Mimpi Swasembada Gula
A
A
A
Swasembada gula masih sebatas mimpi. Bayangkan, pemerintah mencanangkan swasembada gula sejak 1999, tetapi hasilnya masih jauh dari harapan.
Realisasi produksi gula dalam negeri baru mencapai 2,5 juta ton per tahun, sedang kebutuhan masyarakat rata-rata sekitar 5,7 juta per ton. Produksi gula domestik tak bisa menutupi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Langkah mengatasi kekurangan gula tersebut mudah ditebak, yakni membuka keran impor selebar-lebarnya.
Namun, masalah baru muncul karena arus impor gula yang begitu deras merembes ke pasar tradisional dan menekan harga gula lokal. Jadi, swasembada gula didambakan yang muncul serbuan gula impor. Produksi gula nasional yang sangat terbatas tidak bisa dilepaskan dari kondisi pabrik gula yang sudah berusia tua, bahkan sejumlah pabrik gula masih tercatat sebagai warisan pemerintah kolonial Belanda.
Akibatnya, pabrik gula yang ada sudah tidak efisien yang membuat harga gula lokal tak bisa bersaing dengan harga gula impor. Sudah menjadi rahasia umum bahwa persentase kadar gula (rendemen) setiap batang tebu dipabrik gula hanya sekitar 6% hingga 7%, bandingkan dengan Thailand yang mencapai 12%. Tingkat rendemen yang tinggi menentukan harga gula, contoh harga gula di Thailand hanya sebesar Rp5.000 per kg, sedangkan di Indonesia mencapai sebesar Rp8.000 per kg, terdapat selisih harga yang mencapai sekitar 60%.
Berharap swasembada gula tanpa membenahi dan menghadirkan pabrik gula baru serta lahan yang ada bagaikan menggarami laut. Hampir selama sepuluh tahun pemerintah meneriakkan segera merealisasikan swasembada gula, tetapi ironisnya tidak diiringi dengan pembangunan pabrik gula baru dan pengembangan lahan. Hasilnya, tahun ini yang dicanangkan sebagai tahun swasembada gula hanya mimpi.
Sementara pabrik gula yang ada juga tak mampu merevitalisasi mesin yang ada karena keterbatasan pendanaan. Jangankan merevitalisasi mesin produksi untuk perbaikan sarana yang ada juga sulit diwujudkan. Kondisi memprihatinkan itu semakin lengkap ketika produksi gula dalam negeri tidak bisa berkompetisi dengan gula impor yang harganya lebih rendah.
Mengatasi karut-marut industri gula nasional, pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi-JK telah mencanangkan untuk menghadirkan sepuluh pabrik gula besar berbasis tebu, yang membutuhkan investasi sekitar Rp42,5 triliun, dalam lima tahun ke depan. Meski berisiko tinggi untuk mewujudkan, menurut Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Natsir belum lama ini, rencana tersebut tak bisa ditunda lagi.
Masalahnya, dari sebanyak 52 pabrik yang ada hanya 10 pabrik yang beroperasi maksimal. Rencananya, pabrik gula baru teresebut akan dibangun di wilayah pengembangan tebu nasional, meliputi Aceh, Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Papua.
Tiap pabrik ditargetkan memproduksi gula dengan menghabiskan sekitar 30.000 ton tebu perhari. Selain itu, Kementerian Pertanian juga akan merevitalisasi 42 pabrik gula yang saat ini hanya berproduksi dengan menghabiskan 6.000 ton tebu per hari atau produksi di bawah standar. Rencana lainnya, pemerintah bakal menggabungkan sejumlah pabrik tua dengan batas minimal rendemen sekitar 9%.
Meski baru sebatas rencana membangun 10 pabrik gula baru berbasis tebu, sejumlah pelaku industri gula nasional menanggapi pesimistis rencana pemerintah. Apalagi bila pemerintah berharap partisipasi dari pihak swasta untuk membangun pabrik gula tersebut. Masalahnya, industri gula nasional kurang diminati investor sepanjang sejumlah kendala tidak dibenahi terlebih dulu.
Berbagai kendala membuat investor tak melirik mendanai pabrik gula. Misalnya, selama ini pemerintah lebih banyak memberi insentif kepada industri gula rafinasi yang berbasis bahan gula mentah (raw sugar). Salah satu jenis insentif yang dinikmati industri gula rafinasi adalah impor gula mentah tidak kena bea masuk.
Hasilnya, harga dari pabrik gula rafinasi berbasis gula mentah bisa lebih murah sehingga menggerus pasar gula yang dihasilkan pabrik gula berbasis tebu. Sementara itu, untuk membangun pabrik gula rafinasi hanya menelan biaya sekitar Rp500 miliar, sedangkan pabrik gula berbasis tebu bisa mencapai Rp1,7 triliun. Sikap investor jelas mencari sasaran yang lebih menguntungkan.
