Mematahkan Stigma Negatif Birokrat

Selasa, 02 Desember 2014 - 10:21 WIB
Mematahkan Stigma Negatif Birokrat
Mematahkan Stigma Negatif Birokrat
A A A
Risma, begitu dia panggil. Perempuan asal Kota Tahu, Kediri, ini lahir 53 tahun silam. Sejak kecil, perempuan bernama lengkap Tri Rismaharini tidak pernah bermimpi menjadi Wali Kota Surabaya.

Tri Rismaharini merupakan birokrat tulen. Dia memulai kariernya dengan menjadi Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Badan Pembangunan dan Perencanaan Kota (Bappeko) pada 1997. Akhirnya pada 2008, dia justru yang terpilih memimpin instansi tersebut.

Namun, sebelum menjadi Kepala Bappeko, Risma sempat menjadi Kepala Seksi Pendataan dan Penyuluhan Dinas Bangunan Kota Surabaya, Kepala Cabang Dinas Pertamanan Kota Surabaya, Kepala Bagian Bina Bangunan, Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP).

Hingga akhirnya garis tangannya menakdirkan dia menjadi Wali Kota Surabaya. Risma merupakan wali kota perempuan pertama di Surabaya. Ketika memimpin kota berpenduduk sekitar 3 juta jiwa ini, jalan terjal dilewatinya. Tidak lama setelah pelantikan, dia dianggap melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 16/2006 tentang Prosedur Penyusunan Hukum Daerah dan Undang-Undang (UU) No 32/2004 yang telah diubah UU No 12/2008.

Namun, rencana pemakzulan ini gagal total. Tidak berhenti di situ, pada awal 2014, muncul kabar soal pengunduran dirinya sebagai Wali Kota Surabaya. Ada banyak penyebab rencana mundurnya Risma. Salah satunya terkait pelantikan Wakil Wali Kota Surabaya Wisnu Sakti Buana yang menurutnya tidak prosedural.

Semua warga Surabaya mengetahui bahwa Risma tidak cocok dengan Wisnu yang saat itu menjadi Wakil Ketua DPRD Surabaya. Pasalnya, Wisnu merupakan salah satu tokoh dibalik rencana pemakzulannya pada awal 2011. Pada akhirnya, isu ini mencair setelah Ketua Umum PDIP Megawati turun tangan dengan datang langsung ke Surabaya menemui Risma dan Wisnu.

Pejuang Lingkungan yang Melek IT

Selama memimpin Surabaya, banyak kebijakan dan inovasi yang bisa dirasakan langsung warga Surabaya. Saat ini banyak lahan kosong yang disulap menjadi taman yang cantik. Sebut saja Taman Bungkul. Taman di tengah kota yang dulunya angker tersebut saat ini menjadi taman paling ramai se-Surabaya. Taman ini seolah tidak pernah tidur.

Sepanjang hari, baik siang maupun malam, selalu dipenuhi pengunjung. Kemudian, di sekitar jalan protokol Surabaya selalu dipenuhi pohon-pohon besar yang menyejukkan mata. Suasana kota bertambah nyaman. Selain kebijakannya dalam membangun dan menata kota, Risma juga terus memperbaiki sistem pelayanan pemerintahan.

Salah satu caranya dengan memanfaatkan teknologi informasi dalam menjalankan seluruh manajemen perkotaan atau paperless. Dengan pemanfaatan teknologi ini, kinerja pemerintahan menjadi lebih efisien secara waktu dan hemat dari segi anggaran. Pemanfaatan teknologi informasi ini juga demi menyelenggarakan pemerintahan yang baik.

Pengusulan pembangunan pun sekarang diajukan secara elektronik melalui e-musrenbang. Perhitungan anggaran juga sangat detail karena sudah menggunakan sistem ebudgeting. Demikian halnya dengan proses pembayaran transaksi. Risma menilai bahwa sudah tidak ada lagi pembayaran proyek secara cash .

