Sistem Penganggaran Kartu Indonesia Sehat Buruk

Senin, 24 November 2014 - 10:26 WIB
Sistem Penganggaran...
Sistem Penganggaran Kartu Indonesia Sehat Buruk
A A A
JAKARTA - Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang diluncurkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) awal November lalu terus menuai kritik. Setelah dianggap tumpang-tindih, kini sistem penganggaran kartu itu dinilai buruk.

Pemerintah dianggap tidak mempunyai perhitungan anggaran yang matang pada KIS. Premi yang dipatok pemerintah tidak akan mampu menutupi biaya obat dan dokter.

Guru besar bidang kesehatan masyarakat UI Hasbullah Thabrany mengatakan, kesalahan Presiden Jokowi dalam penyaluran KIS adalah sistem anggarannya yang buruk. Dalam KIS pemerintah menganggarkan premi per orang per bulan atau penerima bantuan iuran (PBI) hanya Rp19.225. “Memang KIS bagus untuk kesejahteraan rakyat. Tapi dipikirkan dulu berapa anggaran yang sesuai sehingga tidak banyak pihak yang kesal karena tidak sanggup menutup biaya obat dan dokter,” katanya kepada KORAN SINDO kemarin.

Dia menjelaskan, idealnya premi kartu tersebut Rp60.000/orang/bulan. Namun patokan yang pantas saat ini bisa saja Rp40.000 agar rumah sakit tidak dibebani kekurangan anggaran sehingga leluasa menerima pasien. Besaran iuran itu masih kecil dibandingkan dengan premi yang dibayar Pemerintah Thailand untuk jaminan kesehatan rakyatnya yaitu Rp90.000 per orang setiap bulan.

Dia menganggap pemerintah tidak mampu menghitung anggaran belanja kesehatan, sementara bila menghitung subsidi bahan bakar minyak (BBM) sangat fasih. Hasbullah menegaskan, Jokowi jangan menganggap belanja kesehatan ini sebagai sedekah karena rumah sakit tidak akan mau menutupi kekurangan pembiayaan tersebut. KIS jangan dijadikan komoditas politik sesaat saja, sementara anggarannya tidak mencukupi untuk pembiayaan pasien.

Presiden Jokowi meluncurkan KIS 3 November 2014 lalu. Pembiayaan KIS menggunakan anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang di 2014 dialokasikan Rp20 triliun. Program KIS ini menyasar 88,1 juta warga miskin dan rentan miskin. Mereka ditanggung pemerintah melalui BPJS dengan premi sebesar Rp19.225 per orang. Hasbullah menuturkan, jika saja pemerintah menetapkan premi per orang dengan ideal, rumah sakit swasta akan tertarik menerima pasien KIS tersebut.

Adapun rumah sakit pemerintah mau tidak mau harus menerima pasien KIS karena memang mereka menerima subsidi dari APBN atau APBD.“Problemnya banyak keraguan dari swasta untuk ikut karena masalah biaya itu. Rumah sakit memang harus mencari profit. Maka jangan heran beban KIS itu seluruhnya diserahkan ke rumah sakit negeri yang disubsidi negara,” ungkapnya.

Dia menerangkan, pemerintah mesti punya komitmen dulu agar kartu sakti di bidang kesehatan ini bisa berjalan tanpa hambatan. Ada dua cara yang bisa digunakan untuk mendapatkan anggaran yang cukup, yakni mengalihkan subsidi BBM atau menggunakan seluruh penerimaan cukai rokok. Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Widjajarta menilai pemerintah tidak mempunyai perhitungan premi yang baik sehingga tidak ada rumah sakit swasta yang bisa ikut serta.

“Masalahnya sama dengan BPJS. Dengan perhitungan yang ada tidak ada rumah sakit swasta yang ikut,” terangnya. Marius menjelaskan, premi KIS sebesar Rp19.225 per orang merupakan jumlah yang tidak masuk akal untuk bisa mendapatkanpelayanan terbaik dari setiap rumah sakit. Menurut dia, pemerintah harus menghitung ulang dana bantuan yang harus diberikan pemerintah kepada masyarakat.

Wakil Ketua Komisi IX DPR Pius Lustrilanang berpendapat, sejak awal kartu-kartu sakti Jokowi tidak memiliki dasar hukum. Yang diketahui DPR selama ini untuk masalah kesehatan adalah BPJS, sementara KIS tidak dikenal. Selain itu, pemerintahan Jokowi juga belum pernah membahas apa pun dengan DPR, khususnya terkait penganggaran program-program tersebut. Jadi, tidak mengherankan jika kartu ini justru menyulitkan pihak penyelenggara kesehatan, yakni rumah sakit dan para dokter.

Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengatakan, pada dasarnya DPR mendukung apa pun program yang semangatnya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tapi, KIS versi Jokowi ini tidak memiliki payung hukum karena undangundang sebelumnya hanya mengatur tentang BPJS. “UU BPJS dan penyelenggara BUMN itu namanya BPJS,” katanya.

Sebelumnya, KetuaOmbudsman Danang Girindrawardana mengatakan, tiga kartu sakti, yakni Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang diluncurkan Presiden Jokowi tumpang tindih, khususnya dengan program pemerintah daerah.

Neneng z/Kiswondari /Okezone
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0625 seconds (0.1#10.140)