Membaca Peluang Perilaku Belanja Galauers
A
A
A
Tak ada yang mengira sebelumnya bahwa keberadaan orang-orang yang hidup belum memiliki pasangan atau biasa disebut jomblobisa dikaitkan dengan masalah bisnis.
Dulu sebutan jomblo kerap diidentikkan dengan perkataan yang satir. Namun, sekarang mulai bergeser menjadi fenomena yang relevan dengan perilaku konsumen.
Jika sebelumnya jomblo identik dengan remaja yang belum punya pasangan, tak berani menikah, dan selalu galau akibat kesendiriannya, tapi sekarang ia menjadi simbol sosial yang keren, cool, awesome, dan sering menjadi bahan perbincangan menarik di sosial media. Pandangan umum tampak berubah dari jomblo sebagai perspektif yang negatif (hinaan) menjadi positif (pengakuan identitas/pencitraan diri). jomblo menjadi fenomena yang baru, di mana orang yang memiliki ciri dan karakter ini berjumlah lumayan banyak di Indonesia.
Secara pemikiran mereka adalah orang-orang yang rasional, modern, dan punya konektivitas terhadap teknologi informasi. Lebih dari itu, jombloers—begitu mereka biasa disebut—adalah komunitas berduit, gila kerja, serta suka belanja (shopaholic ) atau berdaya beli tinggi. Alhasil, dalam urusan bisnis, jomblo pun menjadi target konsumen yang empuk karena jumlah mereka yang membludak.
Kelompok ini terdiri dari orangorang yang secara ekonomi berada di kelas menengah, mulai dari CEO, pekerja kantoran, pebisnis muda, hingga mahasiswa. Tak ayal, bila berbagai produk good consumers, fashion, dan gadget secara berani mulai mengorientasikan strategi promosi dengan membidik pasar “orang-orang galau” atau di kalangan mereka menyebutnya galauers.
Menurut pengamat marketing Yuswohady, kecenderungan beberapa tahun ini banyak produsen yang dengan sengaja memformat konsep iklan untuk menarik konsumen dari kalangan jomlo. “Pihak produsen mulai banyak yang menyadari bahwa mereka adalah komunitas berduit, berdaya beli tinggi, dan punya kecenderungan gaya hidup mewah. Tak ada alasan untuk tidak membidik mereka, terlebih jumlah konsumen jomblo sangat besar di Indonesia,” ungkap Yuswohady kepada KORAN SINDO kemarin.
Orang-orang yang mencitrakan diri sebagai jomblo adalah mereka yang memutuskan untuk menunda pernikahan. Karena, tali perkawinan dianggap sebagai penghambat karier. Yuswohady menjelaskan, sikap men-jomblo kini juga mulai dipengaruhi faktor koneksi sosial (social connection), “siapa kita” di mata kolega, teman, komunitas, dan lingkungan menjadi demikian penting.
Banyak orang menganggap, lebih baik menghabiskan waktu dan finansial untuk nongkrong di kafe, berbelanja di mal, atau berkarier di sebuah perusahaan ternama dibanding menikah dan mengurus anak. Jadi, sekarang ini muncul kecenderungan bahwa semakin pintar, rasional, dan modern pemikiran orang, maka mereka akan menunda usia pernikahan. Hal ini sangat berbeda dibanding fenomena jomblo yang terjadi di Singapura.
Meski sama-sama memiliki jumlah jombloers yang sangat besar, alasannya relatif berbeda. Satu dari lima warga Singapura memilih tidak menikah karena beban hidup yang berat. Jika mereka membangun keluarga, berarti mereka akan mengalokasikan dana yang sangat besar untuk membeli rumah, membiayai pendidikan anak, dan lain-lain.
“Jadi, naiknya angka jombloer di Singapura lebih pada ketakutan warga akan beban hidup, meski ada sebagian yang dilatarbelakangi persoalan gaya hidup. Sementara, di Indonesia lebih dipengaruhi gaya hidup dan karier pekerjaan, bukan beban hidup keluarga,” ungkap Yuswohady. Mengingat keberadaan konsumen jomblo yang relatif besar, terlebih lagi tengah menjadi tren di kalangan kelas menengah, maka sudah saatnya bagi kelompok produsen untuk memberikan porsi lebih supaya menjadikan mereka sebagai target utama pasar.
