Konglomerasi Keuangan
A
A
A
Perkembangan industri jasa keuangan yang begitu pesat belakangan ini telah melahirkan konglomerasi keuangan di Indonesia.
Perkembangan industri tersebut semakin tak terbendung seiring dengan pertumbuhan teknologi informasi yang semakin canggih dan laju kelahiran kelas menengah baru yang turut mempercepat putaran roda perekonomian nasional.
Namun di balik perkembangan yang menggembirakan itu juga terselip potensi yang membahayakan sehingga dibutuhkan aturan yang tegas di bidang pengawasan.
Hal buruk dialami Amerika Serikat pada (AS) 2008 lalu yang ditandai runtuhnya konglomerasi keuangan Lehman Brothers yang lalu memicu krisis finansial dunia.
Saat ini, berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terungkap bahwa sekitar 70% aset keuangan di negeri ini dikuasai 31 konglomerasi keuangan yang didominasi industri perbankan.
Menyikapi perkembangan konglomerasi keuangan yang bertumbuh pesat itu menjadi tantangan tersendiri pihak OJK untuk membentuk pengawasan intensif.
Sebagai otoritas pengatur dan pengawas industri jasa keuangan, pihak OJK tidak cukup hanya mendorong dan mengimbau para pelaku konglomerasi keuangan untuk menerapkan manajemen risiko dan pengawasan yang melekat. Guna meminimalisasi munculnya gangguan sistem keuangan akibat pengelolaan grup konglomerasi keuangan yang melenceng, pihak OJK memang tidak tinggal diam.
Belum lama ini, sebagaimana diungkapkan Kepala Departemen Pengembangan, Pengawasan dan Manajemen Krisis OJK Boedi Armanto, pihaknya telah melakukan uji coba sistem pengawasan terhadap tiga konglomerasi keuangan yang meliputi Grup Bank Mandiri, Grup Bank Danamon, dan Grup Panin Bank sebagai proyek percontohan.
Dari uji coba pengawasan terhadap ketiga grup konglomerasi keuangan tersebut yang digelar dari awal hingga pertengahan tahun ini, pihak OJK menemui berbagai kendala sehubungan dengan proses pengumpulan data dan informasi.
Memang, mengawasi setiap grup konglomerasi keuangan tidaklah gampang karena jenis usaha di bidang keuangan begitu bervariasi mulai dari kegiatan perbankan, asuransi hingga usaha investasi.
Karena jenis usaha yang beragam itu membutuhkan metode khusus dalam pengumpulan data dan informasi. Konglomerasi keuangan selain berpotensi membawa risiko terhadap gangguan sistem keuangan nasional, juga memiliki potensi besar dalam memutar roda perekonomian lebih cepat lagi. Fenomena pertumbuhan konglomerasi keuangan yang begitu pesat tidak hanya terjadi di Indonesia.
Hanya saja setiap negara dalam mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan konglomerasi keuangan, masing-masing punya cara yang berbeda. Belajar dari proyek percontohan uji coba sistem pengawasan konglomerasi keuangan, pihak OJK sedang menyiapkan kerangka pengawasan terintegrasi yang meliputi berbagai peraturan terkait manajemen risiko, tata kelola dan permodalan.
Secara garis besar, kerangka pengawasan terintegrasi tersebut terdiri atas enam tahapan. Pertama, pemahaman terhadap konglomerasi keuangan. Kedua, penilaian profil risiko dan tingkat kondisi konglomerasi keuangan.
Ketiga, perencanaan pengawasan. Keempat, koordinasi pemeriksaan. Kelima, pengkinian profil risiko dan tingkat kondisi konglomerasi keuangan. Keenam, tindakan pengawasan dan pemantauan.
Pengawasan yang ketat terhadap konglomerasi keuangan memang penting, hanya saja jangan sampai pengawasan yang dijalankan justru menjadi kontradiktif terhadap perkembangan industri sektor jasa keuangan itu. Konglomerasi keuangan memang wajib mendapat perhatian serius.
Mengapa? Pasalnya, konglomerasi keuangan adalah sejumlah lembaga jasa keuangan yang berada dalam satu grup dan terkait satu sama lain karena satu kepemilikan atau pengendalian.
Bisa dibayangkan apabila salah satu unit usaha tersebut bermasalah, hal itu akan mengancam unit usaha lainnya, bahkan tidak tertutup kemungkinan merembes lebih jauh terhadap lembaga jasa keuangan lainnya di luar grup.
Rontoknya Lehman Brothers, sebuah konglomerasi keuangan dunia yang mempekerjakan sekitar 25.000 karyawan, adalah sebuah contoh konkret. Dampaknya tidak hanya meredupkan perekonomian AS, tetapi juga menghadirkan krisis keuangan dunia.
