Jalan Serong Dan Brown
A
A
A
Para pecinta novel thriller mungkin tidak asing dengan nama Dan Brown, penulis mega-best-selling yang karyanya terjual ratusan juta kopi di seluruh dunia dan diterjemahkan ke lebih dari lima puluh bahasa.
The Da Vinci Code adalah novel keempat yang melejitkan namanya sebagai novelis terkenal. Buku itu menghabiskan lebih dari dua tahun berada di salah satu dari lima posisi teratas dalam daftar hard cover terlaris majalah New York Times.
Bahkan, penjualan bukunya diklaim mengalahkan Alkitab. Kesuksesan Brown yang pada pertengahan 2013 menerbitkan Inferno, novel keenamnya, tidak lepas dari perjuangannya melakukan riset ke tempat- tempat yang menjadi setting dalam novel-novelnya. Riset akurat yang dilakukannya membuat novelnya diminati pembaca di seluruh dunia. Beberapa novelnya pun telah diangkat ke layar lebar.
Sebuah prestasi yang layak menjadi contoh bagi para penulis yang ingin serius menerjuni penulisan fiksi. Buku biografi Dan Brown karya Lisa Rogak ini memuat kisah-kisah sukses Brown serta kehidupan pribadinya yang selama ini jarang diketahui publik. Hal ini karena Brown memang tidak terlalu menyukai publisitas. Dia tidak ingin kehidupan pribadinya menjadi konsumsi publik.
Sebelum dikenal sebagai novelis dengan karya-karyanya yang memikat, Brown adalah seorang musisi (penyanyi sekaligus pencipta lagu) dan pengajar bahasa Inggris. Dia berjuang untuk bertahan hidup dengan membuat album dan menawarkannya ke perusahaan- perusahaan ternama di sekitar Hollywood. Lalu, Brown memutuskan bergabung dengan National Academy of Songwriters, kelompok yang sesuai dengan tujuannya, karena memiliki banyak anggota musisi terkenal, termasuk Billy Joel dan Prince.
Organisasi tersebut menawarkan dukungan moral, petunjuk mengenai teknik, dan cara menjalani bisnis pada para musisi pemula (halaman 44). Di organisasi itulah Brown mengenal Blythe Newlon, direktur pengembangan artistik di National Academy of Songwriters. Sebagai bagian tugasnya, Blythe memberi tahu Brown prosedur yang berlaku, memberinya beberapa petunjuk, dan menerjemahkan politik bisnis yang sering kali picik.
Dia juga membantu Brown mempelajari aspek teknis dalam keahlian ini dan mengasah gaya musiknya, yang cenderung ke arah soft rock. Brown tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan kesempatan besar pertamanya, dan Blythe berperan sangat penting dalam mewujudkannya: Brown diberi kesempatan merilis Dan Brown, CD debut berisi lagu-lagunya sendiri dengan labelnya sendiri— DGB Music—dan dia didukung oleh beberapa musisi studio paling berbakat di Hollywood.
Dengan dukungan hebat dari para veteran di industri itu, Brown merasa percaya diri akan masa depannya. Sehingga, karena beban membiayai produksi dan peluncuran pertama CD terasa berat di pundaknya, Brown berusaha mati-matian. Dia memohon dan meminjam uang dari semua orang yang dikenalnya, menghabiskan batas penggunaan maksimal kartu kreditnya, dan bekerja lembur mengajar para murid demi mendapatkan uang yang memungkinkannya untuk membuat CD debut berjudul namanya sendiri (halaman 48).
Lalu, apa yang membuat Brown meninggalkan dunia musik dan “banting setir” menjadi seorang penulis novel? Tahun 1995 bisa dibilang merupakan titik balik dalam kehidupan Dan Brown. Buku pertamanya, 187 Men to Avoid, diterbitkan dan CD terakhirnya, Angels & Demons, dirilis. Namun, yang lebih penting, dia mulai menulis novel pertamanya, yang akan menjadi batu loncatan yang nantinya menuntun Brown pada The Da Vinci Code.
Gagasan yang menuntunnya ke sana bisa dibilang jatuh begitu saja ke pangkuannya. Suatu pagi pada musim semi 1995, dua orang agen Secret Service tiba-tiba muncul di kampus Philips Exeter. Setelah memperlihatkan tanda pengenal, mereka memberi tahu kepala sekolah bahwa mereka ingin berbicara pada seorang murid, karena menganggapnya sebagai ancaman bagi keamanan nasional. Tentu saja, kabar beredar bagaikan kebakaran liar di seluruh penjuru kampus, karena para murid dan guru bertanya-tanya apa yang diperbuat bocah itu.
Ternyata, satu hari sebelumnya bocah laki-laki itu online menggunakan komputer sekolah untuk mengirim e-mailpada seorang teman yang isinya mengeluhkan keadaan politik negara. Dalam e-mail pada temannya dia menulis sangat marah pada Presiden Bill Clinton hinggainginmembunuhnya, dan Secret Service berkunjung untuk memastikan dia tidak serius dengan ucapannya. Murid itu berkata hanya bercanda, dan masalahnya selesai sampai di sana.
Brown sangat penasaran bagaimana Secret Service bisa mengenali satu pesan di tengah jutaan pesan di Internet. Saat Brown mengetahui kebenarannya, dia tahu bahwa dia harus menulis mengenai hal itu. Tekateki dan agen-agen rahasia yang mampu mengendus berbagai informasi di Internet itulah yang membuat Brown tertarik menuliskannya dalam bentuk novel.
Dan, saat itulah dia mulai menyusun gagasan yang akan menjadi Digital Fortress, novel perdananya yang diterbitkan pada 1997.
