Pengesahan APBD 2015 Terancam Molor
A
A
A
JAKARTA - Setelah dilantik sejak Agustus lalu, DPRD DKI baru mengesahkan pembentukan dan penetapan alat kelengkapan dewan (AKD) kemarin. Keterlambatan ini bisa berdampak pada molornya pembangunan.
Hal ini karena RAPBD 2015 baru akan dibahas sehingga berpotensi telat disahkan. Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi menuturkan, dengan telah dibentuknya AKD ini, pihaknya berjanji bekerja secepat mungkin untuk menyelesaikan sejumlah agenda daerah, yakni pembahasan RAPBD 2015. “Kami akan bekerja secara maraton untuk membahas APBD siang dan malam,” kata Prasetyo seusai memimpin rapat paripurna kemarin.
Sebagaimana diketahui, pembahasan RAPBD DKI 2015 baru sampai pada tahap Kebijakan Umum Alokasi Platform Penggunaan Anggaran Sementara (KUA PPAS). Bahan KUAPPAS sudah diserahkan Sekretaris Daerah (Sekda) Saefullah bulan lalu ke pimpinan dewan. Hingga kini draf itu belum disentuh oleh DPRD karena AKD belum terbentuk. Prasetyo menyadari pekerjaan dewan cukup berat untuk memastikan pembahasan KUA-PPAS menjadi RAPBD dan akhirnya APBD 2015 tidak molor.
Untuk itu, proses itu harus dikerjakan secara gotong royong dan maraton dengan seluruh anggota badan anggaran (banggar). “Pokoknya APBD 2015 kelar sebelum tahun ini berakhir. Secepatnya kami bahas,” janjinya. Pembahasan itu akan dikonsentrasikan untuk beberapa program unggulan Pemprov DKI Jakarta, seperti penanggulangan banjir, mengatasi masalah transportasi yang semrawut, penyuksesan Kartu Jakarta Sehat (KJP) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP).
“Ini yang kami kawal,” tandas Wakil Ketua DPD PDIP DKI Jakarta itu. Anggota Banggar Prabowo Soenirman menuturkan, persoalan terberat dalam pembahasan RAPBD 2015 di Komisi D (pembangunan). Di bidang itu, banyak persoalan yang harus dipecahkan, seperti pemeliharaan jalan agar tidak ada lagi jalan rusak dan berlubang, pekerjaan fisik terkait antisipasi banjir, pembangunan rumah susun (rusun) untuk menampung warga yang akan direlokasi dari daerah sepadan kali dan sungai, serta membangun jaringan jalan baru untuk menambah rasio jalan.
Di sisi lain, sebelumnya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) baru saja menerbitkan Surat Edaran (SE) No 903/6865/SJ tertanggal 2 November 2014 tentang percepatan penyelesaian rancangan peraturan daerah tentang APBD tahun anggaran 2015. Di dalam SE itu disebutkan bahwa bagi daerah yang belum menyetujui APBD sebelum dimulai tahun anggaran maka kepala daerah dan DPRD dikenakan sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan selama enam bulan.
Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Ucok Sky Khadafi menyangsikan pembahasan APBD 2015 tepat waktu. Bila ditetapkan sebelum 2015, pembahasan di DPRD baik itu banggar maupun komisi dikhawatirkan tidak optimal. Hal itu nantinya rentan terjadi nomenklatur anggaran yang tidak detail teknisnya sehingga kegiatan tidak bisa terlaksana.
Kekhawatiran lainnya bisa memicu munculnya anggaran siluman. “Tahun 2014 saja banyak mata anggaran yang siluman. Padahal pembahasan APBD-nya telah dilakukan lebih awal,” ujarnya. Dia mengingatkan sudah menjadi rahasia umum bahwa pembagian personel di setiap komisi rawan permainan politik anggaran.
Ketika ada pembahasan anggaran dikhawatirkan terjadi penggelembungan anggaran (mark up ), pemotongan nilai (mark down ) terhadap target penerimaan daerah, penyunatan anggaran, dan anggaran siluman. Mark up umumnya terjadi satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang membuat proyek besar. Alokasi anggaran untuk kegiatan itu relatif tinggi, namun pelaksanaannya tidak sebanyak yang dituliskan di nomenklatur.
Adapun mark down terjadi pada SKPD yang menghimpun pendapatan asli daerah (PAD). Sumber PAD semestinya dapat dioptimalkan untuk ditagih dan dimasukkan ke dalam kas daerah, namun tidak disetorkan semuanya. Hal ini biasanya terjadi pada pemungutan pajak. “Hasil pungutan itu bisa saja singgah ke kantong-kantong oknum dewan atau mafia,” sebutnya.
Selain itu, penyunatan anggaran terjadi pada nomenklatur pencairan anggaran, seperti penyertaan modal pemerintah dan dana hibah atau bantuan sosial. Penerima dana tersebut dikhawatirkan tidak menerima dana yang sesuai dengan alokasi yang ditetapkan.
