Agama & Identitas Kewargaan
A
A
A
Polemik mengenai kolom agama dalam KTP kembali mengemuka dalam konteks kekinian. Adalah pernyataan Mendagri Tjahjo Kumolo yang memperbolehkan bagi warga negara Indonesia untuk tidak perlu mencantumkan ada kolom agama dalam KTP mereka.
Namun, pernyataan itu kemudian dikoreksi dengan Menteri Agama Lukam Hakim Saifuddin yang menyatakan bahwa kolom agama dalam KTP tidak boleh dikosongkan. Hanya, pemerintah saat ini masih menggodok formulasi rekognisi dan representasi terhadap warga negara yang memiliki kepercayaan di luar enam agama resmi yang diakui pemerintah agar bisa mencantumkan dalam kolom KTP.
Perdebatan tersebut bersumber pada bunyi Pasal 64 ayat 5 UU 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan: ”dalam hal agama, seseorang di luar enam agama nasional dapat tidak mengisi kolom agama”. Artinya dalam hal ini ditemukan ada diskriminasi terhadap warga negara yang memiliki kepercayaan di luar enam agama resmi untuk bisa mendapatkan akses pelayanan publik dari negara.
Premis itulah yang kemudian menjadi interseksi krusial dalam memaknai relasi agama, kewargaan, dan pelayanan publik pada masa sekarang ini. Letak krusialnya terletak pada urgensi dan signifikasi agama dalam masalah kewargaan dan pelayanan publik di konteks masyarakat Indonesia yang majemuk.
Inilah yang perlu untuk dielaborasi lebih lanjut mengenai hubungan ketiga relasi tersebut kaitannya dengan redistribusi dan diseminasi barang publik ( public goods ) secara merata bagi warga negara. Konsepsi mengenai warga negara sendiri terkait dua hal yakni token of membership dan sense of belonging (Robert, 2014).
Dua hal itulah yang kemudian mendasari terbentuknya relasi emosional dan afeksional antara warga negara dan negara itu sendiri. Negara adalah rumah besar bagi warganya yang membutuhkan payung proteksi dan sekuriti, sementara negara memerlukan warga negara sebagai poin penting ada penegakan kedaulatan ke dalam.
Permasalahan yang timbul selanjutnya adalah perancangan pembahasan mengenai kewargaan tersebut dalam aksesibilitas pelayanan publik tersebut, apakah dikonsensuskan secara bersama antara negara dan warga negara atau hanya negara yang berhak mendefinisikan parameter kewargaannya.
Secara teoritik, pendefinisian kewargaan ( citizenship ) sendiri dielaborasi secara kritis dalam berbagai mazhab mulai dari republikanisme, komunitarianisme, liberalisme, hingga sosialisme. Namun, untuk merangkai kasus KTP Indonesia, kecenderungan perdebatan lebih diarahkan ke dua mazhab yakni republikanisme dan liberalisme.
Adapun dalam pandangan republikanisme, KTP dengan berbagai macam parameter identitas tersebut merupakan bentuk kewargaan negara ( state citizenship ). Negara secara represif menegakkan kedaulatannya dengan mengakui warga negara dengan pelbagai macam parameter yang dibuat dan ditentukan secara sepihak melalui pencantuman kolom identitas tertentu.
Itu dilakukan supaya negara bisa memilah dan mengakui warga negara yang secara benar dan nyata diakui sebagai bagian dari negara. Itulah yang kemudian menciptakan logika majoritarian berbasis kolegial bahwa publik yang diakui warga negara adalah mereka yang menerima dan mengikuti identitas yang diakui negara secara masif.
Implikasinya kemudian adalah timbul ”warga negara kelas dua” dan ”warga negara liyan” karena mereka tidak diakui oleh negara akibat kolom identitas minoritas berbeda. Kasus kewargaan Indonesia secara kasuistik juga menemukan bukti empiriknya seperti dalam kasus Komunitas Samin, Komunitas Baduy, Ahmadiyah, dan sebagainya.
Studi CRCS (2012) menyebutkan bahwa eskalasi terjadi peningkatan kekerasan di Tanah Air lebih karena diferensiasi maupun politisasi terhadap identitas berbeda yang pada dasarnya lebih karena kompetisi ekonomi politik sendiri.
Maka itu, dapat dikonklusikan bahwa sebenarnya pencantuman agama dalam KTP adalah manifestasi kewargaan negara yang lebih mengarusutamakan ada logika majoritarian dalam menekan publik sebagai warga negara.
