dicoba selalu dilindungi dengan memanfaatkan jabatan, uang, dan jaringan politiknya.
Tesis utama yang bisa dikonstruksikan di sini adalah pejabat yang terus bergairah membangun dinasti merupakan indikasi terbuka dari karakter korup. Mereka serakah untuk bukan saja merampas hak ekonomi rakyat dalam wujud korupsi, melainkan tak puas dengan jabatan yang sudah dimiliki sehingga memaksakan keluarganya untuk mengisi setiap peluang jabatan politik di daerah maupun Jakarta.
Gairah membangun dinasti ini sebenarnya sangat bertentangan dengan Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang sampai hari ini belum dicabut dinasti merupakan inti dari nepotisme itu.
Laode Ida.
Sosiolog di Jurusan Sosiologi, FIS, UNJ, Mantan Wakil Ketua DPD RI
Tentu itu tak salah, apalagi memang pada era otonomi daerah (otda) kepala daerah, karena kewenangannya yang begitu kuat, hampir secara otonomi terbangun hubungan saling memanfaatkan dengan para pebisnis yang mau menggarap potensi daerah bersangkutan. Namun, bukan pola hubungan kuasa-bisnis itu yang akan dibahas di dalam artikel singkat ini, melainkan lebih menjadikan kasus FAI sebagai kecenderungan fenomenal yang di satu pihak secara sosiologis menarik untuk jadi kajian tersendiri, dan di pihak lain bisa menjadi fokus dari aparat pemberantas korupsi di negeri ini.
Pertama, FAI bukanlah sekadar politisi karena dengan gelar Raden Kiai Haji yang disandangnya menunjukkan posisi sosial sebagai tokoh dan pemimpin religi di lingkungannya, patron sekaligus guru bagi masyarakat santri. Posisi dan jabatannya di politik pun tampaknya diperoleh karena ia memiliki basis sosial religius yang sangat kuat. Andai saja tak ada batasan dua periode masa jabatan seorang bupati, barangkali boleh jadi FIA akan terus saja jadi kepala daerah di Bangkalan sepanjang ia masih menginginkannya.
Maka itu, ketika harus berhenti dari jabatannya, ia pun mulus-mulus saja ketika berkehendak untuk mewariskan kepada putranya, MuhMakmun Ibnu Fuad, 26. Begitu juga dengan komitmen perjuangan politiknya yang luar biasa udengan memberikan kemenangan 100% pada Prabowo- Hatta dalam Pilpres 9 Juli 2014. Padahal, daerah itu basis NU yang seharusnya PKB yang mendukung Jokowi-JK akan tetap memiliki kantong-kantong pemilih.
Tetapi, ternyata modal kefiguran religius dengan dukungan basis massa yang kuat itu justru disalahgunakan untuk sekaligus memenuhi syahwat materi duniawi dengan korupsi. Ini akan semakin memperkuat keyakinan bahwa derajat kedalaman pemahaman terhadap ajaran agama ternyata bukan jaminan untuk menghindari diri dan keluarga dari “mengonsumsi barang haram”.
Pemahaman agama, bagi para politisi, boleh jadi hanya akan jadi jualan oknum-oknumnya untuk “menghipnosis” rakyat awam dengan “tipu muslihatnya”, seraya terusmenerus akan memapankan kepanutan rakyat yang akan berjalan bersamaan dengan cengkeraman sang figur pemimpin itu. Sebagian besar rakyat pun akan manut.
Setidaknya, rakyat yang sudah telanjur percaya pada pimpinan agama dan pimpinan daerahnya sekaligus akan selalu taklid, termasuk di dalamnya melakukan pembelaan jika ada pihak yang menyerang kebijakan dan perilaku sang patron.
Pada tingkat tertentu, para pejabat yang berwenang memberantas korupsi di daerah pun seperti aparat kejaksaan dan kepolisian akan dengan mudah diluluhkan oleh pemimpin dengan latar belakang seperti FIA ini. Mengapa?
Karena di samping sangat rentan atau gampang tergiur dengan tawaran untuk “berbagi sedikit dari hasil korupsi” misalnya - ditambah dengan pola hubungan di antara sesama pejabat di daerah, para oknum aparat berwenang itu pun akan selalu berhitung tentang risiko sosial politik di tingkat lokal, termasuk di dalamnya bisa berupa risiko fisik dari kelompok-kelompok warga yang “fanatik buta” terhadap pemimpinnya.
