Membatasi Online Asing

Jum'at, 14 November 2014 - 11:33 WIB
Membatasi Online Asing
Membatasi Online Asing
A A A
Wacana pembatasan online asing belakangan mencuat ke publik. Ini terkait keinginan DPR menggunakan hak inisiatifnya untuk membuat undang-undang dengan muara online tidak seenaknya beroperasi dan mendulang untung di Indonesia.

Perlukah online asing dibatasi? Apakah benar keberadaan mereka mengancam kepentingan nasional? Sejauh ini jawaban yang muncul secara ekstrem terbelah menjadi dua kutub pro-kontra. Mereka yang mendukung berargumen online asing tidak boleh dibatasi karena bagian dari demokrasi dan hak asasi.

Pada sisi lain, mereka yang bersepakat membatasi berdasar pada pemahaman online asing telah merusak budaya dan mengancam kepentingan nasional. Lantas langkah seperti yang perlu diambil? Keberadaan online asing seiring dengan perkembangan pengguna internet di Tanah Air yakni sudah menggurita dan menancap begitu dalam ranah kehidupan warga bangsa.

Dengan semakin murah dan pesatnya perkembangan teknologi informasi (TI), siapa pun kini mendapatkan kesempatan yang sama untuk bisa menikmati. Bukan hanya pelajar dan ibu rumah tangga, balita pun kini sudah sangat akrab dengan internet. Berdasarkan data Alexa dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada 2013 pengguna internet telah mencapai 71,9 juta.

Padahal, pada 2005 lalu penggunanya baru mencapai 16 juta. Dengan demikian, selama delapan tahun pertumbuhan mencapai empat kali lipat. Ke depan pertumbuhannya akan seperti deret hitung, bahkan pada 2014 ini diproyeksikan jumlah pengguna internet sudah mencapai sekitar 107 juta.

Karena itulah, perkembangan internet yang demikian seperti menjadi jalan tol bagi online asing. Perusahaan raksasa seperti Google, Facebook, Youtube, dan lain begitu mudah melenggang kangkung tanpa ada yang bisa menghadang. Begitu pun situs belanja seperti e-buy, aliexpress, amazon , dan lainnya.

Di sisi lain, pemerintah sebagai regulator ternyata tidak mengantisipasi dengan membuat aturan yang mengatur keberadaan mereka. Walhasil, Indonesia kini seperti pasar yang telanjang. Pemain online global bisa dengan mudah menyedot pendapatan secara langsung dari pasar Tanah air, baik berupa konten, iklan, maupun aneka produk lainnya.

Celakanya, mereka tidak memberikan kontribusi kepada negara ini karena transaksi yang dilakukan tidak bisa dijangkau oleh otoritas perpajakan. Mempertimbangkan kondisi tersebut, pemerintah tentu harus mengambil sikap demi melindungi kepentingan nasional. Ada beberapa pilihan yang bisa diambil misalnya dengan meniru langkah China.

Pemerintah negeri tirai bambu tersebut merestriksi akses online asing secara ketat karena memandangnya sebagai medan pertarungan ekonomi, sosial, dan politik. Hasilnya kini Paman Panda tersebut memetik hasil besar dengan munculnya online raksasa seperti Baidu, Sina Weibo, QQ, Sina.com, Taobao, dan lainnya.

Untuk Indonesia, tentu sangat sulit untuk bersikap seperti China karena perbedaan ideologi politik dan bargaining position vis a vis negara asal online , terutama Amerika Serikat. Indonesia juga tidak bisa membatasi begitu saja karena berhadapan dengan warganya yang sudah begitu berkepentingan dengan keberadaan online asing.

Tetapi, Indonesia harus mengambil sikap karena jangan sampai tereksploitasi habis tanpa menikmati keuntungan. Dengan demikian, perlu ada jalan tengah dengan muara bagaimana kepentingan nasional Indonesia tetap terjaga seperti aturan yang mewajibkan data center dan server di Indonesia, pengaturan transaksi keuangan oleh otoritas keuangan, termasuk di dalamnya pemungutan pajak. Lebih dari itu, aturan tersebut harus benar-benar ditegakkan.

Sedangkan pemerintah juga wajib memberdayakan online domestik sehingga bisa turut memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan turut menikmati pasar domestik yang semakin terbuka lebar. Jika tidak menunjukkan sikapnya dan sebaliknya menunjukkan ketidak berdayaannya, sejatinya posisiposisi Indonesia tidak lebih dari saat sekitar 3,5 abad lamanya di bawah penjajahan kolonial asing.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6101 seconds (0.1#10.140)