IHSG Perkasa Lagi
A
A
A
DI tengah kekhawatiran kalangan pengusaha akan dampak dinamika politik di dalam negeri, indeks harga saham gabungan (IHSG) justru kembali bertengger di level 5.000. Pada penutupan perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) kemarin, indeks melaju 50,792 poin atau 1,03% dari posisi penutupan perdagangan pekan lalu ke level 5.000,138.
Sejumlah saham yang sempat “terkapar” sebelumnya kembali bangkit yang didorong aksi beli investor, kecuali saham-saham konsumer yang masih setia di zona merah. Mengawali perdagangan, indeks langsung melaju 25,858 poin ke level 4.975,204.
Namun, kenaikan indeks pada sesi pertama melambat hingga penutupan perdagangan sehingga para investor sempat pesimistis indeks bakal menembus kembali level 5.000. Kekhawatiran pengusaha akan dampak dinamika politik pasca pemilihan pimpinan DPR yang dimenangkan Koalisi Merah Putih (KMP) hal yang wajar.
Tengok saja prediksi sejumlah analis ekonomi yang seragam menilai bahwa dinamika politik yang terus memanas telah menciptakan polarisasi politik yang head to head antara DPR yang dikuasai KMP dengan presiden terpilih Jokowi-JK yang disokong oleh Koalisi Indonesia Hebat.
Ke depan, dampak perseteruan kedua kubu itu diramalkan bakal merepotkan presiden terpilih dalam mewujudkan sejumlah kebijakan karena sudah pasti dikritisi dengan tajam oleh kubu KMP yang kini menguasai parlemen.
Prediksi kalangan analis ekonomi tersebut semakin menguat dikaitkan dengan respons investor pasar modal dan pasar keuangan terhadap perkembangan dinamika politik di dalam negeri yang negatif pada pekan lalu.
Buktinya, IHSG langsung luluh di bawah level 5.000 dan nilai kurs rupiah melaju menembus Rp12.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Namun di awal pekan ini, indeks sudah mulai kembali menggeliat sebaliknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih tertekan.
Pada penutupan perdagangan kemarin, posisi rupiah terpuruk lagi dalam kisaran Rp12.205 per dolar AS dari posisi Rp12.160 perdolar AS pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Namun, anjloknya indeks dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak bisa diklaim sepenuhnya sebagai dampak dari suhu politik di dalam negeri yang terus meninggi.
Sebab pada saat yang bersamaan kondisi eksternal juga tidak kondusif. Perdagangan di Wall Street terpuruk yang menyeret sebagian besar bursa di berbagai belahan dunia.
Dan, penurunan indeks di pasar Asia semakin diperparah oleh dampak demonstrasi di Hong Kong yang menuntut pemerintah lebih demokratis dalam mengelola negara. Menyikapi kekhawatiran pengusaha akan situasi politik yang bisa menghambat perkembangan pertumbuhan perekonomian nasional, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menyatakan jangan sampai diliputi rasa khawatir yang berlebih.
Begitu pula terhadap perkembangan nilai tukar rupiah yang sudah berada di atas Rp12.000 per dolar AS, karena menurut nakhoda BI itu terpuruknya rupiah tersebut bukanlah indikasi bahwa nilai tukar rupiah berada di luar kendali.
Justru yang harus diantisipasi sekarang adalah pengaruh kebijakan The Fed secara regional. Apabila The Fed menaikkan Fed Fund Rate sudah pasti berimbas ke Indonesia. Jadi, sebenarnya ancaman yang lebih serius yang bisa lebih merepotkan perkembangan perekonomian nasional, yakni hengkangnya modal dari Indonesia.
Bisa dipastikan dampak dari normalisasi kebijakan The Fed (menaikkan suku bunga) akan merangsang aliran dana keluar. Masalahnya, bagaimana menahan agar dana tersebut tetap berputar di pasar domestik?
Bank sentral bisa saja menaikkan suku bunga acuan untuk menahan dana asing tersebut, tetapi jangan lupa pemodal dalam negeri harus menanggung beban karena kenaikan bunga acuan dengan sendirinya perbankan nasional ikut mengutak-atik suku bunga kredit.
Melihat faktor eksternal tersebut soal rencana Bank Sentral AS menaikkan suku bunga, justru kondisi itu yang harus diantisipasi sedini mungkin. Pasalnya, sentimen negatif yang ditimbulkan oleh ketegangan politik di dalam negeri biasanya hanya berdampak sesaat saja.