Perkembangan industri tersebut semakin tak terbendung seiring dengan pertumbuhan teknologi informasi yang semakin canggih dan laju kelahiran kelas menengah baru yang turut mempercepat putaran roda perekonomian nasional.
Namun di balik perkembangan yang menggembirakan itu juga terselip potensi yang membahayakan sehingga dibutuhkan aturan yang tegas di bidang pengawasan.
Hal buruk dialami Amerika Serikat pada (AS) 2008 lalu yang ditandai runtuhnya konglomerasi keuangan Lehman Brothers yang lalu memicu krisis finansial dunia.
Saat ini, berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terungkap bahwa sekitar 70% aset keuangan di negeri ini dikuasai 31 konglomerasi keuangan yang didominasi industri perbankan.
Menyikapi perkembangan konglomerasi keuangan yang bertumbuh pesat itu menjadi tantangan tersendiri pihak OJK untuk membentuk pengawasan intensif.
Sebagai otoritas pengatur dan pengawas industri jasa keuangan, pihak OJK tidak cukup hanya mendorong dan mengimbau para pelaku konglomerasi keuangan untuk menerapkan manajemen risiko dan pengawasan yang melekat. Guna meminimalisasi munculnya gangguan sistem keuangan akibat pengelolaan grup konglomerasi keuangan yang melenceng, pihak OJK memang tidak tinggal diam.
Belum lama ini, sebagaimana diungkapkan Kepala Departemen Pengembangan, Pengawasan dan Manajemen Krisis OJK Boedi Armanto, pihaknya telah melakukan uji coba sistem pengawasan terhadap tiga konglomerasi keuangan yang meliputi Grup Bank Mandiri, Grup Bank Danamon, dan Grup Panin Bank sebagai proyek percontohan.
Dari uji coba pengawasan terhadap ketiga grup konglomerasi keuangan tersebut yang digelar dari awal hingga pertengahan tahun ini, pihak OJK menemui berbagai kendala sehubungan dengan proses pengumpulan data dan informasi.
Memang, mengawasi setiap grup konglomerasi keuangan tidaklah gampang karena jenis usaha di bidang keuangan begitu bervariasi mulai dari kegiatan perbankan, asuransi hingga usaha investasi.
Karena jenis usaha yang beragam itu membutuhkan metode khusus dalam pengumpulan data dan informasi. Konglomerasi keuangan selain berpotensi membawa risiko terhadap gangguan sistem keuangan nasional, juga memiliki potensi besar dalam memutar roda perekonomian lebih cepat lagi. Fenomena pertumbuhan konglomerasi keuangan yang begitu pesat tidak hanya terjadi di Indonesia.
Hanya saja setiap negara dalam mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan konglomerasi keuangan, masing-masing punya cara yang berbeda. Belajar dari proyek percontohan uji coba sistem pengawasan konglomerasi keuangan, pihak OJK sedang menyiapkan kerangka pengawasan terintegrasi yang meliputi berbagai peraturan terkait manajemen risiko, tata kelola dan permodalan.
Secara garis besar, kerangka pengawasan terintegrasi tersebut terdiri atas enam tahapan. Pertama, pemahaman terhadap konglomerasi keuangan. Kedua, penilaian profil risiko dan tingkat kondisi konglomerasi keuangan.
Ketiga, perencanaan pengawasan. Keempat, koordinasi pemeriksaan. Kelima, pengkinian profil risiko dan tingkat kondisi konglomerasi keuangan. Keenam, tindakan pengawasan dan pemantauan.
Pengawasan yang ketat terhadap konglomerasi keuangan memang penting, hanya saja jangan sampai pengawasan yang dijalankan justru menjadi kontradiktif terhadap perkembangan industri sektor jasa keuangan itu. Konglomerasi keuangan memang wajib mendapat perhatian serius.
Mengapa? Pasalnya, konglomerasi keuangan adalah sejumlah lembaga jasa keuangan yang berada dalam satu grup dan terkait satu sama lain karena satu kepemilikan atau pengendalian.
Bisa dibayangkan apabila salah satu unit usaha tersebut bermasalah, hal itu akan mengancam unit usaha lainnya, bahkan tidak tertutup kemungkinan merembes lebih jauh terhadap lembaga jasa keuangan lainnya di luar grup.
Rontoknya Lehman Brothers, sebuah konglomerasi keuangan dunia yang mempekerjakan sekitar 25.000 karyawan, adalah sebuah contoh konkret. Dampaknya tidak hanya meredupkan perekonomian AS, tetapi juga menghadirkan krisis keuangan dunia.
(hyk)