Itulah yang kemudian dilinearkan dengan konteks politisasi terhadap pelayanan publik yang kemudian menciptakan segregasi penduduk dalam mendapatkan akses hanya karena masalah identitas yang berbeda. Agama kemudian menjadi produk politik yang menjadi dasar segregasi tersebut jika kita melihat konteks empiris selama ini di lapangan.
Agama berkembang dalam dimensiprofan yang kemudian dikomoditisasi sebagai alat penekan bagi mereka yang berbeda. Adapun pemahaman kewargaan komunitarian ( communitarian citizenship ) lebih melihat dimensi pendefinisian mengenai kewargaan sendiri dikonsensuskan secara bersama baik warga negara maupun negara secara bersama-sama.
Berbeda dengan kewargaan negara yang menekankan ada parameter tunggal sepihak dari negara dalam kaitannya sebagai patron. Pembentukan kewargaan komunitarian lebih dikaitkan pembayaran dan redistribusi pajak sebagai dasar pembentukannya.
Kasus ini biasanya terjadi dalam kasus negara kesejahteraan di mana pajak menjadi alat politik penting bagi negara membiayai jaminan sosial bagi warga negara dari pajak progresif warga kaya dan warga miskin mendapatkan jaminan dari negara.
Mengenai kolom agama yang menjadi titik krusial, agama kemudian berkembang menjadi agama sipil ( civil religion ) yang lebih memaknai pemahaman agama dalam konteks profetik sehingga tidak perlu mengundang debat kusir mengenai signifikasi agama sebagai bagian dari warga negara.
Yang terpenting dalam konteks kewargaan ini adalah pelayanan publik berikut pula jaminan sosial dapat terdistribusikan secara merata ke seluruh lapisan penduduk. Maka itu, pencantuman kolom agama sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 64 ayat 5 UU 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan tidaklah perlu diperdebatkan lebih lanjut apalagi sampai dieskalasikan menjadi isu politik yang hiperbola.
Yang terpenting bagaimana negara bersikap netral dan independen dalam mendistribusikan pelayanan publik dan jaminan sosial tersebut secara adil dan merata. Netral dan independen tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk sikap negara maupun warga negara bahwa mereka saling terkait dan saling terikat satu sama lain baik secara emosional maupun konstitusional.
Namun, pernyataan itu kemudian dikoreksi dengan Menteri Agama Lukam Hakim Saifuddin yang menyatakan bahwa kolom agama dalam KTP tidak boleh dikosongkan. Hanya, pemerintah saat ini masih menggodok formulasi rekognisi dan representasi terhadap warga negara yang memiliki kepercayaan di luar enam agama resmi yang diakui pemerintah agar bisa mencantumkan dalam kolom KTP.
Perdebatan tersebut bersumber pada bunyi Pasal 64 ayat 5 UU 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan: ”dalam hal agama, seseorang di luar enam agama nasional dapat tidak mengisi kolom agama”. Artinya dalam hal ini ditemukan ada diskriminasi terhadap warga negara yang memiliki kepercayaan di luar enam agama resmi untuk bisa mendapatkan akses pelayanan publik dari negara.
Premis itulah yang kemudian menjadi interseksi krusial dalam memaknai relasi agama, kewargaan, dan pelayanan publik pada masa sekarang ini. Letak krusialnya terletak pada urgensi dan signifikasi agama dalam masalah kewargaan dan pelayanan publik di konteks masyarakat Indonesia yang majemuk.
Inilah yang perlu untuk dielaborasi lebih lanjut mengenai hubungan ketiga relasi tersebut kaitannya dengan redistribusi dan diseminasi barang publik ( public goods ) secara merata bagi warga negara. Konsepsi mengenai warga negara sendiri terkait dua hal yakni token of membership dan sense of belonging (Robert, 2014).
Dua hal itulah yang kemudian mendasari terbentuknya relasi emosional dan afeksional antara warga negara dan negara itu sendiri. Negara adalah rumah besar bagi warganya yang membutuhkan payung proteksi dan sekuriti, sementara negara memerlukan warga negara sebagai poin penting ada penegakan kedaulatan ke dalam.
Permasalahan yang timbul selanjutnya adalah perancangan pembahasan mengenai kewargaan tersebut dalam aksesibilitas pelayanan publik tersebut, apakah dikonsensuskan secara bersama antara negara dan warga negara atau hanya negara yang berhak mendefinisikan parameter kewargaannya.
