Berbagi Inspirasi lewat Levitasi
A
A
A
Berfoto di depan objek wisata adalah dambaan bagi hampir sebagian besar traveller. Setiap ada sudut atau lokasi unik dan menarik, segera saja ambil ancang-ancang. Narsis, begitu istilah anak jaman sekarang. Atau, ada lagi istilah yang sedang populer, selfie .
Tak sedikit juga yang menuliskan catatan perjalanan mereka pada suatu tempat untuk sekadar berbagi cerita atau dokumentasi pribadi. Bentuknya pun macam-macam.
Mulai dari ditulis di media sosial, media massa, hingga dokumentasi berbentuk buku. Tentu lengkap dengan foto-foto lokasi. Junanto Herdiawan adalah salah satu dari sekian banyak orang pecinta jalanjalan yang menuliskan hobi travelling -nya dalam bentuk buku. Tak ketinggalan, Junanto juga berbagi foto di berbagai lokasi yang telah dikunjunginya. Yang membuatnya berbeda adalah gaya foto yang dilakukannya.
Menurutnya, seperti tertulis dalam pengantar buku ini, awalnya memang seperti kebanyakan orang saat mengambil gambar. Berpose ala pas foto di depan objek yang hendak dijadikan latar foto lalu klik. Selesai. Junanto mulai mengubah posenya setelah mengenal fotografi levitasi. Masih dalam penuturannya di pengantar buku ini, fotografi levitasi dikenalnya saat melihat iklan Art Media di Tokyo, Jepang.
Saat itu ada gambar seorang gadis Jepang sedang berpose melayang. Belakangan diketahuinya gadis bernama Natsumi Hayashi itu dikenal juga sebagai floating girl from Tokyo . Gadis itu pulalah yang memopulerkan fotografi levitasi di dunia. Bagi yang tidak tahu, tentunya beranggapan bahwa levitasi adalah trik kamera atau sedikit siasat dengan menggunakan aplikasi di komputer. Sesungguhnya tidak. Levitasi adalah sebuah seni berpose yang nyata, bukan trik atau siasat aplikasi. Levitasi dilakukan dengan sebuah gerak fisik yang mengharuskan seseorang “melayang” secara riil, bukan sulap, bukan sihir.
Aspek lain yang menjadi pembeda Junanto adalah kecerdikannya memilih latar. Lalu ia menceritakannya dengan bahasa yang luwes sehingga mampu membawa pembaca seolah-olah berada di lokasi yang sama dengan dirinya. Dalam buku setebal 148 halaman ini, Junanto menyuguhkan ikon beberapa negara yang sempat dikunjunginya. Dimulai Jepang, China, Korea Selatan dan Mongolia.
Di beberapa lembar bagian akhir buku ini, Junanto menghadirkan beberapa lokasi di negeri ini yang menurutnya sarat inspirasi. Junanto pun melengkapi catatan perjalanannya dengan saran spot yang bagus untuk melakukan foto levitasi pada suatu lokasi. Jepang menjadi awal pokok pembicaraan Junanto. Bisa jadi karena di negara itulah ia mengenal fotografi levitasi. Catatan perjalanan di Jepang dimulai dengan eksplorasi Tokyo. Ada Tokyo Skytree, Tokyo Station, Tokyo Tower, Senja di Tokyo, musim gugur di Tokyo.
Tokyo Skytree dipilih Junanto sebagai contoh salah satu bangunan tanggap bencana di Jepang. Ia menjadisaksibetapamenara ikonJepangitu tetap berdiri kokoh meski bergoyanggoyang dengan kencang saat gempa besar Tohoku pada 11 Maret 2011 (halaman 5). Junanto menghadirkan mistik di Jepang. Dipilihnya sisi mistik Gunung Fuji dan Danau Kawaguchi. Junanto tak ketinggalan juga mengulik sisi primitif Jepang.
Keberadaan museum Suku Ainu di Pulau Hokkaido dieksplorasi sedemekian rupa sehingga menjadi objek wisata yang pantas terdapat dalam daftar tempat layak singgah di Jepang. Di museum yang disulap menjadiperkampunganbuatanituterdapat rumah, lumbung makanan, perapian, alatalat berburu serta perahu yang kerap digunakan Suku Ainu untuk mencari ikan di laut (halaman 73).
Di daratan China, Junanto memilih berkunjung ke tempat-tempat biasa. Artinya biasajadi jujugan wisatawanpada umumnya. Di antaranya Forbidden City dan tembok raksasa. Dalam kunjungan ke tanah Korea Selatan, Junanto memilih memperbincangkan Kota Pantai, Busan dan alat transportasi publik, Korea - KTX (Korea Train Express). Tentang KTX, Junanto menceritakan pengalamannya. Ketepatan waktu, kenyamanan dan keamanan adalah tiga hal yang melekat pada KTX.