Buktinya, suhu politik masih memanas, indeks harga saham gabungan kembali menembus level 5.000. Kita boleh khawatir dengan suasana politik belakangan ini, tetapi kita harus optimistis stabilisasi ekonomi tetap terjaga.
Sejumlah saham yang sempat “terkapar” sebelumnya kembali bangkit yang didorong aksi beli investor, kecuali saham-saham konsumer yang masih setia di zona merah. Mengawali perdagangan, indeks langsung melaju 25,858 poin ke level 4.975,204.
Namun, kenaikan indeks pada sesi pertama melambat hingga penutupan perdagangan sehingga para investor sempat pesimistis indeks bakal menembus kembali level 5.000. Kekhawatiran pengusaha akan dampak dinamika politik pasca pemilihan pimpinan DPR yang dimenangkan Koalisi Merah Putih (KMP) hal yang wajar.
Tengok saja prediksi sejumlah analis ekonomi yang seragam menilai bahwa dinamika politik yang terus memanas telah menciptakan polarisasi politik yang head to head antara DPR yang dikuasai KMP dengan presiden terpilih Jokowi-JK yang disokong oleh Koalisi Indonesia Hebat.
Ke depan, dampak perseteruan kedua kubu itu diramalkan bakal merepotkan presiden terpilih dalam mewujudkan sejumlah kebijakan karena sudah pasti dikritisi dengan tajam oleh kubu KMP yang kini menguasai parlemen.
Prediksi kalangan analis ekonomi tersebut semakin menguat dikaitkan dengan respons investor pasar modal dan pasar keuangan terhadap perkembangan dinamika politik di dalam negeri yang negatif pada pekan lalu.
Buktinya, IHSG langsung luluh di bawah level 5.000 dan nilai kurs rupiah melaju menembus Rp12.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Namun di awal pekan ini, indeks sudah mulai kembali menggeliat sebaliknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih tertekan.
Pada penutupan perdagangan kemarin, posisi rupiah terpuruk lagi dalam kisaran Rp12.205 per dolar AS dari posisi Rp12.160 perdolar AS pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Namun, anjloknya indeks dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak bisa diklaim sepenuhnya sebagai dampak dari suhu politik di dalam negeri yang terus meninggi.
Sebab pada saat yang bersamaan kondisi eksternal juga tidak kondusif. Perdagangan di Wall Street terpuruk yang menyeret sebagian besar bursa di berbagai belahan dunia.
Dan, penurunan indeks di pasar Asia semakin diperparah oleh dampak demonstrasi di Hong Kong yang menuntut pemerintah lebih demokratis dalam mengelola negara. Menyikapi kekhawatiran pengusaha akan situasi politik yang bisa menghambat perkembangan pertumbuhan perekonomian nasional, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menyatakan jangan sampai diliputi rasa khawatir yang berlebih.
Begitu pula terhadap perkembangan nilai tukar rupiah yang sudah berada di atas Rp12.000 per dolar AS, karena menurut nakhoda BI itu terpuruknya rupiah tersebut bukanlah indikasi bahwa nilai tukar rupiah berada di luar kendali.
Justru yang harus diantisipasi sekarang adalah pengaruh kebijakan The Fed secara regional. Apabila The Fed menaikkan Fed Fund Rate sudah pasti berimbas ke Indonesia. Jadi, sebenarnya ancaman yang lebih serius yang bisa lebih merepotkan perkembangan perekonomian nasional, yakni hengkangnya modal dari Indonesia.
Bisa dipastikan dampak dari normalisasi kebijakan The Fed (menaikkan suku bunga) akan merangsang aliran dana keluar. Masalahnya, bagaimana menahan agar dana tersebut tetap berputar di pasar domestik?
Bank sentral bisa saja menaikkan suku bunga acuan untuk menahan dana asing tersebut, tetapi jangan lupa pemodal dalam negeri harus menanggung beban karena kenaikan bunga acuan dengan sendirinya perbankan nasional ikut mengutak-atik suku bunga kredit.
Melihat faktor eksternal tersebut soal rencana Bank Sentral AS menaikkan suku bunga, justru kondisi itu yang harus diantisipasi sedini mungkin. Pasalnya, sentimen negatif yang ditimbulkan oleh ketegangan politik di dalam negeri biasanya hanya berdampak sesaat saja.
Buktinya, suhu politik masih memanas, indeks harga saham gabungan kembali menembus level 5.000. Kita boleh khawatir dengan suasana politik belakangan ini, tetapi kita harus optimistis stabilisasi ekonomi tetap terjaga.
(nfl)