Secara teoritik, pendefinisian kewargaan ( citizenship ) sendiri dielaborasi secara kritis dalam berbagai mazhab mulai dari republikanisme, komunitarianisme, liberalisme, hingga sosialisme. Namun, untuk merangkai kasus KTP Indonesia, kecenderungan perdebatan lebih diarahkan ke dua mazhab yakni republikanisme dan liberalisme.
Adapun dalam pandangan republikanisme, KTP dengan berbagai macam parameter identitas tersebut merupakan bentuk kewargaan negara ( state citizenship ). Negara secara represif menegakkan kedaulatannya dengan mengakui warga negara dengan pelbagai macam parameter yang dibuat dan ditentukan secara sepihak melalui pencantuman kolom identitas tertentu.
Itu dilakukan supaya negara bisa memilah dan mengakui warga negara yang secara benar dan nyata diakui sebagai bagian dari negara. Itulah yang kemudian menciptakan logika majoritarian berbasis kolegial bahwa publik yang diakui warga negara adalah mereka yang menerima dan mengikuti identitas yang diakui negara secara masif.
Implikasinya kemudian adalah timbul ”warga negara kelas dua” dan ”warga negara liyan” karena mereka tidak diakui oleh negara akibat kolom identitas minoritas berbeda. Kasus kewargaan Indonesia secara kasuistik juga menemukan bukti empiriknya seperti dalam kasus Komunitas Samin, Komunitas Baduy, Ahmadiyah, dan sebagainya.
Studi CRCS (2012) menyebutkan bahwa eskalasi terjadi peningkatan kekerasan di Tanah Air lebih karena diferensiasi maupun politisasi terhadap identitas berbeda yang pada dasarnya lebih karena kompetisi ekonomi politik sendiri.
Maka itu, dapat dikonklusikan bahwa sebenarnya pencantuman agama dalam KTP adalah manifestasi kewargaan negara yang lebih mengarusutamakan ada logika majoritarian dalam menekan publik sebagai warga negara.
Itulah yang kemudian dilinearkan dengan konteks politisasi terhadap pelayanan publik yang kemudian menciptakan segregasi penduduk dalam mendapatkan akses hanya karena masalah identitas yang berbeda. Agama kemudian menjadi produk politik yang menjadi dasar segregasi tersebut jika kita melihat konteks empiris selama ini di lapangan.
Agama berkembang dalam dimensiprofan yang kemudian dikomoditisasi sebagai alat penekan bagi mereka yang berbeda. Adapun pemahaman kewargaan komunitarian ( communitarian citizenship ) lebih melihat dimensi pendefinisian mengenai kewargaan sendiri dikonsensuskan secara bersama baik warga negara maupun negara secara bersama-sama.
Berbeda dengan kewargaan negara yang menekankan ada parameter tunggal sepihak dari negara dalam kaitannya sebagai patron. Pembentukan kewargaan komunitarian lebih dikaitkan pembayaran dan redistribusi pajak sebagai dasar pembentukannya.
Kasus ini biasanya terjadi dalam kasus negara kesejahteraan di mana pajak menjadi alat politik penting bagi negara membiayai jaminan sosial bagi warga negara dari pajak progresif warga kaya dan warga miskin mendapatkan jaminan dari negara.
Mengenai kolom agama yang menjadi titik krusial, agama kemudian berkembang menjadi agama sipil ( civil religion ) yang lebih memaknai pemahaman agama dalam konteks profetik sehingga tidak perlu mengundang debat kusir mengenai signifikasi agama sebagai bagian dari warga negara.
Yang terpenting dalam konteks kewargaan ini adalah pelayanan publik berikut pula jaminan sosial dapat terdistribusikan secara merata ke seluruh lapisan penduduk. Maka itu, pencantuman kolom agama sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 64 ayat 5 UU 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan tidaklah perlu diperdebatkan lebih lanjut apalagi sampai dieskalasikan menjadi isu politik yang hiperbola.
Yang terpenting bagaimana negara bersikap netral dan independen dalam mendistribusikan pelayanan publik dan jaminan sosial tersebut secara adil dan merata. Netral dan independen tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk sikap negara maupun warga negara bahwa mereka saling terkait dan saling terikat satu sama lain baik secara emosional maupun konstitusional.
(bbg)