Dampak Parlemen Terbelah
A
A
A
DR W RIAWAN TJANDRA SH MHUM
Pengajar pada Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Meluasnya ketidakpuasan terhadap proses pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan di DPR telah berujung pada terjadinya friksi yang semakin tajam di tubuh lembaga legislatif. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) atau koalisi pendukung Jokowi-JK yang terdiri dari fraksifraksi: PDIP, Nasdem, Hanura, PKB, PKPI ditambah sebagian anggota fraksi PPP versi Romi telah mengajukan mosi tidak percaya terhadap pimpinan DPR, dan bahkan telah mendeklarasikan dibentuknya pimpinan DPR tandingan.
Krisis politik tersebut sebenarnya merupakan kelanjutan dari sikap politik KIH yang menuding bahwa mekanisme pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPR sarat dengan rekayasa politik yang diperlihatkan dari perilaku para anggota DPR yang tergabung dengan Koalisi Merah Putih (KMP) atau koalisi pendukung Prabowo yang menyapu bersih seluruh kursi pimpinan dan ketua alat kelengkapan DPR.
Sebenarnya langkah untuk menguasai kursi-kursi pimpinan di Senayan atau yang secara populer sering juga disebut gedung miring itu, sudah dapat ditebak sejak dilakukannya penggantian UU MD3 melalui UU No 17 Tahun 2014 dan dilanjutkan dengan penyusunan Peraturan Tatib DPR yang lebih banyak didominasi oleh kepentingan politik dari KMP.
Dalam konteks politik, langkah kontestasi politik untuk memperebutkan kursi di Senayan tersebut barangkali ada yang menilai sah-sah saja dilakukan, karena memang DPR merupakan sebuah lembaga politik yang bekerja dengan nalar politik. Namun, dalam perspektif teori organisasi, tragedi terbelahnya DPR tersebut justru menggambarkan kelemahan kapasitas dari pimpinan DPR dalam mengakomodasi polaritas pendapat di kalangan anggota DPR dan sekaligus juga merupakan kegagalan institusi DPR dalam melaksanakan konsolidasi politik pascapilpres.
Fenomena parlemen yang terbelah (divided parliament) telah memunculkan dua versi pimpinan DPR yang terjadi saat ini. Hal tersebut sejatinya sangat kontraproduktif terhadap upaya Jokowi-JK bersama kabinet yang dinamakan sebagai Kabinet Kerja untuk bergerak cepat menuntaskan sejumlah agenda pemerintahan dalam mendesain dan mengeksekusi sejumlah program/kegiatan kementerian/lembaga.
Beberapa implikasi dari terjadinya krisis politik di DPR tersebut antara lain: pertama, kegagalan DPR dalam melaksanakan berbagai program kerja strategis sebagai mitra penyeimbang pemerintah melalui peranan komisi dan badan. Sejumlah rencana program/ kegiatan yang membutuhkan persetujuan dari DPR akan gagal dieksekusi sebagai akibat alat kelengkapan DPR tak bisa bekerja dengan efektif. Ujungnya, rakyat tak mungkin menikmati manfaat dari program/ kegiatan pemerintah yang gagal dieksekusi.
Kedua, parlemen yang terbelah akan memandulkan fungsi pengawasan dari DPR karena terjadi krisis kewibawaan DPR. Di titik inilah sebenarnya DPR bisa secara perlahan mengalami proses pembusukan politik (political decay) akibat salah satu fungsi utamanya untuk melakukan pengawasan politik sebagai mitra penyeimbang bagi pemerintah gagal dilaksanakan.
