Demokrasi dan Batas Kebebasan
A
A
A
VICTOR SILAEN
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
DEMOKRATISASI yang bergulir deras lebih dari sewindu terakhir telah membuat masyarakat Indonesia pada umumnya sangat menikmati kebebasan.
Pertanyaannya, apakah demokrasi identik dengan kebebasan? Betul, di tataran budaya, nilai utama dari demokrasi adalah kebebasan, yang berdimensi dua: bebas dari (tekanan, paksaan, ancaman) dan bebas untuk (bicara, berpikir, berekspresi).
Memang, masih ada dua perspektif demokrasi yang lain, yakni sistemik (menyangkut struktur dan institusi) dan prosedural (mekanisme dalam menentukan maupun memilih kebijakan dan elite-elite yang akan memimpin publik).
Namun, dua perspektif itu niscaya membuat demokrasi semu jika tak disertai dengan penghayatan yang mendalam oleh masyarakat akan keniscayaan nilai-nilai demokrasi (selain kebebasan ada lagi kesetaraan, independensi, pluralisme dan individualistis) itu. Pertanyaannya, apakah kebebasan merupakan sesuatu yang tanpa batas?
Dibenarkankah, misalnya, seseorang dengan mengatasnamakan kebebasan lalu berteriak-teriak semaunya sendiri, padahal di sekelilingnya ada banyak orang yang merasa terganggu?
Bolehkah orang banyak menutup jalan tol atas nama kebebasan yang bahkan dirasionalisasi dengan “motif baik” demi menuntut tarif tol tidak dinaikkan? Dalam beberapa minggu terakhir ini, wacana publik sempat diramaikan oleh dua isu yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi.
Pertama, seorang mahasiswi pascasarjana bernama Florence Sihombing yang menulis sesuatu di jejaring sosial, path, yang dianggap menghina Yogyakarta. Ia lalu dilaporkan ke polisi dan sempat ditahan, tapitak lama kemudian dilepaskan. Florence sendiri kemudian minta maaf kepada Sultan HB X dan kepada warga Yogyakarta.
Kedua, seorang pemilik akun Twitter dengan nama @kemalsept, yang karena dianggap telah menghina Kota Bandung dan wali kota Bandung lalu secara resmi dilaporkan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil ke polisi. “@kemalsept Anda secara resmi saya laporkan ke kepolisian, untuk tweet-tweet penghinaan Pasal 27 UU 11 tahun 2008,” tulis Ridwan dalam akun Twitter resminya, 5 September lalu.
Tak hanya itu, dalam statusnya, Ridwan juga mengunggah fotoscreen capture lini masa Twitter yang bersangkutan. Dalam foto itu tampak pemilik akun @kemalsept menghina Bandung dengan kata-kata kasar. Semuanya ditulis dengan huruf kapital. “Kritik ada tempat dan etikanya. Kalau menyerang pribadi tentu ada kehormatan yang harus dijaga. Beda, kan, kritikan dan cacian, apalagi ke pribadi,” ujar Ridwan. “Ini jadi pembelajaran. Dimaafkan ya dimaafkan,” katanya.
Namun, ia berharap agar hal serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang. Lebih dari demokrasi di tataran sistemik dan prosedural, demokrasi di tataran budaya lazimnya membutuhkan waktu relatif panjang untuk mencapai situasi dan kondisinya yang ideal. Pasalnya, kebebasan memang cenderung disalahpahami dan disalahgunakan jika tidak didukung dengan dua nilai lainnya, yakni rasionalitas dan moralitas.
Dengan rasionalitas, niscaya setiap orang menggunakan hak-hak asasinya secara bertanggung jawab. Sebaliknya tanpa rasionalitas orang-orang cenderung bertindak dan berperilaku semau-maunya sendiri. Dengan moralitas, niscaya setiap orang menjalani hidupnya secara tertib dan tak ingin meremehkan atau mengabaikan orang-orang lain di sekitarnya.
Sebaliknya tanpa moralitas, orang-orang cenderung hidup tak teratur dan tak memedulikan kehadiran orang-orang lain di sekitarnya. Dengan demikian maka demokrasi niscaya berkembang sehat jika pilarnya adalah masyarakat sipil yang nalarnya telah akil balig, telah mampu berpikir rasional dan mandiri. Atas dasar itulah, niscaya orangorang tak cenderung salah mengerti dan menyalahgunakan kebebasan di tengah demokratisasi yang bergulir deras ini.
Maka di dalam kehidupan sesehari, komunikasi yang terjalin niscaya juga menjadi sarat makna alih-alih ngalor-ngidul tanpa arah. Hal itu bukan hanya menjadi keharusan di dalam komunikasi di dunia nyata (secara lisan), tetapi juga di dunia maya (secara tulisan). Pertanyaannya, itu gampang atau sulit? Jawabannya, mungkin agak sulit karena diperlukan dua nilai pendukung itu tadi: rasionalitas dan moralitas.
