PDIP di Persimpangan Jalan

Jum'at, 07 November 2014 - 10:53 WIB
PDIP di Persimpangan...
PDIP di Persimpangan Jalan
A A A
Ke manakah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) akan melangkah? Inilah yang menjadi perhatian masyarakat terkait dengan rencana pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, yaitu apakah partai berlambang banteng tersebut mendukung atau menolak.

Sikap apa yang akan diambil tersebut turut menjadi perhatian utama di samping kapan harga BBM dinaikkan dan berapa besaran harga kenaikan karena sejauh ini PDIP sangat lantang menolak kenaikan BBM. Apakah PDIP tetap bersikukuh pada idealismenya sebagai partai wong cilik atau tergerus pragmatisme sebagai ruling party yang serta-merta mendukung kebijakan yang diambil pemerintah? Pasti tidak mudah bagi partai tersebut untuk mengambil dua sikap yang ekstrem berseberangan satu sama lain.

Jika PDIP bersikukuh menegakkan idealisme seperti saat menjadi oposisi dengan menolak kenaikan harga BBM dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, dia pasti berhitung langkahnya tersebut akan mempersulit program-program yang dirancang pemerintah yang didukungnya. PDIP sudah pasti paham betul subsidi BBM senilai Rp246,49 triliun sangat membebani anggaran pemerintah.

Jokowi pasti akan menemui kesulitan untuk mengimplementasikan janji-janji politiknya. Angka ini akan bertambah jika pemerintah tidak berhasil mengendalikan konsumsi BBM. Per 1 November lalu, kuota BBM bersubsidi tersisa sekitar 6,3 juta kiloliter dari kuota APBN Perubahan untuk BUMN tersebut sebesar 45,355 juta kiloliter.

Di sisi lain, PDIP akan terancam kehilangan muka bila sertamerta mendukung kebijakan pernah tidak populer dan berbau neolib tersebut. Siapa pun pasti teringat bagaimana pada 2012 lalu partai tersebut habis-habisan menolak rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat pada posisi sama yang dihadapi Jokowi.

PDIP saat itu sampai melakukan walkout dalam sidang paripurna (31/3/2012) hari terakhir pembahasan APBN-P 2012. Dalam menolak langkah SBY tersebut, PDIP memainkan politik yang sangat elegan dengan meluncurkan sebuah buku putih. Dalam buku tersebut, dirumuskan postur APBN-P 2013 bayangan menunjukkan pemerintah sebenarnya bisa mencari sumbersumber lain untuk menutupi biaya subsidi, ketimbang menaikkan harga BBM.

Secara konkret, PDIP pun menawarkan solusi alternatif melalui diversifikasi, konversi energi, pembangunan kilang baru, pemotongan tata niaga baik impor maupun ekspor, sampai pembubaran Petral. Dalam pandangan mereka, langkah-langkah sama sekali tidak pernah dilakukan pemerintah. “Pembiakan mafia tetap dibiarkan, orang-orang yang melakukan kartel di bidang migas tetap dibiarkan,” demikian Puan Maharani, yang saat itu masih menjabat ketua fraksi PDIP.

Apakah PDIP akan menolak kenaikan harga BBM bersubsidi demi mengedepankan idealitas yang telanjur diserukannya atau mendukung rencana kenaikan BBM demi ruang anggaran pemerintah yang didukungnya. Keduanya menjadi sulit karena sama-sama berisiko. Karena itu, bisa disaksikan bagaimana internal bergejolak, seperti ditunjukkan Effendi Simbolon, Rieke Diah Pitaloka, dan beberapa kader lain yang tidak sepakat rencana tersebut.

PDIP sebagai ruling party tentu tidak bisa bersikap sebatas wacana atau abu-abu, dengan harapan bisa mengambil keuntungan dari apa pun keputusan yang akan diambil pemerintah. PDIP sudah seharusnya menunjukkan sikap tegas apakah mendukung kenaikan harga BBM atau menolak secara tegas.

Dengan demikian pula, harus bersiap mengambil risiko politik atas langkah yang akan diambilnya. Namun dalam mengambil keputusan, PDIP tidak bisa berangkat dari asumsi bahwa masyarakat Indonesia adalah pelupa atau bahkan menganggap kebanyakan masyarakat seperti massa PDIP yang selalu mengikuti titah ketua umum atau keputusan partai. Masyarakat menunggu rasionalisasi yang dipahami mengapa menaikkan BBM dan mengapa menolak. Mari bersama menunggu keputusan PDIP.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0774 seconds (0.1#10.140)