Mengkritisi Konsep Ruang Publik Habermas

Minggu, 23 November 2014 - 11:08 WIB
Mengkritisi Konsep Ruang Publik Habermas
Mengkritisi Konsep Ruang Publik Habermas
A A A
Pada 1962 seorang filsuf dan sosiolog asal Jerman, Jurgen Habermas mengembuskan paradigma baru lewat konsep Strukturwandel der Offentlichkeit. Inti dari konsep ini, bahwa negara demokrasi yang sehat sangat ditentukan ruang publik yang sehat.

Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai berkumpulnya orangorang untuk berdiskusi berdasarkan rasionalitas.

Ruang publik besar peranannya dalam sebuah proses demokrasi, sebab di dalamnya rakyat bebas menyatakan argumen dan sikapnya tanpa ada batasan dan perbedaan apa pun. Habermas juga menambahkan bahwa ruang publik tersebut harus bebas dari intervensi dan ketidaktransparan serta terbebas dari unsur politik dan “permintaan pasar”.

Teori Habermas mengenai ruang publik terasa begitu indah dalam iklim demokratis yang sama-sama ingin kita ciptakan, namun sepertinya teori Habermas ini belumlah sempurna. Dalam buku Politik, Gender dan Ruang Publik, Dewi Chandraningrum seorang yang gencar menyuarakan hak-hak kesetaraan perempuan menilai bahwa teori Habermas memiliki banyak kekurangan. Dewi–– dengan menggunakan kerangka teori feminis––membeberkan kelemahan konsep Habermas.

Dewi mempertanyakan apakah kebebasan di ruang publik itu sudah menjangkau seluruh lapisan masyarakat? Bagaimana dengan hak-hak perempuan dan bagian masyarakat lainnya seperti para waria, misalnya. Apakah mereka sudah memiliki ruang yang setara dengan warga masyarakat lain dalam hal kebebasan mengeluarkan pikiran dan berpendapat?

Jika merujuk pada teori Habermas tentang ruang publik yang bebas dan menjanjikan kesetaraan dalam beropini maka ruang publik kita belumlah sesuai dengan teori tersebut, karena masih banyak perempuan dan anggota masyarakat lainnya yang belum bisa beropini secara lantang.

Belum lagi saat ini ruang publik lebih banyak menghadirkan talk show yang dipanggungkan dari pada perdebatan dan diskusidiskusi yang mampu menghadirkan solusi yang tepat dan berguna. Televisi, sebagai salah satu alat yang mudah diakses seluruh lapisan masyarakat pun tidak bisa menjadi ruang publik yang yang netral.

TV lebih banyak digunakan sebagai corong bagi segelintir orang untuk kepentingan golongan mereka sendiri. Dewi menganggap bahwa negara belum bisa memberi ruang setara untuk seluruh lapisan masyarakat dan ruang publik hanya menjadi milik sebagian orang. Tidak hanya Dewi, ada Angelika Riyandari, Rika Saraswati dan Anita Dhewy yang turut menulis dalam buku ini.

Angelika Riyandari mengangkat tema majalah wanita yang sudah dengan tanpa sengaja malah menjerumuskan perempuan untuk berada dalam kotaknya. Mungkin karena namanya majalah wanita, maka isinya hanya membahas masalah perempuan yang sifatnya domestik, bagaimana menjadi “a good woman”. Tidak banyak bahkan nyaris tidak ada majalah wanita yang di dalamnya turut menyertakan pikiran dan opini-opini perempuan mengenai isu-isu lain semisal isu politik.

Dominannya isu-isu perempuan di majalah wanita membuat isu lain yang juga penting bagi perempuan menjadi terpinggirkan. Padahal untuk bisa berbicara dan beropini dengan lugas, perempuan juga perlu membekali diri dengan membaca. Rika Saraswati menitikberatkan tulisannya pada demokrasi dan keterlibatan perempuan di dalamnya. Sementara Anita Dhewy menyoroti mengenai perempuan dalam pemilu.

Ia menulis keberadaan caleg perempuan yang di atur oleh UU menyebutkan bahwa harus ada minimal 30% keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Pemilihan caleg perempuan pun banyak bukan hasil dari kaderisasi partai, melainkan lebih kepada kedekatan personal atau keterkenalan seseorang, seperti selebritis misalnya.

Bukannya tidak ada perempuan hebat yang bisa duduk di kursi legislatif atas dasar kemampuannya, tapi kenyataannya sekarang adalah seorang selebriti akan lebih mudah duduk di kursi legislatif daripada seorang aktivis. Bagi mereka yang berhasil lolos pun selalu ada standar ganda bagi para perempuan yang duduk di parlemen.

Susan Monalusia, penulis Lepas, Bandung
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6026 seconds (0.1#10.140)