Mengenal Industri Pertahanan Indonesia
A
A
A
Penerbangan perdana pesawat N-250 Gatotkaca pada 10 Agustus 1995 selalu menjadi memori yang kita ingat ketika berbicara tentang kemandirian industri pertahanan Indonesia.
Peristiwa yang terjadi dua dekade lalu itu menjadi pertanda akan kemampuan anak bangsa dalam menciptakan karya di bidang teknologi dan industri pertahanan. Keinginan kuat untuk memajukan industri pertahanan juga terefleksikan pada lembaran buku Membangun Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia karya Silmy Karim. Keterkaitan sektor militer, ekonomi dan teknologi terhadap industri pertahanan dikupas pada buku ini.
Begitu pula dengan sentralitas peran pemerintah yang dibahas secara rinci dan menarik. Buku yang terdiri dari delapan bab ini memulai pembahasannya dengan berpijak pada hasil riset berbagai lembaga dan ekonom dunia, yang menempatkan Indonesia sebagai raksasa ekonomi baru di masa depan.
Atas dasar itu, penulis buku memandang pentingnya memanfaatkan momentum tersebut untuk membangun kapabilitas pertahanan yang mandiri melalui pembangunan industri pertahanan, terlebih dengan adanya korelasi positif antara industri pertahanan dan sektor ekonomi.
Meski dalam praktiknya, banyak negara memandang bahwa alokasi pada sektor nirmiliter akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada alokasi pada sektor militer. Diskursus tentang pembangunan industri pertahanan memang tidak dapat dilihat dalam aspek ekonomi semata.
Kontribusi industri pertahanan dalam kerangka kemandirian pertahanan merupakan suatu hal yang penting untuk diperhitungkan. Urgensi industri pertahanan dalam konteks kemandirian pertahanan Indonesia kemudian diulas sebagai pengantar pada buku ini. Penggunaan tabel dan gambar berwarna dalam buku akan memudahkan para pembaca yang masih awam dalam memahami isu-isu kemiliteran maupun industri pertahanan.
Jarang diketahui publik bahwa cikal bakal industri pertahanan Indonesia sudah dimulai sejak masa prakemerdekaan. Lika-liku perjalanan PT Pindad (bidang persenjataan dan amunisi), PT DI (bidang kedirgantaraan), PT PAL (bidang kemaritiman), dan PT Dahana (bidang bahan peledak) kemudian diulas secara lengkap.
Refleksi kritis atas pembangunan industri pertahanan pada masa Orde Baru dijelaskan oleh penulis buku. Menurutnya, pola pengembangan industri pertahanan pada era Orde Baru tidak memiliki desain komprehensif mengenai sistem industri pertahanan nasional yang berbasis badan usaha milik negara (BUMN).
Dalam konteks itu, buku ini menekankan pentingnya peran pemerintah sebagai customer, sponsor, dan regulator untuk dioptimalkan pada masa kini. Pemerintah Indonesia sudah melaksanakan berbagai program dan kegiatan untuk mendukung agenda kemandirian industri pertahanan pascapenetapan UU Industri Pertahanan No 16/2012 dan pembentukan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP).
Pembaca akan dimanjakan oleh berbagai informasi dan data-data aktual terkait status kebijakan/program/kegiatan pemerintah serta berbagai persoalan yang masih dihadapi oleh industri pertahanan. Salah satu solusi yang ditawarkan buku ini adalah membentuk holding company atau perusahaan induk bagi industri pertahanan, di mana hal ini merupakan ide menarik yang perlu diteliti dan ditinjau lebih jauh, baik dari segi akademis maupun strategi kebijakan.
Sebagai komparasi terhadap kondisi di Indonesia, buku ini juga menyuguhkan pengalaman industri pertahanan pada beberapa negara lain seperi Inggris, Prancis, China, Pakistan, Korea Selatan, Brasil, India, dan Turki. Belajar dari pengalaman negara-negara tersebut, maka terdapat dua pokok utama yang penting untuk diperhatikan dalam membangun industri pertahanan.
Pertama, optimalisasi kerja sama luar negeri untuk membuka peluang transfer of technology (ToT) dan mendekatkan industri pertahanan sebagai unit yang menyokong rantai produksi persenjataan dunia. Kedua, memperkuat kegiatan riset dan pengembangan di Indonesia yang selama ini masih terkendala oleh laba industri pertahanan yang minim dan mekanisme koordinasi penelitian yang belum rigid.
Meski industri pertahanan Indonesia masih harus menempuh jalan panjang, penulis buku tetap optimistis akan kemajuan industri pertahanan Indonesia asalkan didukung oleh kebijakan dan strategi yang komprehensif, serta memperhatikan dinamika lingkungan strategis di masa depan yang cenderung bersifat network-centric warfare.
Pada akhirnya, upaya-upaya untuk membangun kemandirian pertahanan juga tidak melulu diejawantahkan ke dalam kebijakan. Diskursus akademik terkait industri pertahanan sesungguhnya juga akan memberikan kontribusi. Hal itulah yang kemudian menjadikan buku ini memiliki nilai lebih dalam upaya mendorong terwujudnya kemandirian pertahanan di Indonesia.