Jarak Seoul-Busan sekitar 332 km. Dengan kecepatan rata-rata 250-300 km / jam, jarak tersebut ditempuh kurang dari dua jam. Seorang perempuan yang duduk di sebelah Junanto meninggalkan begitu saja tasnya yang berisi aneka gadget dan dompetnya tergeletak di meja, sementara ia pergi ke toilet. Semua penumpang lain cuek saja (halaman 95). Secara langsung, pikiran kita akan membandingkan dengan transportasi publik di Tanah Air.
Keterlambatan jadwal dengan alasan apa pun memaksakan pemakluman. Belum lagi persoalan keamanan. Peringatan “Jaga baik-baik barang Anda, rusak dan hilang adalah risiko penumpang” memaksa sikap ekstra hati-hati dan tak lekas percaya kepada siapa pun. Kemudian, Mongolia. Junanto menjelaskan betapa Genghis Khan hidup kembali di Tsonjin Boldog. Patung Genghis Khan dibuat besar.
Dengan tinggi mencapai 40 meter dan berat 250 ton terbuat dari baja mengesankan nuansa luar biasa megah. Genghis Khan dibuat sedang duduk di atas kuda dengan posisi mengarah ke negeri China (halaman 101). Tanpa sadar, angan pikiran terbawa pada sosok Joko Dolog di kawasan Taman Apsari di Surabaya. Patung yang terletak di pusat kota Surabaya itu kusam dan sendirian saja. Terbuat dari batu laiknya candi-candi. Tak ada sentuhan lain yang mengesankan bahwa ia adalah bagian penting dari sejarah. Lalu, Nusantara.
Junanto banyak mengambil lokasi Jawa Timur, mulai Surabaya, Mojokerto hingga Probolinggo dan Bondowoso. Sumenep yang dipilihnya untuk wilayah Madura. Junanto juga menyuguhkan eksotisme Gili Trawangan, Tanjung Aan di Lombok dan Muaro Jambi di tanah Sumatra. Kesemua tempat itu, masih terkesan apa adanya. Belum ada sentuhan lokal yang cukup berarti. Di kawasan Trowulan Mojokerto, misalnya.
Pemerintah Kabupaten Mojokerto yang beberapa waktu mengungkapkan akan membangun cagar budaya Majapahit dengan mengucurkan dana Rp 25 juta tiap rumah di beberapa desa di wilayah Kecamatan Trowulan Mojokerto masih sebatas pernyataan.
Dana yang sedianya dimaksudkan untuk merombak bagian depan tiap rumah dengan model seperti jaman Majapahit belum terealisasi. Padahal, warga menyambut antusias program tersebut.
Dianika W. Wardhani, Editor di beberapa penerbit di Surabaya dan blogger
Tak sedikit juga yang menuliskan catatan perjalanan mereka pada suatu tempat untuk sekadar berbagi cerita atau dokumentasi pribadi. Bentuknya pun macam-macam.
Mulai dari ditulis di media sosial, media massa, hingga dokumentasi berbentuk buku. Tentu lengkap dengan foto-foto lokasi. Junanto Herdiawan adalah salah satu dari sekian banyak orang pecinta jalanjalan yang menuliskan hobi travelling -nya dalam bentuk buku. Tak ketinggalan, Junanto juga berbagi foto di berbagai lokasi yang telah dikunjunginya. Yang membuatnya berbeda adalah gaya foto yang dilakukannya.
Menurutnya, seperti tertulis dalam pengantar buku ini, awalnya memang seperti kebanyakan orang saat mengambil gambar. Berpose ala pas foto di depan objek yang hendak dijadikan latar foto lalu klik. Selesai. Junanto mulai mengubah posenya setelah mengenal fotografi levitasi. Masih dalam penuturannya di pengantar buku ini, fotografi levitasi dikenalnya saat melihat iklan Art Media di Tokyo, Jepang.
Saat itu ada gambar seorang gadis Jepang sedang berpose melayang. Belakangan diketahuinya gadis bernama Natsumi Hayashi itu dikenal juga sebagai floating girl from Tokyo . Gadis itu pulalah yang memopulerkan fotografi levitasi di dunia. Bagi yang tidak tahu, tentunya beranggapan bahwa levitasi adalah trik kamera atau sedikit siasat dengan menggunakan aplikasi di komputer. Sesungguhnya tidak. Levitasi adalah sebuah seni berpose yang nyata, bukan trik atau siasat aplikasi. Levitasi dilakukan dengan sebuah gerak fisik yang mengharuskan seseorang “melayang” secara riil, bukan sulap, bukan sihir.
Aspek lain yang menjadi pembeda Junanto adalah kecerdikannya memilih latar. Lalu ia menceritakannya dengan bahasa yang luwes sehingga mampu membawa pembaca seolah-olah berada di lokasi yang sama dengan dirinya. Dalam buku setebal 148 halaman ini, Junanto menyuguhkan ikon beberapa negara yang sempat dikunjunginya. Dimulai Jepang, China, Korea Selatan dan Mongolia.
