7 Sabda Bahagia

Minggu, 30 November 2014 - 11:13 WIB
7 Sabda Bahagia
7 Sabda Bahagia
A A A
Seluruh pergulatan hidup manusia bermuara pada satu hasrat, yakni kebahagiaan. Namun, upaya untuk mendapatkan kebahagiaan kerap terperangkap dalam jebakan materialisme dan kapitalisme.

Materialisme suatu cara pandang dan sikap yang mengagungkan materitelah menciptakan topeng kebahagiaan. Pun kapitalisme turut menyempurnakan rupa palsu kebahagiaan. Demi melipatgandakan modal, manusia dirayu agar lebih konsumtif dan hedonis.

Orang lalu mengira kenikmatan, kesenangan, atau hedonis itu sama dengan kebahagiaan. Orang mengira kesuksesan menumpuk materi; uang, rumah mewah, mobil, dan sebagainya otomatis mendatangkan kebahagiaan. Sukses mencapai tahta dan harta bisa saja mendatangkan pleasure atau kesenangan, tapi bukan kebahagiaan.

Lantas apakah kebahagiaan itu bisa diraih tanpa harus menunggu sukses lebih dulu? Buku The 7 Laws of Happiness karya Arvan Pradiansyah menjawab pertanyaan itu tanpa ragu, ya. Bahkan Arvan jamin kebahagiaan itu mendahului kesuksesan. Agar sukses, orang harus bahagia dulu, bukan sebaliknya.

Memang bisa? Ya, bisa. Bagaimana caranya? Sama seperti sukses, ada ilmu untuk menggapainya. Demikian juga kebahagiaan, ada ilmunya. Namun, sebelum mempelajari ilmu untuk meraih kebahagiaan, perlu lebih dulu memahami esensi dan perbedaan antara kesenangan, kesuksesan dan kebahagiaan. Banyak orang mengacaukan pemahaman antara kebahagiaan dan kesenangan.

Sederhana saja, kesenangan itu sifatnya sesaat. Kesenangan bisa ditimbulkan oleh sesuatu yang sifatnya fisis. Objek fisis semisal bingkisan jam tangan kado ulang tahun dari teman bisa mendatangkan kepuasan, namun sifatnya sesaat, tak berlangsung lama. Kepuasan atau kesenangan juga bisa dirasakan saat kita sukses.

Sukses atau kesuksesan itu sendiri artinya mendapatkan apa yang kita inginkan. Jadi, esensi sukses adalah sebuah pencapaian; semisal memiliki rumah, mobil, pekerjaan, jabatan. Orang dianggap belum sukses jika belum memiliki itu semua. Prasyarat-prasyarat kesuksesan terukur dan bisa diamati. Tidak heran ketika seseorang telah mencapai target, atau sukses ia merasa bangga atau senang.

Kebahagiaan tidak sama dengan kesenangan dan kesuksesan. Kalau kesenangan bersifat sementara dan dipicu oleh objek fisis, kebahagiaan berlangsung lama dan tak dipicu objek fisis dari luar. Kalau kesenangan dan kesuksesan lebih berdimensi fisis, maka kebahagiaan berdimensi spiritual.

Dan prasyarat kebahagiaan bersifat kualitatif. Lalu di manakah lokasi kebahagiaan itu dalam diri manusia? Tak jauh-jauh di luar sana. Kebahagiaan ada dalam pikiran kita. Kebahagiaan ditentukan oleh kondisi pikiran ketimbang dari luar. Keadaan pikiran akan menentukan kebahagiaan. Jadi, pikiran adalah kunci kebahagiaan itu sendiri. Jika pikiran kita baik, maka hasilnya juga baik atau positif.

Sebaliknya, jika pikiran kita negatif, hasilnya juga negatif. Bagaimana menjaga pikiran agar tetap berada pada jalur positif dan benar? Buku The 7 Laws of Happiness mengulas metode dan latihan untuk menjaga agar pikiran tetap pada treknya.

Arvan, pada halaman 73- 84, mengurai teknik dan latihan bagaimana menyaring pikiran negatif, membuang hal-hal yang tidak sehat dari pikiran dan menggantinya dengan hal-hal yang baik, melindungi otak-tempat aktivitas berpikir- agar tidak terkontaminasi oleh hal-hal yang negatif.

Selanjutnya, menurut penulis, ada tujuh kunci atau hukum untuk mencapai kebahagiaan. Tiga yang pertama-patience, gratitude, simplicity berkaitan dengan relasi intrapersonal. Tiga yang kedua-love, giving, forgiveness berkaitan dengan relasi interpersonal. Dan terakhir, surrender, relasi dengan Tuhan.