Diandra megaputri
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI &
Al Araf
Direktur Program Imparsial
Peristiwa yang terjadi dua dekade lalu itu menjadi pertanda akan kemampuan anak bangsa dalam menciptakan karya di bidang teknologi dan industri pertahanan. Keinginan kuat untuk memajukan industri pertahanan juga terefleksikan pada lembaran buku Membangun Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia karya Silmy Karim. Keterkaitan sektor militer, ekonomi dan teknologi terhadap industri pertahanan dikupas pada buku ini.
Begitu pula dengan sentralitas peran pemerintah yang dibahas secara rinci dan menarik. Buku yang terdiri dari delapan bab ini memulai pembahasannya dengan berpijak pada hasil riset berbagai lembaga dan ekonom dunia, yang menempatkan Indonesia sebagai raksasa ekonomi baru di masa depan.
Atas dasar itu, penulis buku memandang pentingnya memanfaatkan momentum tersebut untuk membangun kapabilitas pertahanan yang mandiri melalui pembangunan industri pertahanan, terlebih dengan adanya korelasi positif antara industri pertahanan dan sektor ekonomi.
Meski dalam praktiknya, banyak negara memandang bahwa alokasi pada sektor nirmiliter akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada alokasi pada sektor militer. Diskursus tentang pembangunan industri pertahanan memang tidak dapat dilihat dalam aspek ekonomi semata.
Kontribusi industri pertahanan dalam kerangka kemandirian pertahanan merupakan suatu hal yang penting untuk diperhitungkan. Urgensi industri pertahanan dalam konteks kemandirian pertahanan Indonesia kemudian diulas sebagai pengantar pada buku ini. Penggunaan tabel dan gambar berwarna dalam buku akan memudahkan para pembaca yang masih awam dalam memahami isu-isu kemiliteran maupun industri pertahanan.
Jarang diketahui publik bahwa cikal bakal industri pertahanan Indonesia sudah dimulai sejak masa prakemerdekaan. Lika-liku perjalanan PT Pindad (bidang persenjataan dan amunisi), PT DI (bidang kedirgantaraan), PT PAL (bidang kemaritiman), dan PT Dahana (bidang bahan peledak) kemudian diulas secara lengkap.
Refleksi kritis atas pembangunan industri pertahanan pada masa Orde Baru dijelaskan oleh penulis buku. Menurutnya, pola pengembangan industri pertahanan pada era Orde Baru tidak memiliki desain komprehensif mengenai sistem industri pertahanan nasional yang berbasis badan usaha milik negara (BUMN).
Dalam konteks itu, buku ini menekankan pentingnya peran pemerintah sebagai customer, sponsor, dan regulator untuk dioptimalkan pada masa kini. Pemerintah Indonesia sudah melaksanakan berbagai program dan kegiatan untuk mendukung agenda kemandirian industri pertahanan pascapenetapan UU Industri Pertahanan No 16/2012 dan pembentukan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP).
Pembaca akan dimanjakan oleh berbagai informasi dan data-data aktual terkait status kebijakan/program/kegiatan pemerintah serta berbagai persoalan yang masih dihadapi oleh industri pertahanan. Salah satu solusi yang ditawarkan buku ini adalah membentuk holding company atau perusahaan induk bagi industri pertahanan, di mana hal ini merupakan ide menarik yang perlu diteliti dan ditinjau lebih jauh, baik dari segi akademis maupun strategi kebijakan.
Sebagai komparasi terhadap kondisi di Indonesia, buku ini juga menyuguhkan pengalaman industri pertahanan pada beberapa negara lain seperi Inggris, Prancis, China, Pakistan, Korea Selatan, Brasil, India, dan Turki. Belajar dari pengalaman negara-negara tersebut, maka terdapat dua pokok utama yang penting untuk diperhatikan dalam membangun industri pertahanan.
Pertama, optimalisasi kerja sama luar negeri untuk membuka peluang transfer of technology (ToT) dan mendekatkan industri pertahanan sebagai unit yang menyokong rantai produksi persenjataan dunia. Kedua, memperkuat kegiatan riset dan pengembangan di Indonesia yang selama ini masih terkendala oleh laba industri pertahanan yang minim dan mekanisme koordinasi penelitian yang belum rigid.
Meski industri pertahanan Indonesia masih harus menempuh jalan panjang, penulis buku tetap optimistis akan kemajuan industri pertahanan Indonesia asalkan didukung oleh kebijakan dan strategi yang komprehensif, serta memperhatikan dinamika lingkungan strategis di masa depan yang cenderung bersifat network-centric warfare.
Pada akhirnya, upaya-upaya untuk membangun kemandirian pertahanan juga tidak melulu diejawantahkan ke dalam kebijakan. Diskursus akademik terkait industri pertahanan sesungguhnya juga akan memberikan kontribusi. Hal itulah yang kemudian menjadikan buku ini memiliki nilai lebih dalam upaya mendorong terwujudnya kemandirian pertahanan di Indonesia.
Diandra megaputri
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI &
Al Araf
Direktur Program Imparsial
(bbg)