Mengantar Jakarta Memasuki Normal Baru

Jum'at, 26 Juni 2020 - 08:00 WIB
loading...
Mengantar Jakarta Memasuki...
Nirwono Joga
A A A
Nirwono Joga
Pusat Studi Perkotaan

JAKARTA merayakan hari ulang tahun ke-493 di tengah masa PSBB transisi untuk bersiap memasuki normal baru. Di era normal baru, persoalan Jakarta sebenarnya tetap saja pada dua persoalan utama, yakni mengatasi banjir dan mengurai kemacetan lalu lintas, di samping tetap fokus mengatasi pandemi Covid-19.

Penanganan banjir dan kemacetan lalu lintas yang baik dan benar mensyaratkan harus bisa diterapkan secara teknis, layak secara ekonomi dan pembiayaan, menguntungkan secara politis, serta operasional secara administratif. Kompleksitas kebijakan publik karena tidak ada persoalan publik yang monosektoral dan monoregional. Penanganan masalah banjir dan macet harus dilihat secara komprehesif dari segi rencana tata ruang wilayah, teknik sipil, manajemen transportasi, adminstrasi dan kebijakan publik, peraturan hukum, sosiologi masyarakat, hingga perekonomian. Untuk itu, perlu didorong dan dibangun kerja sama antardaerah.

Kerja sama antardaerah mensyaratkan kejelasan batas administrasi wilayah untuk menentukan siapa yang tepat layak berpartisipasi dalam kerja sama. Batasan ruang lingkup kerja sama memberikan spesifikasi rentang persoalan yang akan diselesaikan oleh para aktor/pemangku kepentingan/pengambil keputusan/kepala daerah.

Peran setiap posisi sebagai posisi yang akan dipegang dan diemban oleh para aktor yang tepat. Batas kewenangan dan prosedur memberikan preskripsi tindakan apa yang akan diambil oleh pemegang posisi secara khusus. Aturan aliran informasi menyangkut tentang informasi yang oleh para aktor boleh dan harus disampaikan kepada pihak lain. Prosedur pengambilan keputusan berkaitan dengan preskripsi cara-cara keputusan kolektif yang akan diambil, misal voting dengan suara mayoritas atau arbitrasi. Teknik pendanaan menunjuk pada biaya dan manfaat yang harus didistribusikan sebagai hasil dari sebuah keputusan.

Kejelasan kewenangan pemerintah pusat dan daerah mencakup paradigma pembangunan inklusif dari bawah, semangat otonomi daerah, dan prinsip desentralisasi yang sehat. Komunikasi yang harmonis antara pemerintah pusat dan daerah akan memuluskan seluruh program pembangunan yang direncanakan, baik oleh pusat, daerah, ataupun bersama.

Selain itu, harus dihindari kesalahan yang sering kali terjadi dalam proses pengambilan keputusan, yakni pengambil kebijakan menolak sesuatu yang benar, menerima sesuatu yang salah, serta memecahkan masalah yang salah. Populisme dan politisasi kebijakan publik sering kali muncul dalam mengatasi persoalan kota. Untuk itu, kepala daerah harus menghindari respons yang konfrontatif dan politis, tidak terjebak eksklusivitas populisme, eksekusi kebijakan tidak boleh lemah, harus ada capaian kebijakan yang menonjol, serta membuang sikap ego sektoral.

Kepala daerah dituntut mampu melakukan koordinasi antarregional melalui kerja sama antardaerah, menguatkan hubungan antara pusat dan daerah, menyadarkan warga, menata ruang kota dan wilayah, menyusun peta jalan penanganan masalah kota, serta berpikir rasional dalam setiap proses pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah kota. Cakupan bidang kerja sama antardaerah fokus pada penanganan banjir dan macet.

Pemerintah DKI Jakarta harus menata bantaran 13 sungai utama dengan memadukan normalisasi dan naturalisasi secara harmonis. Targetkan penataan tiga kali per tahun sehingga pada tahun kelima semua kali tuntas dibenahi. Permukiman di bantaran kali direlokasi agar kali bisa diperlebar dan diperdalam sehingga kapasitas daya tampung air optimal.

Revitalisasi situ, danau, embung, dan waduk (SDEW) (109), ditargetkan 20 SDEW per tahun sehingga tahun kelima SDEW tuntas dibenahi. Badan SDEW diperlebar, dikeruk, dan diperdalam untuk meningkatkan kapasitas daya tampung air hujan. Saluran mikro/tersier/lingkungan, meso/sekunder/kawasan, dan makro/primer/kota harus bebas sampah, limbah, lumpur, serta bangunan. Rehabilitasi saluran air terintegrasi dengan revitalisasi trotoar dan penataan jaringan utilitas bawah tanah secara terpadu.

Menambah luas RTH Jakarta dari 9,98 persen (2020) menjadi 30 persen (2030). Semakin luas RTH semakin besar kemampuan daya serap air tanah meredam banjir. Taman, hutan kota, pemakaman, menghijaukan median jalan, bantaran kali, tepi rel kereta api, kolong layang, dan bawah saluran udara tegangan tinggi, harus lebih banyak dibangun. Prinsip dasar mengurai kemacetan lalu lintas adalah mendorong warga beralih ke angkutan umum dan terbiasa berjalan kaki atau bersepeda saat bepergian dalam jarak dekat. Maka itu, diperlukan pembatasan pergerakan kendaraan pribadi ke pusat kota, menyediakan angkutan umum yang terintegrasi, serta trotoar dan jalur sepeda.

Pemerintah DKI mengembangkan kawasan terpadu di sekitar titik simpul jaringan angkutan umum halte/stasiun/terminal. Kawasan dilengkapi hunian vertikal, fasilitas pendidikan, perkantoran, pusat perbelanjaan/pasar, dan taman. Warga berjalan kaki atau bersepeda dalam kawasan. Selain itu, segera memperbanyak kantong parkir dan mengintegrasikan angkutan massal.

Dirgahayu Kota Jakarta.
(ras)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1088 seconds (0.1#10.140)