Pengamat bisnis Agus W Soehadi mengatakan, produk-produk fashion dan good consumers paling cocok untuk mendekati konsumen jomblo di Indonesia. Penilaian itu berdasarkan pada ciri dan karakter mereka yang social connecting , berpendidikan tinggi, dan punya pikiran terbuka. Dalam dunia marketing peluangadanya konsumen jomblo ini tak boleh dilewatkan.
Apalagi, mereka punya kecenderungan akan bersikap konsumtif terhadap sejumlah produk yang mereka anggap berteknologi tinggi, modern, dan trendi. Satu dari sekian faktor meningkatnya jumlah orang yang memilih status jomblo di antaranya adalah pengaruh media sosial. Intensitas dan kemudahan seseorang berkomunikasi lewat dunia maya, pada akhirnya meminimalisasi kebutuhan mereka akan hidup berpasang-pasangan.
Sebagian orang ada yang menganggap cukup mengekspresikan diri, narsis, dan menjalin pertemanan lewat sosial media dibanding harus berkomitmen membangun rumah tangga, mengurus anak, dan memberi waktu sedikit pada urusan karier. Tapi, yang juga cukup menarik, tidak sedikit pula para jombloers yang justru melihat peluang tersebut dan mendirikan perusahaan.
Meski istilahnya tidak bisa dibilang “jeruk makan jeruk”, fenomena jomblo juga dimanfaatkan merekamereka yang masih sendiri untuk fokus berwirausaha membidik pasar potensial tersebut. Artinya, banyak juga para jombloers yang memilih menjadi entrepreneur untuk membidik kaum jomlo. Tak pelak mereka pun menyebut diri sendiri sebagai “jomblopreneur “.
Istilah jomblopreneur sejatinya diidentikkan dengan konsultan biro jodoh. Namun belakangan, jomblopreneur justru berkembang pada upaya seseorang yang masih sendiri dan mampu mengembangkan bisnis.
Nafi muthohirin/Yani a
Dulu sebutan jomblo kerap diidentikkan dengan perkataan yang satir. Namun, sekarang mulai bergeser menjadi fenomena yang relevan dengan perilaku konsumen.
Jika sebelumnya jomblo identik dengan remaja yang belum punya pasangan, tak berani menikah, dan selalu galau akibat kesendiriannya, tapi sekarang ia menjadi simbol sosial yang keren, cool, awesome, dan sering menjadi bahan perbincangan menarik di sosial media. Pandangan umum tampak berubah dari jomblo sebagai perspektif yang negatif (hinaan) menjadi positif (pengakuan identitas/pencitraan diri). jomblo menjadi fenomena yang baru, di mana orang yang memiliki ciri dan karakter ini berjumlah lumayan banyak di Indonesia.
Secara pemikiran mereka adalah orang-orang yang rasional, modern, dan punya konektivitas terhadap teknologi informasi. Lebih dari itu, jombloers—begitu mereka biasa disebut—adalah komunitas berduit, gila kerja, serta suka belanja (shopaholic ) atau berdaya beli tinggi. Alhasil, dalam urusan bisnis, jomblo pun menjadi target konsumen yang empuk karena jumlah mereka yang membludak.
Kelompok ini terdiri dari orangorang yang secara ekonomi berada di kelas menengah, mulai dari CEO, pekerja kantoran, pebisnis muda, hingga mahasiswa. Tak ayal, bila berbagai produk good consumers, fashion, dan gadget secara berani mulai mengorientasikan strategi promosi dengan membidik pasar “orang-orang galau” atau di kalangan mereka menyebutnya galauers.
Menurut pengamat marketing Yuswohady, kecenderungan beberapa tahun ini banyak produsen yang dengan sengaja memformat konsep iklan untuk menarik konsumen dari kalangan jomlo. “Pihak produsen mulai banyak yang menyadari bahwa mereka adalah komunitas berduit, berdaya beli tinggi, dan punya kecenderungan gaya hidup mewah. Tak ada alasan untuk tidak membidik mereka, terlebih jumlah konsumen jomblo sangat besar di Indonesia,” ungkap Yuswohady kepada KORAN SINDO kemarin.
