Filantropi, Solusi Masalah Sosial

Minggu, 07 Desember 2014 - 10:44 WIB
Filantropi, Solusi Masalah...
Filantropi, Solusi Masalah Sosial
A A A
JAKARTA - Jika dipahami dan dipraktikan dengan benar, filantropi (kedermawanan) bisa menjadi solusi bagi berbagai permasalahan sosial yang terjadi di Tanah Air. Bahkan, Indonesia digadanggadang bisa menjadi role model bagi aktivitas filantropi bagi negara-negara lain.

Terutama yang bersifat homogen dari sektor agama seperti Thailand dan Laos. Tapi sayangnya, kegiatan ini masih dilirik sebelah mata, dan dianggap tidak terlalu penting. Hal ini mengemuka dalam acara peluncuran dan diskusi buku Levers for Change, Philanthropy in Select South East Asian Countries, yang diadakan Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI), Pusat Advokasi dan Penelitian Kepentingan Umum (Public Interest Research &Advocacy Center/Pirac), dan LIEN Centre for Social Innovation (Singapore Management University).

Menurut Prapti Upadhyay Anand, peneliti utama di LIEN Center for Social Innovation, Indonesia adalah pionir atau pelopor bagi filantropi berbasis religi, media, dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility /CSR). “Setelah melakukan penelitian, kami menemukan filantropi skala kecil dan besar sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia,” jelasnya.

Prapti mengatakan, filantropi berbasis religi adalah filantropi yang terbesar. Karena itu, Indonesia bisa menjadi model bagi negara lain karena sudah bisa menggerakkan zakat untuk persoalan kemiskinan Namun, di sisi lain, Indonesia juga masih menghadapi berbagai permasalahan seperti belum bisa memenuhi masalah penurunan dukungan atau donasi filantropi dari luar negeri. Serta, menjembatani gap atau jurang antara kegiatan charity (amal) dengan filantropi.

Dia menguraikan, saat ini filantropi masih terfokus pada orang-orang yang superkaya, tapi belum masuk ke komunitas masyarakat biasa. Padahal jika hal itu terbangun, akan jadi hal yang luar biasa. Dalam hal ini Filipina bisa menjadi model yang baik. Di sana, masyarakat biasa telah banyak yang sadar terkait filantropi dan jaringan pemberi (donor) dari masyarakat biasa juga sudah terbentuk banyak.

Sedangkan di Singapura, berbagai masalah bisa diatasi dengan kegiatan filantropi, karena negara Singa ini jelas-jelas mendukung filantropi. “Krisis yang dihadapi Singapura sepuluh tahun lalu yakni populasi lanjut usia (lansia) meningkat, angka kelahiran menurun, dan perubahan politik, bisa mereka atasi dengan memperkuat sektor sosial,” ungkapnya.

Hal senada diungkapkan Crystal Hayling, salah satu pengurus LIEN Centre for Social Innovation. Dia mengungkapkan, selama tiga dekade terakhir pertumbuhan filantropi di Asia Tenggara meningkat tapi tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini paling banyak terjadi karena masalah infrastruktur di lapangan.

Seperti legalitas, transparansi, jaringan antardonor, dukungan penguatan organisasi non-pemerintah (non-governmental organization /NGO), kebijakan pajak yang eksplisit, dan data yang terkumpul dengan baik. Sayangnya, pengumpulan data inilah yang masih mengalami kesulitan. Idealnya sebuah data terbaru harus terus diperbarui (update ) setiap dua tahun sekali.

Tak hanya data individual, data dari korporasi pun sulit didapat. Banyak pertimbangan yang digunakan kedua pihak, mulai dari tidak ingin diketahui (low profile ) atau bagi perusahaan biasanya malas jika harus menerima lebih banyak proposal permintaan bantuan nantinya. Sementara, Direktur Pirac Hamid Abidin menguraikan data yang cukup menarik. Tahun lalu pihaknya dan Dompet Dhuafa mencatat sebanyak 1.856 kegiatan filantropi telah dilakukan 455 perusahaan.

Angka yang terkumpul pun fantastis, yakni Rp8,6 triliun. Dia menegaskan, filantropi akan berkembang dengan baik bila dianggap penting oleh pemerintah, masyarakat, dan swasta di luar skema pasar dan subsidi pemerintah. “Ini masih dilihat bukan sektor potensial untuk mengatasi berbagai persoalan publik dan masyarakat, tapi hanya dilihat sebagai sektor yang mengganggu,” ungkapnya.

Sedangkan, mantan Ketua PFI Ismid Hadi mengatakan, yang menarik di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, filantropi yang meningkat adalah filantropi individual, atau orang per orang. Ini terjadi karena berbagai motivasi, seperti agama, budaya, dan lebih banyak bersifat sesaat (short term ). Padahal, kegiatan filantropi akan lebih efektif jika dilakukan oleh institusional, bukan individual.

Karena memberi (giving ) yang diberikan bukan bersifat sesaat, tapi strategis untuk jangka panjang (long term ). “Saat ini bagaimana tingkatkan filantropi individual ke institusional? Sebagai contoh untuk berantas kemiskinan, ketimpangan sosial, filantrophy for social justice. Bukan hanya memberi ikannya, tapi juga memberi pancingnya. Bisa enggak instrumen seperti filantropi membawa perubahan seperti itu?”, urainya. Karena itu ke depannya, Ismid menekankan, kebijakan publik akan menjadi hal yang sangat penting sekali.

Susi susanti
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0751 seconds (0.1#10.140)