Jokowi Diminta Tak Ulangi Praktik Kasar Rezim Orba
A
A
A
JAKARTA - Partai Gerindra menilai sejumlah kebijakan menteri kabinet Joko Widodo (Jokowi) dalam beberapa pekan terakhir kerap menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Kebijakan pemerintah itu seperti, kebijakan Menkumham Yasonna Laoly yang meloloskan pengurusan DPP PPP kubu Romahurmuziy versi Muktamar Surabaya.
Menurut Ketua Bidang Hukum dan Advokasi DPP Partai Gerindra Habiburokhman, penetapan pengurus tersebut terjadi selang sehari politikus PDIP itu dilantik menjadi Menkumham. Sehingga, hal ini dinilai syarat akan nuansa politis.
"Kebijakan Menkumham itu terang-terangan melanggar Pasal 24 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik," ujar Habib melalui pesan singkat yang diterima Sindonews, Rabu (26/11/2014).
Berikutnya, kebijakan Jokowi melalui keputusan Presiden (Keppres) yang secara terang-terangan melarang para pembantunya untuk memenuhi panggilan DPR. Hal itu pun akhirnya dipatuhi para menteri. Bahkan, Menteri BUMN, Rini Soemarno secara terangan-terangan melarang pimpinan BUMN menghadiri panggilan DPR.
Menurut dia, DPR merupakan lembaga tinggi negara yang diberikan tugas serta hak kontitusi untuk mengawasi dan mengontrol jalannya pemerintahan. Sehingga, tak pantas Jokowi melarang para menterinya tersebut.
Kebijakan yang paling baru, kata Habib, keluarnya permintaan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno yang meminta kepada jajaran Polri agar tak memberikan izin kepada Partai Golkar untuk menggelar Munas di Bali pada 30 November sampai 3 Desember 2014.
Mantan aktivis 98 ini mengatakan, larangan Menko Polhukam itu dinilai sebagai bentuk intervensi yang mengarah pada 'pelemahan' Partai Golkar oleh pemerintah.
"Rezim Jokowi seharusnya tidak mengulangi praktik-praktik politik kasar seperti rezim Orde Baru. Demokrasi dan reformasi yang kita rasakan saat ini adalah buah dari perjuangan sangat panjang yang bahkan mengorbankan darah dan tenaga."
"Tindakan-tindakan politik kasar seperti intervensi terhadap partai politik dan pelemahan DPR pasti akan menuai perlawanan dari rakyat," tegasnya.
Kebijakan pemerintah itu seperti, kebijakan Menkumham Yasonna Laoly yang meloloskan pengurusan DPP PPP kubu Romahurmuziy versi Muktamar Surabaya.
Menurut Ketua Bidang Hukum dan Advokasi DPP Partai Gerindra Habiburokhman, penetapan pengurus tersebut terjadi selang sehari politikus PDIP itu dilantik menjadi Menkumham. Sehingga, hal ini dinilai syarat akan nuansa politis.
"Kebijakan Menkumham itu terang-terangan melanggar Pasal 24 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik," ujar Habib melalui pesan singkat yang diterima Sindonews, Rabu (26/11/2014).
Berikutnya, kebijakan Jokowi melalui keputusan Presiden (Keppres) yang secara terang-terangan melarang para pembantunya untuk memenuhi panggilan DPR. Hal itu pun akhirnya dipatuhi para menteri. Bahkan, Menteri BUMN, Rini Soemarno secara terangan-terangan melarang pimpinan BUMN menghadiri panggilan DPR.
Menurut dia, DPR merupakan lembaga tinggi negara yang diberikan tugas serta hak kontitusi untuk mengawasi dan mengontrol jalannya pemerintahan. Sehingga, tak pantas Jokowi melarang para menterinya tersebut.
Kebijakan yang paling baru, kata Habib, keluarnya permintaan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno yang meminta kepada jajaran Polri agar tak memberikan izin kepada Partai Golkar untuk menggelar Munas di Bali pada 30 November sampai 3 Desember 2014.
Mantan aktivis 98 ini mengatakan, larangan Menko Polhukam itu dinilai sebagai bentuk intervensi yang mengarah pada 'pelemahan' Partai Golkar oleh pemerintah.
"Rezim Jokowi seharusnya tidak mengulangi praktik-praktik politik kasar seperti rezim Orde Baru. Demokrasi dan reformasi yang kita rasakan saat ini adalah buah dari perjuangan sangat panjang yang bahkan mengorbankan darah dan tenaga."
"Tindakan-tindakan politik kasar seperti intervensi terhadap partai politik dan pelemahan DPR pasti akan menuai perlawanan dari rakyat," tegasnya.
(kri)