Kunci atau hukum yang pertama, kesabaran (patience ) merupakan dasar dari keenam hukum lainnya. Namun, pada tingkat praksis hukum pertama ini sangat sulit dilaksanakan. Mengapa demikian? Sebab, kecenderungan kodrati manusia, yaitu ketergesaan selalu muncul. LEBIH CEPAT LEBIH BAIK style hidup manusia modernsandungan ujian kesabaran.

Untuk melawan kodrat ketergesaan itu manusia membutuhkan kekuatan di luar dirinya, yaitu Tuhan. Kekuatan Tuhan bekerja hingga manusia perlahan menjadi lebih sabar. Maka, benar jika dikatakan bahwa Tuhan sungguh menyertai orang yang sabar. Kekuatan kesabaran menjadi dasar untuk melaksanakan keenam hukum yang lainnya. Hukum kedua, bersyukur (gratitude) salah satu fondasi penting untuk meraih kebahagiaan.

Mensyukuri setiap apa yang diperoleh ternyata-menurut Arvan-sangat penting untuk menggapai hidup bahagia. Hanya, untuk menumbuhkan sikap bersyukur tidak mudah, sebab tidak ditentukan oleh faktor eksternal. Sikap atau rasa bersyukur ditentukan oleh faktor internal berupa karakter atau kondisi internal seseorang.

Contoh sederhana, orang minum air. Orang merasakan nikmat dan puasnya minum pada saat haus. Kondisi internal haus itu yang membuat dia bersyukur setiap tetes air yang masuk. Kendati sulit menumbuhkan sikap bersyukur itu, namun ada metodenya. Arvan mengulas metode dan teknik untuk menumbuhkan gratitude itu pada halaman 166-183 buku ini.

Selanjutnya hukum ketiga, kesederhanaan (simplicity ) salah satu kunci untuk meraih kebahagiaan. Cara pandang kita melihat sesuatu yang terjadi di sekitar kita sangat mempengaruhi pikiran kita. Kadang kita merasa begitu rumit dan kompleks persoalan yang kita hadapi. Simplicity, menurut penulis, akan membawa kita pada inti persoalan yang dihadapi.

Pada bagian ini, penulis juga mengulas tujuh metode dan teknik untuk menyelesaikan persoalan yang rumit menjadi sederhana. (halaman 186-213) Pada relasi interpersonal, kasih atau love menjadi landasan kebahagiaan. Relasi dengan orang lain hanya bisa berjalan dengan baik bila dilandasi dengan semangat kasih sayang.

Menurut penulis, kasih terhadap sesama merupakan perwujudan dari rasa percaya kita kepada Tuhan. Karena Tuhan itu maha kasih, maka sebagai perwujudan terhadap kasih kepada Tuhan (jawaban kita atas kasih Tuhan) kita harus mengasihi sesama. Orang yang beriman (beragama) dan percaya kepada Tuhan sebagai sumber kasih niscaya selalu mengasihi sesamanya lewat kata dan perbuatannya.

Dari kasih (love ) itu lahirlah hukum kebahagiaan berikutnya, yaitu giving dan forgiveness. Orang yang suka membagi, memberi, dan memaafkan orang lain dasarnya karena kasih. Jika tidak ada kasih, dia tak mungkin memberi atau memaafkan yang lain. Kalau memberi itu disertai pamrih tertentu, dengan tujuan tertentu, itu bukan kasih.

Dan hukum ketujuh, surrender menyempurnakan keenam hukum yang lainnya. Kepasrahan merupakan suatu kesadaran dan sikap batin bahwa kemampuan serta kekuatan apa pun yang kita miliki masih dalam kendali kekuatan yang lebih besar yang mengatasi kekuatan kita. Dialah Yang Maha Kuasa.Surrender itu sendiri merupakan perwujudan dari kepercayaan kita kepada Tuhan.

Untuk menumbuhkan sikap ini Arvan menawarkan empat langkah (halaman 342-343). Semua orang sudah pasti menginginkan hidupnya bahagia. Buku ini pasti disukai semua kalangan, sebab berisi sabda yang membuat bahagia. Namun, lebih dari sabda, sebab buku ini juga sangat aplikatif. Kita membacanya dan pada saat yang sama kita bisa mempraktikannya. Itu salah satu keunggulan buku ini.

Donatus nador,
jurnalis KORAN SINDO
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1329 seconds (0.1#10.140)