Untung Wahyud ,
Pencinta buku tinggal di Surabaya
The Da Vinci Code adalah novel keempat yang melejitkan namanya sebagai novelis terkenal. Buku itu menghabiskan lebih dari dua tahun berada di salah satu dari lima posisi teratas dalam daftar hard cover terlaris majalah New York Times.
Bahkan, penjualan bukunya diklaim mengalahkan Alkitab. Kesuksesan Brown yang pada pertengahan 2013 menerbitkan Inferno, novel keenamnya, tidak lepas dari perjuangannya melakukan riset ke tempat- tempat yang menjadi setting dalam novel-novelnya. Riset akurat yang dilakukannya membuat novelnya diminati pembaca di seluruh dunia. Beberapa novelnya pun telah diangkat ke layar lebar.
Sebuah prestasi yang layak menjadi contoh bagi para penulis yang ingin serius menerjuni penulisan fiksi. Buku biografi Dan Brown karya Lisa Rogak ini memuat kisah-kisah sukses Brown serta kehidupan pribadinya yang selama ini jarang diketahui publik. Hal ini karena Brown memang tidak terlalu menyukai publisitas. Dia tidak ingin kehidupan pribadinya menjadi konsumsi publik.
Sebelum dikenal sebagai novelis dengan karya-karyanya yang memikat, Brown adalah seorang musisi (penyanyi sekaligus pencipta lagu) dan pengajar bahasa Inggris. Dia berjuang untuk bertahan hidup dengan membuat album dan menawarkannya ke perusahaan- perusahaan ternama di sekitar Hollywood. Lalu, Brown memutuskan bergabung dengan National Academy of Songwriters, kelompok yang sesuai dengan tujuannya, karena memiliki banyak anggota musisi terkenal, termasuk Billy Joel dan Prince.
Organisasi tersebut menawarkan dukungan moral, petunjuk mengenai teknik, dan cara menjalani bisnis pada para musisi pemula (halaman 44). Di organisasi itulah Brown mengenal Blythe Newlon, direktur pengembangan artistik di National Academy of Songwriters. Sebagai bagian tugasnya, Blythe memberi tahu Brown prosedur yang berlaku, memberinya beberapa petunjuk, dan menerjemahkan politik bisnis yang sering kali picik.
Dia juga membantu Brown mempelajari aspek teknis dalam keahlian ini dan mengasah gaya musiknya, yang cenderung ke arah soft rock. Brown tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan kesempatan besar pertamanya, dan Blythe berperan sangat penting dalam mewujudkannya: Brown diberi kesempatan merilis Dan Brown, CD debut berisi lagu-lagunya sendiri dengan labelnya sendiri— DGB Music—dan dia didukung oleh beberapa musisi studio paling berbakat di Hollywood.
Dengan dukungan hebat dari para veteran di industri itu, Brown merasa percaya diri akan masa depannya. Sehingga, karena beban membiayai produksi dan peluncuran pertama CD terasa berat di pundaknya, Brown berusaha mati-matian. Dia memohon dan meminjam uang dari semua orang yang dikenalnya, menghabiskan batas penggunaan maksimal kartu kreditnya, dan bekerja lembur mengajar para murid demi mendapatkan uang yang memungkinkannya untuk membuat CD debut berjudul namanya sendiri (halaman 48).
Lalu, apa yang membuat Brown meninggalkan dunia musik dan “banting setir” menjadi seorang penulis novel? Tahun 1995 bisa dibilang merupakan titik balik dalam kehidupan Dan Brown. Buku pertamanya, 187 Men to Avoid, diterbitkan dan CD terakhirnya, Angels & Demons, dirilis. Namun, yang lebih penting, dia mulai menulis novel pertamanya, yang akan menjadi batu loncatan yang nantinya menuntun Brown pada The Da Vinci Code.
Gagasan yang menuntunnya ke sana bisa dibilang jatuh begitu saja ke pangkuannya. Suatu pagi pada musim semi 1995, dua orang agen Secret Service tiba-tiba muncul di kampus Philips Exeter. Setelah memperlihatkan tanda pengenal, mereka memberi tahu kepala sekolah bahwa mereka ingin berbicara pada seorang murid, karena menganggapnya sebagai ancaman bagi keamanan nasional. Tentu saja, kabar beredar bagaikan kebakaran liar di seluruh penjuru kampus, karena para murid dan guru bertanya-tanya apa yang diperbuat bocah itu.
Ternyata, satu hari sebelumnya bocah laki-laki itu online menggunakan komputer sekolah untuk mengirim e-mailpada seorang teman yang isinya mengeluhkan keadaan politik negara. Dalam e-mail pada temannya dia menulis sangat marah pada Presiden Bill Clinton hinggainginmembunuhnya, dan Secret Service berkunjung untuk memastikan dia tidak serius dengan ucapannya. Murid itu berkata hanya bercanda, dan masalahnya selesai sampai di sana.
Brown sangat penasaran bagaimana Secret Service bisa mengenali satu pesan di tengah jutaan pesan di Internet. Saat Brown mengetahui kebenarannya, dia tahu bahwa dia harus menulis mengenai hal itu. Tekateki dan agen-agen rahasia yang mampu mengendus berbagai informasi di Internet itulah yang membuat Brown tertarik menuliskannya dalam bentuk novel.
Dan, saat itulah dia mulai menyusun gagasan yang akan menjadi Digital Fortress, novel perdananya yang diterbitkan pada 1997.
Untung Wahyud ,
Pencinta buku tinggal di Surabaya
(ars)