Versi, dari Kertas hingga Besi

Minggu, 02 November 2014 - 11:25 WIB
Versi, dari Kertas hingga...
Versi, dari Kertas hingga Besi
A A A
Disebar hingga tiga gedung, Gedung A, B, dan C, di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, semua mata pengunjung seolah takjub dan terpesona dengan hasil tangan apik karya anak negeri.

Semua karya apik ini akan ditampilkan hingga Hari Pahlawan atau 10 November mendatang. Di Gedung A sebanyak 25 karya patung tergolek begitu rupawan. Di pintu masuk pengunjung akan disambut karya berjudul Gunting Batu Kertas karya S. Teddy D. Karya ini menggunakan bahan yang sederhana yakni kertas, kayu, dan besi. Beberapa langkah dari pintu masuk sebuah karya cukup unik pun sudah terpampang jelas. Still Shy33 #02. Let His Ass Covering HisFace .

Sebuah kereta kuda atau yang kerap dikenal delman atau dokar. Namun bedanya, sang kuda penarik kereta tidak berada di depan, melainkan di belakang. Muka si kuda pun tidak terlihat dan masuk ke dalam tumpukan baju yang banyak berhamburan di dalam kereta. Karya Eddi Prabandono ini seperti hendak menyinggung kata-kata pepatah atau kata-kata kiasan. Yakni, menutupi mukanya membiarkan pantatnya.

Artinya, kebanyakan orang atau kita sendiri kalau malu biasanya segera menutupi mukanya, tetapi membiarkan atau tidak memedulikan hal-hal apa yang membuatnya menjadi malu. Setelah itu, beberapa bentuk patung pun tak kalah mengejutkan. Sebut saja sebuah mobil VW kodok berwarna kuning yang bentuknya bulat bak bola. Ban mobil tetap terlihat di sisi kanan dan kiri. Namun, wajah mobil dan bagian belakang mobil menyatu menjadi satu saling melekat seperti bola.

Karya berjudul Beetle Sphere yang menggunakan material alumunium dan bagian-bagian dari VW Beetle tahun 1953 memang berhasil mencuri perhatian sebagian besar pengunjung. Bagaimana bisa sebuah mobil dijadikan bak bola bundar seperti itu? Itulah kehebatan seni yang ditampilkan Ichwan Noor. Bagi sang seniman, mobil ini merupakan persepsi personal terhadap benda-benda produk budaya transportasi saat ini.

Beberapa benda menunjukkan isyarat-isyarat emosi spiritual yang kuat. Dengan kombinasi teknik, bentuk patung memiliki kecenderungan distorsi realistis, menghasilkan interpretasi baru mengenai objek benda (mobil), sebuah pengalihan persepsi menciptakan nilai yang asosiatif. Menurut Ichwan, visual patung menunjukkan impresi tentang bentuk bola yang merupakan dasar dari segala bentuk, dengan pressing dari bentuk mobil ke bentuk bola menghasilkan sebuah dinamika gerak, lentur, sekaligus labil. Sebuah konsep ”totem” yang dipercaya manusia masa kini.

Satu karya yang terlihat menjadi spot menarik bagi pengunjung adalah karya berbentuk sayap yang terbuat dari bambu. Meski hanya terbuat dari material sederhana seperti bambu. Namun, di tangan seniman Nus Salomo, karya berjudul Come fly with me ini menjadi magnet tersendiri bagi setiap pengunjung untuk difoto ataupun bergaya selfie . Seolah-olah setiap pengunjung yang berfoto tepat di tengah sayap memiliki sayap bagaikan seorang peri. Di Gedung A, semua hasil karya memang lebih beragam. Mulai dari yang berbahan kertas, kayu, batu, aluminium dan lainnya.

Temanya pun variatif. Ada yang bertema kebebasan, sejarah, masa kecil, dan lainnya. Untuk tema masa kecil, beberapa karya yang tampil adalah karya berjudul Aku boneka karena itu aku ada , hasil olah tangan Octora Chan. Karya ini menggabungkan beberapa boneka berbentuk perempuan menjadi satu. Bonekanya pun terlihat seperti boneka yang kerap dimainkan kebanyakan anak-anak perempuan yang masih kecil. Kemudian, ada sebuah karya yang terbuat dari material sederhana seperti kancing dan nilon. Bahan yang banyak ditemukan di setiap rumah tangga, ataupun para penjahit.

Hasil karyanya cukup mengejutkan. Sebuah sepeda anak-anak. Karya ini cukup apik ditampilkan Teguh Agus Priyanto dengan judul Between Existence and nonexistence. Di samping ruang yang bertema masa kecil ini, ada beberapa karya bertema sejarah yang dipampang. Salah satu karya yang cukup menggoda mata untuk melirik adalah karya berjudul The Creation of Power yang dibuat seniman Dicky Tjandra.

Karya berbahan perunggu dan aluminium ini hanya menampilkan satu lengan dengan jari yang dikepal dan hanya satu jari telunjuk yang terlihat sedang menunjuk dan menempel ke sebuah bentuk senapan laras panjang. Lalu ada karya berjudul Tak Terjudulkan/untitled, yang menceritakan tentang pembantaian yang terjadi pada tahun 1965 oleh rezim Soeharto.

Sedangkan, di Gedung B karya yang ditampilkan lebih sedikit yakni hanya berjumlah enam buah. Material pembuatnya masih sama dengan yang ada di Gedung A. Adapun, di Gedung C ada 23 karya yang didominasi oleh seni patung kayu. Masih di Gedung B, karya berjudul Sehelai Daun Jatuh dari Rantingnya karya Budi Kustarto ini langsung menarik mata pengunjung.

Di karya ini terlihat tiga sosok figur manusia yang terbuat dari fiberglass berwarna hijau yang digabung dengan ranting dan daun kering sehingga membentuk kata ”ART ”. Kemudian Garden of Delight karya Arya Pandjalu yang menampilkan satu figur manusia yang hidup bersama beberapa tanaman di dalam rak-rak tanaman yang menempel di dinding. Di Gedung C material berbahan kayu terlihat begitu mendominasi. Satu karya Ali Umar berjudul Keberagaman Indonesia menggunakan material kayu jati.

Beberapa bentuk rumah yang terdapat di setiap daerah di Indonesia ditampilkan dalam ukuran yang cukup kecil. Melalui karyanya ini, sang seniman ingin memperlihatkan keberagaman etnis, agama, budaya, bahasa, dan lainnya, yang bisa direpresentasikan di setiap bentuk atap rumah di setiap daerah.

Susi susanti
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7752 seconds (0.1#10.140)