Membirokrasikan Revolusi Mental

Rabu, 10 Desember 2014 - 17:04 WIB
Membirokrasikan Revolusi...
Membirokrasikan Revolusi Mental
A A A
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengawali debutnya sebagai kepala negara dengan membawa perubahan-perubahan dalam politik luar negeri dan diplomasi sejak dilantik pada 20 Oktober yang lalu.

Dalam pertemuan-pertemuan bilateral dan regional yang dihadirinya, Presiden Jokowi selalu menekankan perihal kerja sama ekonomi dan peluang investasi yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Pendekatan diplomasi ekonomi atau diplomasi komersial ini yang kabarnya akan menjadi tulang punggung diplomasi ke depan. Pendekatan itu mengejutkan para diplomat asing.

Dalam forum-forum internasional yang umumnya kepala negara berbicara masalah keamanan internasional, kerja sama perdagangan demi membuka pasar negara lain atau mewacanakan solusi konflik, Presiden Jokowi justru to-the-point mengundang investasi masuk dan bicara hal-hal praktis yang telah dilakukannya untuk meningkatkan pembangunan kota (Solo dan DKI Jakarta), termasuk memperkenalkan istilah blusukan ke forum internasional.

Perubahan pendekatan atau revolusi mental ini juga diiringi dengan penyederhanaan birokrasi. Pejabat yang mendampingi kunjungan kenegaraan hanyalah mereka yang terkait dengan agenda pertemuan. Perubahan pendekatan ini belum dapat kita nilai sebagai sesuatu yang positif atau negatif karena Kabinet Kerja yang dipimpinnya baru kurang dari dua bulan bekerja.

Meski demikian, perubahan yang dilakukan Jokowi mungkin memenuhi apa yang disebut Alvin Toffler sebagai akhir dari birokrasi dan awal dari adhocracy dalam masyarakat post-industrialist. Adhocracy sebagai antitesis dari birokrasi yang berlapis membuat pengambilan kebijakan dan kepemimpinan sebagai manajemen yang fleksibel, cepat beradaptasi, informal, tidak permanen, dan spontan.

Sikap seperti ini dipercayai dapat merespons kebutuhan lebih cepat dibandingkan dengan struktur pengambilan kebijakan tradisional dalam birokrasi (Rendtorff, 2008). Perbedaannya dengan asumsi Toffler, manajemen adhocracy yang dijalankan Jokowi tidak sepenuhnya antithesis atas birokrasi ideal yang rasional-legal, tetapi justru sebaliknya adalah antitesis dari birokrasi yang kompleks, lamban, dan penuh masalah seperti yang disampaikan Eko Prasodjo dalam sebuah media beberapaminggu yanglalu.

Adafaktor sejarah yang telah berlangsung ratusan tahun dan dapat ditemukan salah satu sebabnya dalam penjelasan Heather Sutherland tentang terbentuknya elite birokrasi Indonesia yang dibangun Pemerintah Kolonial Belanda sebagai kaki tangan kekuasaan untuk mempertahankan sistem kolonial. Ini belum pernah diubah. Artinya desain birokrasi kita memang belum disusun untuk memberikan pelayanan publik atau merespons kebutuhan publik.

Oleh karenanya sudah banyak pegawai negeri yangberniat melayani publik mengaku frustrasi berhadapan dengan sistem internal birokrasi. Pegawai negeri dengan mental priyayi ini bahkan menurut almarhum sejarawan Ong Hok Ham pada zamannya adalah alat dari raja yang memiliki tugas untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan, tenaga kerja, dan pajak bagi kelangsungan kerajaan (Historia, 2014).

Pemahaman atas sejarah itu penting bagi kita agar tidak terlalu cepat menghakimi para pegawai negeri atau birokrat sebagai seseorang yang malas atau tidak bermoral. Banyak pegawai negeri yang juga memiliki moral dan etiket tinggi, tetapi tidak mendapat penghormatan karena lingkungan kelembagaannya justru menganggap hal itu sebagai ”penyimpangan”.

Kejadian demikian banyak dialami tidak hanya di tingkat bawah, tetapi juga di level menteri. Beberapa rekan sejawat yang menjadi menteri mengatakan bahwa mereka seperti masuk dalam lorong gelap saat masuk dalam lembaga birokrasi untuk menjalankan amanah. Lembaga birokrasi memiliki jalan atau jalur yang berlubang. Lubang menjebak itu penuh dikuasai raja-raja kecil birokrat yang menguasai sistem tersebut dan celah-celahnya.

Apabila bila tidak awas, mudah untuk kita masuk terjebak dan terperangkap. Terdapat hubungan timbal balik antara struktur birokrasi yang bermasalah dengan para pegawai negerinya. Perihal hubungan ini juga telah banyak didiskusikan para filsuf dan sosiolog. Contoh adalah konsep ”habitus” dan ”arena” yang dikembangkan Bourdieu.

Menurut Bourdieu, setiap pribadi masuk dan bertarung dalam arena masing-masing. Mereka berkompetisi untuk mendapatkan atau menguasai sejumlah modal, baik modal dalam pengertian ekonomi maupun modal budaya seperti status, kedudukan, atau penghormatan. Birokrasi juga salah satu arena di mana sesama birokrat saling berkompetisi untuk mendapatkan modal-modal tersebut.

Selain modal ekonomi seperti tunjangan atau gaji, mereka juga mendambakan jabatan setinggi-tingginya sebagai sebuah status sosial. Di saat bersamaan mereka juga dibimbing oleh sebuah habitus, seperangkat persepsi atau pikiran yang terbentuk secara sosial dimana menyenangkan atasan adalah alasan mereka hadir sebagai birokrat dan sebaliknya mereka juga menuntut rakyat bertindak dan berpikir sama seperti itu.

Pandangan atau pikiran tersebut terstruktur dan melekat dalam keseharian mereka. Dengan kata lain, kita mengapresiasi jalan keluar Presiden Jokowi dengan meminta pegawai negeri untuk bekerja lebih cepat dan lebih efisien sebagai upaya untuk berbenah diri. Langkah tersebut akan menjadi lebih baik apabila diikuti dengan telaah yang lebih dalam tentang sejarah dan sosiologi birokrasi dan birokrat.

Pemikiran itulah yang sebaiknya dipakai untuk melakukan revolusi mental yang lebih permanen dan langgeng. Pada titik tersebut perguruan tinggi atau lembaga-lembaga pendidikan yang lain dapat menjadi mitra terbaik untuk menyediakan alternatif atau skenario perubahan yang lebih halus.

Revolusi mental yang dicontohkan Jokowi dan Kabinet Kerja-nya telah diterjemahkan secara formal dalam bentuk surat-surat edaran yang misalnya melarang rapat di hotel, bersikap sederhana, kerja cepat, dan sebagainya. Edaran tersebut saat ini baru menyentuh level nilai, tetapi belum mengubah struktur birokrasi itu sendiri.

Dalam pengalaman saya menyeleksi CPNS untuk sebuah kementerian, saya merasakan bahwa para calon tersebut masih ada yang memiliki motivasi sekadar mendapatkan pekerjaan. Demikian pula ketika mereka sudah masuk, motivasi ekonomis masih menjadi lebih dominan daripada nilai yang hendak dicapai kementerian tersebut. Perubahan pola rekrutmen, pola dan jenjang pendidikan internal, dan sebagainya perlu diubah dan disesuaikan dengan tantangan yang ada.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0767 seconds (0.1#10.140)