Ilham safutra
Hal ini karena RAPBD 2015 baru akan dibahas sehingga berpotensi telat disahkan. Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi menuturkan, dengan telah dibentuknya AKD ini, pihaknya berjanji bekerja secepat mungkin untuk menyelesaikan sejumlah agenda daerah, yakni pembahasan RAPBD 2015. “Kami akan bekerja secara maraton untuk membahas APBD siang dan malam,” kata Prasetyo seusai memimpin rapat paripurna kemarin.
Sebagaimana diketahui, pembahasan RAPBD DKI 2015 baru sampai pada tahap Kebijakan Umum Alokasi Platform Penggunaan Anggaran Sementara (KUA PPAS). Bahan KUAPPAS sudah diserahkan Sekretaris Daerah (Sekda) Saefullah bulan lalu ke pimpinan dewan. Hingga kini draf itu belum disentuh oleh DPRD karena AKD belum terbentuk. Prasetyo menyadari pekerjaan dewan cukup berat untuk memastikan pembahasan KUA-PPAS menjadi RAPBD dan akhirnya APBD 2015 tidak molor.
Untuk itu, proses itu harus dikerjakan secara gotong royong dan maraton dengan seluruh anggota badan anggaran (banggar). “Pokoknya APBD 2015 kelar sebelum tahun ini berakhir. Secepatnya kami bahas,” janjinya. Pembahasan itu akan dikonsentrasikan untuk beberapa program unggulan Pemprov DKI Jakarta, seperti penanggulangan banjir, mengatasi masalah transportasi yang semrawut, penyuksesan Kartu Jakarta Sehat (KJP) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP).
“Ini yang kami kawal,” tandas Wakil Ketua DPD PDIP DKI Jakarta itu. Anggota Banggar Prabowo Soenirman menuturkan, persoalan terberat dalam pembahasan RAPBD 2015 di Komisi D (pembangunan). Di bidang itu, banyak persoalan yang harus dipecahkan, seperti pemeliharaan jalan agar tidak ada lagi jalan rusak dan berlubang, pekerjaan fisik terkait antisipasi banjir, pembangunan rumah susun (rusun) untuk menampung warga yang akan direlokasi dari daerah sepadan kali dan sungai, serta membangun jaringan jalan baru untuk menambah rasio jalan.
Di sisi lain, sebelumnya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) baru saja menerbitkan Surat Edaran (SE) No 903/6865/SJ tertanggal 2 November 2014 tentang percepatan penyelesaian rancangan peraturan daerah tentang APBD tahun anggaran 2015. Di dalam SE itu disebutkan bahwa bagi daerah yang belum menyetujui APBD sebelum dimulai tahun anggaran maka kepala daerah dan DPRD dikenakan sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan selama enam bulan.
Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Ucok Sky Khadafi menyangsikan pembahasan APBD 2015 tepat waktu. Bila ditetapkan sebelum 2015, pembahasan di DPRD baik itu banggar maupun komisi dikhawatirkan tidak optimal. Hal itu nantinya rentan terjadi nomenklatur anggaran yang tidak detail teknisnya sehingga kegiatan tidak bisa terlaksana.
Kekhawatiran lainnya bisa memicu munculnya anggaran siluman. “Tahun 2014 saja banyak mata anggaran yang siluman. Padahal pembahasan APBD-nya telah dilakukan lebih awal,” ujarnya. Dia mengingatkan sudah menjadi rahasia umum bahwa pembagian personel di setiap komisi rawan permainan politik anggaran.
Ketika ada pembahasan anggaran dikhawatirkan terjadi penggelembungan anggaran (mark up ), pemotongan nilai (mark down ) terhadap target penerimaan daerah, penyunatan anggaran, dan anggaran siluman. Mark up umumnya terjadi satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang membuat proyek besar. Alokasi anggaran untuk kegiatan itu relatif tinggi, namun pelaksanaannya tidak sebanyak yang dituliskan di nomenklatur.
Adapun mark down terjadi pada SKPD yang menghimpun pendapatan asli daerah (PAD). Sumber PAD semestinya dapat dioptimalkan untuk ditagih dan dimasukkan ke dalam kas daerah, namun tidak disetorkan semuanya. Hal ini biasanya terjadi pada pemungutan pajak. “Hasil pungutan itu bisa saja singgah ke kantong-kantong oknum dewan atau mafia,” sebutnya.
Selain itu, penyunatan anggaran terjadi pada nomenklatur pencairan anggaran, seperti penyertaan modal pemerintah dan dana hibah atau bantuan sosial. Penerima dana tersebut dikhawatirkan tidak menerima dana yang sesuai dengan alokasi yang ditetapkan.
Ilham safutra
(bbg)