Orang-orang yang mencitrakan diri sebagai jomblo adalah mereka yang memutuskan untuk menunda pernikahan. Karena, tali perkawinan dianggap sebagai penghambat karier. Yuswohady menjelaskan, sikap men-jomblo kini juga mulai dipengaruhi faktor koneksi sosial (social connection), “siapa kita” di mata kolega, teman, komunitas, dan lingkungan menjadi demikian penting.
Banyak orang menganggap, lebih baik menghabiskan waktu dan finansial untuk nongkrong di kafe, berbelanja di mal, atau berkarier di sebuah perusahaan ternama dibanding menikah dan mengurus anak. Jadi, sekarang ini muncul kecenderungan bahwa semakin pintar, rasional, dan modern pemikiran orang, maka mereka akan menunda usia pernikahan. Hal ini sangat berbeda dibanding fenomena jomblo yang terjadi di Singapura.
Meski sama-sama memiliki jumlah jombloers yang sangat besar, alasannya relatif berbeda. Satu dari lima warga Singapura memilih tidak menikah karena beban hidup yang berat. Jika mereka membangun keluarga, berarti mereka akan mengalokasikan dana yang sangat besar untuk membeli rumah, membiayai pendidikan anak, dan lain-lain.
“Jadi, naiknya angka jombloer di Singapura lebih pada ketakutan warga akan beban hidup, meski ada sebagian yang dilatarbelakangi persoalan gaya hidup. Sementara, di Indonesia lebih dipengaruhi gaya hidup dan karier pekerjaan, bukan beban hidup keluarga,” ungkap Yuswohady. Mengingat keberadaan konsumen jomblo yang relatif besar, terlebih lagi tengah menjadi tren di kalangan kelas menengah, maka sudah saatnya bagi kelompok produsen untuk memberikan porsi lebih supaya menjadikan mereka sebagai target utama pasar.
Pengamat bisnis Agus W Soehadi mengatakan, produk-produk fashion dan good consumers paling cocok untuk mendekati konsumen jomblo di Indonesia. Penilaian itu berdasarkan pada ciri dan karakter mereka yang social connecting , berpendidikan tinggi, dan punya pikiran terbuka. Dalam dunia marketing peluangadanya konsumen jomblo ini tak boleh dilewatkan.
Apalagi, mereka punya kecenderungan akan bersikap konsumtif terhadap sejumlah produk yang mereka anggap berteknologi tinggi, modern, dan trendi. Satu dari sekian faktor meningkatnya jumlah orang yang memilih status jomblo di antaranya adalah pengaruh media sosial. Intensitas dan kemudahan seseorang berkomunikasi lewat dunia maya, pada akhirnya meminimalisasi kebutuhan mereka akan hidup berpasang-pasangan.
Sebagian orang ada yang menganggap cukup mengekspresikan diri, narsis, dan menjalin pertemanan lewat sosial media dibanding harus berkomitmen membangun rumah tangga, mengurus anak, dan memberi waktu sedikit pada urusan karier. Tapi, yang juga cukup menarik, tidak sedikit pula para jombloers yang justru melihat peluang tersebut dan mendirikan perusahaan.
Meski istilahnya tidak bisa dibilang “jeruk makan jeruk”, fenomena jomblo juga dimanfaatkan merekamereka yang masih sendiri untuk fokus berwirausaha membidik pasar potensial tersebut. Artinya, banyak juga para jombloers yang memilih menjadi entrepreneur untuk membidik kaum jomlo. Tak pelak mereka pun menyebut diri sendiri sebagai “jomblopreneur “.
Istilah jomblopreneur sejatinya diidentikkan dengan konsultan biro jodoh. Namun belakangan, jomblopreneur justru berkembang pada upaya seseorang yang masih sendiri dan mampu mengembangkan bisnis.
Nafi muthohirin/Yani a
(ars)