Dengan kedua nilai yang telah dihayati itulah komunikasi yang sebelumnya berwujud talking (nirmakna) niscaya menjadi speaking (sarat makna). Memang, dengan semua nilai demokrasi yang disebutkan tadi maka demokrasi di dalam kehidupan sehari-hari menjadi rawan konflik. Kendati begitu, demokrasi tetap merupakan alternatif sistem dan way of life yang terbaik demi menghindarkan terjadinya monopoli dalam menginterpretasi kebenaran.
Demokrasi juga niscaya menjadikan kita mampu bersikap toleran dan apresiatif terhadap segala macam perbedaan. Pada akhirnya, bukankah itu juga yang niscaya membuat kita rendah hati karena merasa orang-orang lain juga memiliki kebenaran? Bukankah karakter seperti itu sangat baik dan terpuji? Jadi, apakah kebebasan dalam demokrasi itu tanpa batas? Tentu tidak. Ia bahkan penuh batas di sana-sini.
Pertama, karena kita hidup di tengah masyarakat yang memiliki hukum (Costello, 2000). Itulah yang otomatis membatasi setiap orang. Kedua, karena demokrasi harus seiring sejalan dengan hak asasi manusia.
Kesadaran akan hak asasi orang-orang lain itulah yang memunculkan kesadaran bahwa kita harus membatasi kebebasan diri sendiri demi menghormati orang-orang lain itu. Ketiga, karena dengan dipandu moralitas dan rasionalitas, kita harus senantiasa mempertimbangkan hal-hal yang benar dan baik yang sepatutnya dilakukan.
Keempat, karena sadar akan kehadiran orangorang lain di tengah masyarakat maka kita niscaya berpedoman pada etiket dan etika yang dengan sendirinya membatasi kebebasan.
Dengan alasan-alasan itulah maka demokrasi selalu ada batasnya, bahkan banyak. Maka, adalah salah jika sebagian orang mengatakan kebebasan dalam demokrasi itu liar. Sebaliknya, justru demokrasi yang rasional dan bermoral menjadikan kebebasan itu bertanggung jawab.
Maka jika hingga kini kita masih kerap membaca kata-kata yang tak sopan, penuh caci maki dan hinaan, atau bahkan disertai dusta tanpa data, yang ada di berbagai media jejaring sosial, anggap saja si pemilik akun yang bersangkutan belum cukup rasional dan kurang bermoral.
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
DEMOKRATISASI yang bergulir deras lebih dari sewindu terakhir telah membuat masyarakat Indonesia pada umumnya sangat menikmati kebebasan.
Pertanyaannya, apakah demokrasi identik dengan kebebasan? Betul, di tataran budaya, nilai utama dari demokrasi adalah kebebasan, yang berdimensi dua: bebas dari (tekanan, paksaan, ancaman) dan bebas untuk (bicara, berpikir, berekspresi).
Memang, masih ada dua perspektif demokrasi yang lain, yakni sistemik (menyangkut struktur dan institusi) dan prosedural (mekanisme dalam menentukan maupun memilih kebijakan dan elite-elite yang akan memimpin publik).
Namun, dua perspektif itu niscaya membuat demokrasi semu jika tak disertai dengan penghayatan yang mendalam oleh masyarakat akan keniscayaan nilai-nilai demokrasi (selain kebebasan ada lagi kesetaraan, independensi, pluralisme dan individualistis) itu. Pertanyaannya, apakah kebebasan merupakan sesuatu yang tanpa batas?
Dibenarkankah, misalnya, seseorang dengan mengatasnamakan kebebasan lalu berteriak-teriak semaunya sendiri, padahal di sekelilingnya ada banyak orang yang merasa terganggu?
Bolehkah orang banyak menutup jalan tol atas nama kebebasan yang bahkan dirasionalisasi dengan “motif baik” demi menuntut tarif tol tidak dinaikkan? Dalam beberapa minggu terakhir ini, wacana publik sempat diramaikan oleh dua isu yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi.
Pertama, seorang mahasiswi pascasarjana bernama Florence Sihombing yang menulis sesuatu di jejaring sosial, path, yang dianggap menghina Yogyakarta. Ia lalu dilaporkan ke polisi dan sempat ditahan, tapitak lama kemudian dilepaskan. Florence sendiri kemudian minta maaf kepada Sultan HB X dan kepada warga Yogyakarta.
Kedua, seorang pemilik akun Twitter dengan nama @kemalsept, yang karena dianggap telah menghina Kota Bandung dan wali kota Bandung lalu secara resmi dilaporkan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil ke polisi. “@kemalsept Anda secara resmi saya laporkan ke kepolisian, untuk tweet-tweet penghinaan Pasal 27 UU 11 tahun 2008,” tulis Ridwan dalam akun Twitter resminya, 5 September lalu.