*** Kedua, eksploitasi simbolsimbol agama tampaknya sudah jadi bagian dari tren “gerakan tipu daya” dari sebagian figur pejabat kepala daerah yang derajat pemahaman agamanya biasa-biasa saja. Untuk memperoleh legitimasi moral dari sebagian masyarakat yang bisa dikelabui, tak sedikit pejabat politik di daerah yang di samping bersikap dermawan terhadap berbagai kegiatan keagamaan, termasuk memfasilitasi pembangunan rumah-rumah ibadah, juga menunjukkan aktivitas ibadahnya dengan misalnya melaksanakan umrah bahkan lebih dari sekali dalam setahun.
Apalagi menjelang pemilihan kepala daerah, sosoknya yang seolaholah religius sungguh ditunjukkan ke publik. Sebagai negara yang menganut prinsip ketuhanan, setiap warga sebenarnya memang memerlukan pemimpin yang religius pula dengan harapan semakin tinggi derajat pemahaman agamanya, akan kian kuat pula derajat integritasnya.
Tepatnya, para pemimpin yang agamais akan menjadi front terdepan untuk memberantas korupsi di negeri ini, yang sekaligus akan dicintai rakyat karena akan sangat peduli dengan pemenuhan hak-hak rakyat yang dipimpinnya. Namun, yangterjaditampaknya adalah tren formalisme simbol-simbol agama seperti pada kasus FIA dan banyak pejabat korup lain, baik itu kepala daerah maupun lainnya. Inilah yang merusak citra agama.
Celakanya, dengan kasus FIA itu, bukan mustahil akan jadi pembenaran bagi para pejabat yang kadar pemahaman agamanya dalam derajat “standar” saja untuk terus berperilaku korup. Mereka akan menyatakan, “Jangankan kami yang biasa-biasa atau awam dalam pemahaman agamanya, si FIA yang begitu dalam pemahamannya saja sudah terus saja korupsi sampai kemudian tertangkap KPK baru berhenti”.
*** Ketiga, yang menarik dari FIA adalah watak kepemimpinannya yang termasuk “berhasil membangun dinasti”. Seperti sudah disinggungdandiketahui publik bangsa ini, dia memaksakan putranya yang masih “tergolong hijau” untuk jadi bupati sebagai penggantinya. Ini bagian dari fenomena para pejabat yang terbukti korup selama ini.
Fakta tak terbantahkan dari sebagian pejabat korup pada Era Reformasi ini memang selalu menunjukkan gairahnya untuk membangun dinasti keluarga berbasis kekuasaan atau jabatan politik yang dimiliki. Catat misalnya mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosyiah, yang sekarang ini mengisi hotel prodeo KPK, merupakan figur pejabat politik yang berhasil membangun dinasti kekuasaan dan bisnis.
Mantan Gubernur Riau Rusli Zainal, yang juga terbukti koruptor, telah menunjukkan gairahnya untuk membangun dinasti dengan misalnya “memaksakan” istrinya untuk jadi wali Kota Pekan Baru meski tak berhasil kendati sudah dicoba diperjuangkan pula melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Mantan Bupati Bantul dua periode Idham Samawi, yang kemudian kekuasaannya diwariskan pada istrinya, Sri Surya Widati, ternyata juga korup dan sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Yogyakarta dalam kasus penyalahgunaan dana hibah KONI tahun 2011 sebesar Rp12,5 miliar. Jika menelusuri sejumlah pejabat yang korup itu, terutama kepala daerah, akan selalu terlihat gairah membangun dinasti dengan akan berusaha mengusai tiga pilar utama: jabatan politik, bisnis, dan birokrasi.
Maka itu, tak heran kalau sejumlah jabatan politik baik di DPR, DPD, dan DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) diduduki oleh keluarga kepala daerah (istri, anak, menantu, kakak, adik, sepupu, dan sejenisnya); ekspresi dari keserakahan atas nama “kesamaan hak politik”. Cermati saja para pejabat yang membangun dinasti seperti itu, besar kemungkinan akan selalu ada kasus korupsinya yang dicoba selalu dilindungi dengan memanfaatkan jabatan, uang, dan jaringan politiknya.
Tesis utama yang bisa dikonstruksikan di sini adalah pejabat yang terus bergairah membangun dinasti merupakan indikasi terbuka dari karakter korup. Mereka serakah untuk bukan saja merampas hak ekonomi rakyat dalam wujud korupsi, melainkan tak puas dengan jabatan yang sudah dimiliki sehingga memaksakan keluarganya untuk mengisi setiap peluang jabatan politik di daerah maupun Jakarta.
Gairah membangun dinasti ini sebenarnya sangat bertentangan dengan Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang sampai hari ini belum dicabut dinasti merupakan inti dari nepotisme itu.
Laode Ida.
Sosiolog di Jurusan Sosiologi, FIS, UNJ, Mantan Wakil Ketua DPD RI
(ars)