Tak hanya dalam sistem keuangan, pemanfaatan teknologi juga diterapkan di berbagai penjuru kota dalam bentuk pemasangan kamera closed-circuit television (CCTV). Selain untuk faktor keamanan, pemasangan CCTV juga bertujuan untuk pengaturan lalu lintas. “Dari segi keamanan, kami koordinasi dengan pihak kepolisian untuk memantau tindak kriminalitas. Sedangkan, pengaturan lalu lintas dioperasikan Dinas Perhubungan,” katanya, Minggu (25/5).

Dalam sistem pengadaan barang dan jasa, juga melalui lelang elektronik, hingga akhirnya sistem ini berhasil menyabet penghargaan berupa EProcurement Award 2013 kategori Kepemimpinan dalam Transformasi Sistem Pengadaan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Penghargaan tersebut diserahkan Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Agus Rahardjo kepada Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di Jakarta pada 20 November 2013.

Surabaya dinilai sebagai pelopor karena menjadi kota pertama di Indonesia yang menerapkan sistem lelang elektronik. Pada 2003, Pemkot Surabaya dengan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 18/2000 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa, memulai langkah fasilitasi proses prakualifikasi secara elektronik melalui internet yang dikenal dengan lelang serentak.

Proses pengadaan barang/jasa secara e-Procurement (e-Proc ) diatur dalam Peraturan Wali Kota Surabaya No 30/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Proses Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemerintah Daerah dengan Sistem E-Procurement. Sistem e-Proc memiliki banyak keunggulan dibanding sistem lama yang bersifat manual.

Seluruh rangkaian proses pengadaan barang/jasa bersifat terbuka. Publik dapat memantau perkembangan paket-paket pekerjaan yang dilelang Pemkot, mengetahui pemenang tender dan berapa nominal proyek dengan mengakses laman lpse.surabaya.go.id.

Dengan demikian, seluruh rangkaian proses pengadaan barang/jasa bersifat terbuka. Wali kota juga dapat dengan mudah memantau langsung sejauh mana progres pelaksanaan lelang, sehingga apabila ada kecurangan sekecil apa pun, pasti akan ketahuan. Dalam proses perizinan, Pemkot Surabaya juga telah meninggalkan cara konvensional dan beralih pada inovasi teknologi informasi komunikasi (TIK).

Sistem perizinan online itu diberi nama Surabaya Single Window (SSW). Perbedaan mendasar SSW dengan sistem sebelumnya terletak pada mekanisme pemrosesan izin paralel (sebelumnya menggunakan metode seri). Artinya, beberapa izin yang diajukan pemohon bisa diproses bersamaan, tidak saling tunggu.

Dengan mekanisme paralel (terpadu), otomatis memangkas waktu proses perizinan sehingga penyelesaian perizinan jadi lebih cepat. Sebelumnya izin diproses satu persatu. Selama izin yang satu belum selesai, proses belum bisa dilanjutkan ke izin berikutnya. Seluruh proses SSW menggunakan data elektronik, mulai gambar, dokumen persyaratan, surat tanah, gambar perencanaan, juga dokumen yang lain, semua secara elektronik.

Adapun alur pengajuan perizinan via SSW, masyarakat bisa mengakses situs www.surabaya.go.id, kemudian klik layanan surabaya.go.id . Setelah melengkapi persyaratan, pemohon tinggal datang ke kantor UPTSA untuk verifikasi ke petugas di loket DCKTR. Jika masih ada kekurangan, pemohon akan diberi tahu agar berkas segera dilengkapi. Setelah lengkap, baru akan dilakukan cek lapangan. Warga antusias memaksimalkan SSW.

Itu terlihat dari jumlah permohonan yang setiap bulan hampir selalu lebih dari 1.000 pemohon. Rentang waktu penyelesaian perizinan di SSW beragam, mulai 14-30 hari, tergantung jenis izin yang diajukan. Beberapa izin yang bisa diurus melalui SSW, yakni surat keterangan rencana kota (SKRK), amdal lalin, UKLUPL, izin gangguan (HO), izin mendirikan bangunan (IMB), dan tanda daftar usaha pariwisata (TDUP).

Lukman hakim
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6818 seconds (0.1#10.140)