Realisasi produksi gula dalam negeri baru mencapai 2,5 juta ton per tahun, sedang kebutuhan masyarakat rata-rata sekitar 5,7 juta per ton. Produksi gula domestik tak bisa menutupi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Langkah mengatasi kekurangan gula tersebut mudah ditebak, yakni membuka keran impor selebar-lebarnya.
Namun, masalah baru muncul karena arus impor gula yang begitu deras merembes ke pasar tradisional dan menekan harga gula lokal. Jadi, swasembada gula didambakan yang muncul serbuan gula impor. Produksi gula nasional yang sangat terbatas tidak bisa dilepaskan dari kondisi pabrik gula yang sudah berusia tua, bahkan sejumlah pabrik gula masih tercatat sebagai warisan pemerintah kolonial Belanda.
Akibatnya, pabrik gula yang ada sudah tidak efisien yang membuat harga gula lokal tak bisa bersaing dengan harga gula impor. Sudah menjadi rahasia umum bahwa persentase kadar gula (rendemen) setiap batang tebu dipabrik gula hanya sekitar 6% hingga 7%, bandingkan dengan Thailand yang mencapai 12%. Tingkat rendemen yang tinggi menentukan harga gula, contoh harga gula di Thailand hanya sebesar Rp5.000 per kg, sedangkan di Indonesia mencapai sebesar Rp8.000 per kg, terdapat selisih harga yang mencapai sekitar 60%.
Berharap swasembada gula tanpa membenahi dan menghadirkan pabrik gula baru serta lahan yang ada bagaikan menggarami laut. Hampir selama sepuluh tahun pemerintah meneriakkan segera merealisasikan swasembada gula, tetapi ironisnya tidak diiringi dengan pembangunan pabrik gula baru dan pengembangan lahan. Hasilnya, tahun ini yang dicanangkan sebagai tahun swasembada gula hanya mimpi.
Sementara pabrik gula yang ada juga tak mampu merevitalisasi mesin yang ada karena keterbatasan pendanaan. Jangankan merevitalisasi mesin produksi untuk perbaikan sarana yang ada juga sulit diwujudkan. Kondisi memprihatinkan itu semakin lengkap ketika produksi gula dalam negeri tidak bisa berkompetisi dengan gula impor yang harganya lebih rendah.
Mengatasi karut-marut industri gula nasional, pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi-JK telah mencanangkan untuk menghadirkan sepuluh pabrik gula besar berbasis tebu, yang membutuhkan investasi sekitar Rp42,5 triliun, dalam lima tahun ke depan. Meski berisiko tinggi untuk mewujudkan, menurut Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Natsir belum lama ini, rencana tersebut tak bisa ditunda lagi.
Masalahnya, dari sebanyak 52 pabrik yang ada hanya 10 pabrik yang beroperasi maksimal. Rencananya, pabrik gula baru teresebut akan dibangun di wilayah pengembangan tebu nasional, meliputi Aceh, Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Papua.
Tiap pabrik ditargetkan memproduksi gula dengan menghabiskan sekitar 30.000 ton tebu perhari. Selain itu, Kementerian Pertanian juga akan merevitalisasi 42 pabrik gula yang saat ini hanya berproduksi dengan menghabiskan 6.000 ton tebu per hari atau produksi di bawah standar. Rencana lainnya, pemerintah bakal menggabungkan sejumlah pabrik tua dengan batas minimal rendemen sekitar 9%.
Meski baru sebatas rencana membangun 10 pabrik gula baru berbasis tebu, sejumlah pelaku industri gula nasional menanggapi pesimistis rencana pemerintah. Apalagi bila pemerintah berharap partisipasi dari pihak swasta untuk membangun pabrik gula tersebut. Masalahnya, industri gula nasional kurang diminati investor sepanjang sejumlah kendala tidak dibenahi terlebih dulu.
Berbagai kendala membuat investor tak melirik mendanai pabrik gula. Misalnya, selama ini pemerintah lebih banyak memberi insentif kepada industri gula rafinasi yang berbasis bahan gula mentah (raw sugar). Salah satu jenis insentif yang dinikmati industri gula rafinasi adalah impor gula mentah tidak kena bea masuk.
Hasilnya, harga dari pabrik gula rafinasi berbasis gula mentah bisa lebih murah sehingga menggerus pasar gula yang dihasilkan pabrik gula berbasis tebu. Sementara itu, untuk membangun pabrik gula rafinasi hanya menelan biaya sekitar Rp500 miliar, sedangkan pabrik gula berbasis tebu bisa mencapai Rp1,7 triliun. Sikap investor jelas mencari sasaran yang lebih menguntungkan.
(bbg)