Di beberapa lembar bagian akhir buku ini, Junanto menghadirkan beberapa lokasi di negeri ini yang menurutnya sarat inspirasi. Junanto pun melengkapi catatan perjalanannya dengan saran spot yang bagus untuk melakukan foto levitasi pada suatu lokasi. Jepang menjadi awal pokok pembicaraan Junanto. Bisa jadi karena di negara itulah ia mengenal fotografi levitasi. Catatan perjalanan di Jepang dimulai dengan eksplorasi Tokyo. Ada Tokyo Skytree, Tokyo Station, Tokyo Tower, Senja di Tokyo, musim gugur di Tokyo.
Tokyo Skytree dipilih Junanto sebagai contoh salah satu bangunan tanggap bencana di Jepang. Ia menjadisaksibetapamenara ikonJepangitu tetap berdiri kokoh meski bergoyanggoyang dengan kencang saat gempa besar Tohoku pada 11 Maret 2011 (halaman 5). Junanto menghadirkan mistik di Jepang. Dipilihnya sisi mistik Gunung Fuji dan Danau Kawaguchi. Junanto tak ketinggalan juga mengulik sisi primitif Jepang.
Keberadaan museum Suku Ainu di Pulau Hokkaido dieksplorasi sedemekian rupa sehingga menjadi objek wisata yang pantas terdapat dalam daftar tempat layak singgah di Jepang. Di museum yang disulap menjadiperkampunganbuatanituterdapat rumah, lumbung makanan, perapian, alatalat berburu serta perahu yang kerap digunakan Suku Ainu untuk mencari ikan di laut (halaman 73).
Di daratan China, Junanto memilih berkunjung ke tempat-tempat biasa. Artinya biasajadi jujugan wisatawanpada umumnya. Di antaranya Forbidden City dan tembok raksasa. Dalam kunjungan ke tanah Korea Selatan, Junanto memilih memperbincangkan Kota Pantai, Busan dan alat transportasi publik, Korea - KTX (Korea Train Express). Tentang KTX, Junanto menceritakan pengalamannya. Ketepatan waktu, kenyamanan dan keamanan adalah tiga hal yang melekat pada KTX.
Jarak Seoul-Busan sekitar 332 km. Dengan kecepatan rata-rata 250-300 km / jam, jarak tersebut ditempuh kurang dari dua jam. Seorang perempuan yang duduk di sebelah Junanto meninggalkan begitu saja tasnya yang berisi aneka gadget dan dompetnya tergeletak di meja, sementara ia pergi ke toilet. Semua penumpang lain cuek saja (halaman 95). Secara langsung, pikiran kita akan membandingkan dengan transportasi publik di Tanah Air.
Keterlambatan jadwal dengan alasan apa pun memaksakan pemakluman. Belum lagi persoalan keamanan. Peringatan “Jaga baik-baik barang Anda, rusak dan hilang adalah risiko penumpang” memaksa sikap ekstra hati-hati dan tak lekas percaya kepada siapa pun. Kemudian, Mongolia. Junanto menjelaskan betapa Genghis Khan hidup kembali di Tsonjin Boldog. Patung Genghis Khan dibuat besar.
Dengan tinggi mencapai 40 meter dan berat 250 ton terbuat dari baja mengesankan nuansa luar biasa megah. Genghis Khan dibuat sedang duduk di atas kuda dengan posisi mengarah ke negeri China (halaman 101). Tanpa sadar, angan pikiran terbawa pada sosok Joko Dolog di kawasan Taman Apsari di Surabaya. Patung yang terletak di pusat kota Surabaya itu kusam dan sendirian saja. Terbuat dari batu laiknya candi-candi. Tak ada sentuhan lain yang mengesankan bahwa ia adalah bagian penting dari sejarah. Lalu, Nusantara.
Junanto banyak mengambil lokasi Jawa Timur, mulai Surabaya, Mojokerto hingga Probolinggo dan Bondowoso. Sumenep yang dipilihnya untuk wilayah Madura. Junanto juga menyuguhkan eksotisme Gili Trawangan, Tanjung Aan di Lombok dan Muaro Jambi di tanah Sumatra. Kesemua tempat itu, masih terkesan apa adanya. Belum ada sentuhan lokal yang cukup berarti. Di kawasan Trowulan Mojokerto, misalnya.
Pemerintah Kabupaten Mojokerto yang beberapa waktu mengungkapkan akan membangun cagar budaya Majapahit dengan mengucurkan dana Rp 25 juta tiap rumah di beberapa desa di wilayah Kecamatan Trowulan Mojokerto masih sebatas pernyataan.
Dana yang sedianya dimaksudkan untuk merombak bagian depan tiap rumah dengan model seperti jaman Majapahit belum terealisasi. Padahal, warga menyambut antusias program tersebut.
Dianika W. Wardhani, Editor di beberapa penerbit di Surabaya dan blogger
(ars)