Kepala Daerah Dipilih DPRD Cegah Politikus Kutu Loncat
A
A
A
JAKARTA - Selama satu dekade ini pemilihan kepala daerah secara langsung menyebabkan tumbuh suburnya politikus gemar berpindah partai atau biasa disebut kutu loncat.
Maka itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon mendukung perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
"Kita ini berjuang untuk demokrasi, dengan adanya peilihan kepala daerah melalui DPRD, menghindari kutu-kutu loncat, hama pemakan daun. Dalam politik namanya hama demokrasi itu harus diberantas," ujar Fadli dalam acara diskusi Polemik Sindo Trijaya di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (13/0/2014).
Dia mengatakan, sudah saatnya sistem pemilihan kepala daerah secara langsung dievaluasi. "Biasa dong di dalam politik kita melakukan evaluasi. Dari hasil evalusi kita, pemilihan kepala daerah langsung lebih banyak kejelekannya daripada manfaatnya bagi rakyat," ungkapnya.
Fadli menambahkan, selama sepuluh tahun ini, partai tidak lagi menjadi alat ideologi atau alat perjuangan. Saat ini, lanjutnya, partai telah berubah menjadi alat sewaan para politikus.
"Misalnya, orang mau maju gubernur atau wali kota harus ada kendaraan partai politik, dan itu 15 persen kursi. Kalau ada orang baik akademisi profesor dari mana uangnya? Harus menyewa partai, itu tidak sehat," ucapnya.
Maka itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon mendukung perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
"Kita ini berjuang untuk demokrasi, dengan adanya peilihan kepala daerah melalui DPRD, menghindari kutu-kutu loncat, hama pemakan daun. Dalam politik namanya hama demokrasi itu harus diberantas," ujar Fadli dalam acara diskusi Polemik Sindo Trijaya di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (13/0/2014).
Dia mengatakan, sudah saatnya sistem pemilihan kepala daerah secara langsung dievaluasi. "Biasa dong di dalam politik kita melakukan evaluasi. Dari hasil evalusi kita, pemilihan kepala daerah langsung lebih banyak kejelekannya daripada manfaatnya bagi rakyat," ungkapnya.
Fadli menambahkan, selama sepuluh tahun ini, partai tidak lagi menjadi alat ideologi atau alat perjuangan. Saat ini, lanjutnya, partai telah berubah menjadi alat sewaan para politikus.
"Misalnya, orang mau maju gubernur atau wali kota harus ada kendaraan partai politik, dan itu 15 persen kursi. Kalau ada orang baik akademisi profesor dari mana uangnya? Harus menyewa partai, itu tidak sehat," ucapnya.
(kur)