Ketiga, fungsi penganggaran yang dimiliki oleh DPR juga terancam tak berjalan dengan baik karena situasi yang tak kondusif untuk bersama-sama dengan pemerintah melakukan pembahasan-pembahasan terhadap RAPBN. Padahal, dalam UUD Negara RI 1945 dinyatakan bahwa apabila pemerintah gagal menyusun RAPBN untuk tahun anggaran tertentu maka APBN yang dipergunakan tak lain adalah APBN tahun sebelumnya. Penggunaan APBN tahun sebelumnya tersebut jelas akan menyebabkan terjadinya stagnasi pemerintahan karena berbagai asumsi-asumsi makroekonomi yang semula dipergunakan sebagai dasar penetapan pembiayaan program/ kegiatan APBN pada tahun sebelumnya, tentunya sudah tak lagi sesuai dengan realitas kondisi perekonomian makro APBN tahun berikutnya.
Keempat, berbagai fungsi internal DPR juga akan mengalami pemandulan. Misalnya, Majelis Kehormatan DPR juga tak akan bisa bekerja dengan efektif dalam situasi DPR yang terbelah. Badan Anggaran DPR juga akan mengalami stagnasi karena situasi politik Senayan yang tak kondusif. Badan legislasi juga akan mengalami disorientasi sebagai akibat sulitnya untuk menyusun Prolegnas bersama-sama dengan pemerintah karena krisis politik di Senayan akan membuat stagnasi pelaksanaan tugas, pokok dan fungsi Badan Anggaran.
Dalam Tatib DPR jelas-jelas disebutkan bahwa rapat dan keputusan DPR dianggap sah jika dihadiri oleh 50% + 1 unsur fraksi. Maka, dengan posisi 5 fraksi vs 5 fraksi, baik rapat yang diselenggarakan oleh KMP maupun KIH Tidak Sah karena tidak memenuhi 50% +1 unsur fraksi. Jika KMP berhasil menarik kembali gerbong PPP ke KMP, masalah dualisme pimpinan DPR pun akan berakhir. Dengan kembalinya PPP ke KMP, syarat 50% + 1 unsur fraksi bisa terpenuhi.
Sayangnya, posisi PPP sudah dikunci di KIH melalui surat Kemenkumham yang mengesahkan kepengurusan PPP versi Romi yang memilih bergabung ke KIH. Selain itu, di pimpinan DPR versi KIH, PPP juga menempatkan wakilnya di jajaran pimpinan DPR.
Benarkah posisi DPR yang terbelah ini akan mengganggu jalannya pemerintahan Jokowi-JK? Tentunya jawabannya adalah tidak, jika tidak terkait dengan pengajuan anggaran baru untuk membiayai program/kegiatan baru yang diusulkan oleh kementerian/lembaga. Selama programprogram Kabinet Kerja masih menggunakan anggaran yang lama, Jokowi tidak memerlukan konsultasi dengan DPR. Namun, tentu saja, jika sampai 2015 DPR masih terbelah, pemerintahan Jokowi akan mengalami kendala yang serius, meskipun secara konstitusional UUD Negara RI 1945 membolehkan pemerintahan Jokowi menggunakan anggaran tahun sebelumnya. Macetnya proses pengambilan keputusan di parlemen itu secara otomatis bakal ikut menyandera pemerintahan Jokowi-JK.
Pasalnya, sejumlah pengambilan kebijakan oleh pihak eksekutif tetap harus melalui persetujuan atau pembahasan bersama dengan DPR. Dengan parlemen yang terbelah, rapatrapat di DPR nantinya tidak akan bisa mengambil keputusan apa pun. Ada syarat kuorum yang harus dipenuhi ketika rapat-rapat di parlemen hendak mengambil sebuah keputusan tertentu.
Berdasarkan Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR, baik di Pasal 281 maupun 284 ayat (1) diatur bahwa pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat ataupun dengan suara terbanyak menjadi sah, kalau diambil lewat forum rapat yang sesuai dengan syarat kuorum. Syarat itu diatur di Pasal 251 (1) yang pada intinya mengatur bahwa, pertemuan harus dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur fraksi yang ada. Krisis politik di DPR harus bisa diakhiri melalui mediasi politik yang fairness dan adil dengan didukung sikap kenegarawanan dari masingmasing kubu.