Tak hanya itu, dalam statusnya, Ridwan juga mengunggah fotoscreen capture lini masa Twitter yang bersangkutan. Dalam foto itu tampak pemilik akun @kemalsept menghina Bandung dengan kata-kata kasar. Semuanya ditulis dengan huruf kapital. “Kritik ada tempat dan etikanya. Kalau menyerang pribadi tentu ada kehormatan yang harus dijaga. Beda, kan, kritikan dan cacian, apalagi ke pribadi,” ujar Ridwan. “Ini jadi pembelajaran. Dimaafkan ya dimaafkan,” katanya.
Namun, ia berharap agar hal serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang. Lebih dari demokrasi di tataran sistemik dan prosedural, demokrasi di tataran budaya lazimnya membutuhkan waktu relatif panjang untuk mencapai situasi dan kondisinya yang ideal. Pasalnya, kebebasan memang cenderung disalahpahami dan disalahgunakan jika tidak didukung dengan dua nilai lainnya, yakni rasionalitas dan moralitas.
Dengan rasionalitas, niscaya setiap orang menggunakan hak-hak asasinya secara bertanggung jawab. Sebaliknya tanpa rasionalitas orang-orang cenderung bertindak dan berperilaku semau-maunya sendiri. Dengan moralitas, niscaya setiap orang menjalani hidupnya secara tertib dan tak ingin meremehkan atau mengabaikan orang-orang lain di sekitarnya.
Sebaliknya tanpa moralitas, orang-orang cenderung hidup tak teratur dan tak memedulikan kehadiran orang-orang lain di sekitarnya. Dengan demikian maka demokrasi niscaya berkembang sehat jika pilarnya adalah masyarakat sipil yang nalarnya telah akil balig, telah mampu berpikir rasional dan mandiri. Atas dasar itulah, niscaya orangorang tak cenderung salah mengerti dan menyalahgunakan kebebasan di tengah demokratisasi yang bergulir deras ini.
Maka di dalam kehidupan sesehari, komunikasi yang terjalin niscaya juga menjadi sarat makna alih-alih ngalor-ngidul tanpa arah. Hal itu bukan hanya menjadi keharusan di dalam komunikasi di dunia nyata (secara lisan), tetapi juga di dunia maya (secara tulisan). Pertanyaannya, itu gampang atau sulit? Jawabannya, mungkin agak sulit karena diperlukan dua nilai pendukung itu tadi: rasionalitas dan moralitas.
Dengan kedua nilai yang telah dihayati itulah komunikasi yang sebelumnya berwujud talking (nirmakna) niscaya menjadi speaking (sarat makna). Memang, dengan semua nilai demokrasi yang disebutkan tadi maka demokrasi di dalam kehidupan sehari-hari menjadi rawan konflik. Kendati begitu, demokrasi tetap merupakan alternatif sistem dan way of life yang terbaik demi menghindarkan terjadinya monopoli dalam menginterpretasi kebenaran.
Demokrasi juga niscaya menjadikan kita mampu bersikap toleran dan apresiatif terhadap segala macam perbedaan. Pada akhirnya, bukankah itu juga yang niscaya membuat kita rendah hati karena merasa orang-orang lain juga memiliki kebenaran? Bukankah karakter seperti itu sangat baik dan terpuji? Jadi, apakah kebebasan dalam demokrasi itu tanpa batas? Tentu tidak. Ia bahkan penuh batas di sana-sini.
Pertama, karena kita hidup di tengah masyarakat yang memiliki hukum (Costello, 2000). Itulah yang otomatis membatasi setiap orang. Kedua, karena demokrasi harus seiring sejalan dengan hak asasi manusia.
Kesadaran akan hak asasi orang-orang lain itulah yang memunculkan kesadaran bahwa kita harus membatasi kebebasan diri sendiri demi menghormati orang-orang lain itu. Ketiga, karena dengan dipandu moralitas dan rasionalitas, kita harus senantiasa mempertimbangkan hal-hal yang benar dan baik yang sepatutnya dilakukan.
Keempat, karena sadar akan kehadiran orangorang lain di tengah masyarakat maka kita niscaya berpedoman pada etiket dan etika yang dengan sendirinya membatasi kebebasan.
Dengan alasan-alasan itulah maka demokrasi selalu ada batasnya, bahkan banyak. Maka, adalah salah jika sebagian orang mengatakan kebebasan dalam demokrasi itu liar. Sebaliknya, justru demokrasi yang rasional dan bermoral menjadikan kebebasan itu bertanggung jawab.
Maka jika hingga kini kita masih kerap membaca kata-kata yang tak sopan, penuh caci maki dan hinaan, atau bahkan disertai dusta tanpa data, yang ada di berbagai media jejaring sosial, anggap saja si pemilik akun yang bersangkutan belum cukup rasional dan kurang bermoral.
(nfl)