Pengajar pada Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Meluasnya ketidakpuasan terhadap proses pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan di DPR telah berujung pada terjadinya friksi yang semakin tajam di tubuh lembaga legislatif. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) atau koalisi pendukung Jokowi-JK yang terdiri dari fraksifraksi: PDIP, Nasdem, Hanura, PKB, PKPI ditambah sebagian anggota fraksi PPP versi Romi telah mengajukan mosi tidak percaya terhadap pimpinan DPR, dan bahkan telah mendeklarasikan dibentuknya pimpinan DPR tandingan.
Krisis politik tersebut sebenarnya merupakan kelanjutan dari sikap politik KIH yang menuding bahwa mekanisme pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPR sarat dengan rekayasa politik yang diperlihatkan dari perilaku para anggota DPR yang tergabung dengan Koalisi Merah Putih (KMP) atau koalisi pendukung Prabowo yang menyapu bersih seluruh kursi pimpinan dan ketua alat kelengkapan DPR.
Sebenarnya langkah untuk menguasai kursi-kursi pimpinan di Senayan atau yang secara populer sering juga disebut gedung miring itu, sudah dapat ditebak sejak dilakukannya penggantian UU MD3 melalui UU No 17 Tahun 2014 dan dilanjutkan dengan penyusunan Peraturan Tatib DPR yang lebih banyak didominasi oleh kepentingan politik dari KMP.
Dalam konteks politik, langkah kontestasi politik untuk memperebutkan kursi di Senayan tersebut barangkali ada yang menilai sah-sah saja dilakukan, karena memang DPR merupakan sebuah lembaga politik yang bekerja dengan nalar politik. Namun, dalam perspektif teori organisasi, tragedi terbelahnya DPR tersebut justru menggambarkan kelemahan kapasitas dari pimpinan DPR dalam mengakomodasi polaritas pendapat di kalangan anggota DPR dan sekaligus juga merupakan kegagalan institusi DPR dalam melaksanakan konsolidasi politik pascapilpres.
Fenomena parlemen yang terbelah (divided parliament) telah memunculkan dua versi pimpinan DPR yang terjadi saat ini. Hal tersebut sejatinya sangat kontraproduktif terhadap upaya Jokowi-JK bersama kabinet yang dinamakan sebagai Kabinet Kerja untuk bergerak cepat menuntaskan sejumlah agenda pemerintahan dalam mendesain dan mengeksekusi sejumlah program/kegiatan kementerian/lembaga.
Beberapa implikasi dari terjadinya krisis politik di DPR tersebut antara lain: pertama, kegagalan DPR dalam melaksanakan berbagai program kerja strategis sebagai mitra penyeimbang pemerintah melalui peranan komisi dan badan. Sejumlah rencana program/ kegiatan yang membutuhkan persetujuan dari DPR akan gagal dieksekusi sebagai akibat alat kelengkapan DPR tak bisa bekerja dengan efektif. Ujungnya, rakyat tak mungkin menikmati manfaat dari program/ kegiatan pemerintah yang gagal dieksekusi.
Kedua, parlemen yang terbelah akan memandulkan fungsi pengawasan dari DPR karena terjadi krisis kewibawaan DPR. Di titik inilah sebenarnya DPR bisa secara perlahan mengalami proses pembusukan politik (political decay) akibat salah satu fungsi utamanya untuk melakukan pengawasan politik sebagai mitra penyeimbang bagi pemerintah gagal dilaksanakan.
Ketiga, fungsi penganggaran yang dimiliki oleh DPR juga terancam tak berjalan dengan baik karena situasi yang tak kondusif untuk bersama-sama dengan pemerintah melakukan pembahasan-pembahasan terhadap RAPBN. Padahal, dalam UUD Negara RI 1945 dinyatakan bahwa apabila pemerintah gagal menyusun RAPBN untuk tahun anggaran tertentu maka APBN yang dipergunakan tak lain adalah APBN tahun sebelumnya. Penggunaan APBN tahun sebelumnya tersebut jelas akan menyebabkan terjadinya stagnasi pemerintahan karena berbagai asumsi-asumsi makroekonomi yang semula dipergunakan sebagai dasar penetapan pembiayaan program/ kegiatan APBN pada tahun sebelumnya, tentunya sudah tak lagi sesuai dengan realitas kondisi perekonomian makro APBN tahun berikutnya.
Keempat, berbagai fungsi internal DPR juga akan mengalami pemandulan. Misalnya, Majelis Kehormatan DPR juga tak akan bisa bekerja dengan efektif dalam situasi DPR yang terbelah. Badan Anggaran DPR juga akan mengalami stagnasi karena situasi politik Senayan yang tak kondusif. Badan legislasi juga akan mengalami disorientasi sebagai akibat sulitnya untuk menyusun Prolegnas bersama-sama dengan pemerintah karena krisis politik di Senayan akan membuat stagnasi pelaksanaan tugas, pokok dan fungsi Badan Anggaran.
Dalam Tatib DPR jelas-jelas disebutkan bahwa rapat dan keputusan DPR dianggap sah jika dihadiri oleh 50% + 1 unsur fraksi. Maka, dengan posisi 5 fraksi vs 5 fraksi, baik rapat yang diselenggarakan oleh KMP maupun KIH Tidak Sah karena tidak memenuhi 50% +1 unsur fraksi. Jika KMP berhasil menarik kembali gerbong PPP ke KMP, masalah dualisme pimpinan DPR pun akan berakhir. Dengan kembalinya PPP ke KMP, syarat 50% + 1 unsur fraksi bisa terpenuhi.
Sayangnya, posisi PPP sudah dikunci di KIH melalui surat Kemenkumham yang mengesahkan kepengurusan PPP versi Romi yang memilih bergabung ke KIH. Selain itu, di pimpinan DPR versi KIH, PPP juga menempatkan wakilnya di jajaran pimpinan DPR.
Benarkah posisi DPR yang terbelah ini akan mengganggu jalannya pemerintahan Jokowi-JK? Tentunya jawabannya adalah tidak, jika tidak terkait dengan pengajuan anggaran baru untuk membiayai program/kegiatan baru yang diusulkan oleh kementerian/lembaga. Selama programprogram Kabinet Kerja masih menggunakan anggaran yang lama, Jokowi tidak memerlukan konsultasi dengan DPR. Namun, tentu saja, jika sampai 2015 DPR masih terbelah, pemerintahan Jokowi akan mengalami kendala yang serius, meskipun secara konstitusional UUD Negara RI 1945 membolehkan pemerintahan Jokowi menggunakan anggaran tahun sebelumnya. Macetnya proses pengambilan keputusan di parlemen itu secara otomatis bakal ikut menyandera pemerintahan Jokowi-JK.
Pasalnya, sejumlah pengambilan kebijakan oleh pihak eksekutif tetap harus melalui persetujuan atau pembahasan bersama dengan DPR. Dengan parlemen yang terbelah, rapatrapat di DPR nantinya tidak akan bisa mengambil keputusan apa pun. Ada syarat kuorum yang harus dipenuhi ketika rapat-rapat di parlemen hendak mengambil sebuah keputusan tertentu.
Berdasarkan Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR, baik di Pasal 281 maupun 284 ayat (1) diatur bahwa pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat ataupun dengan suara terbanyak menjadi sah, kalau diambil lewat forum rapat yang sesuai dengan syarat kuorum. Syarat itu diatur di Pasal 251 (1) yang pada intinya mengatur bahwa, pertemuan harus dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur fraksi yang ada. Krisis politik di DPR harus bisa diakhiri melalui mediasi politik yang fairness dan adil dengan didukung sikap kenegarawanan dari masingmasing kubu.
(bbg)