Manfaatkan Energi Terbarukan

Sabtu, 06 September 2014 - 18:37 WIB
Manfaatkan Energi Terbarukan
Manfaatkan Energi Terbarukan
A A A
IVAN HADAR
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDE)


Saat ini harga minyak mentah di bursa internasional berada pada kisaran USD98 per barel, jauh dibandingkan USD80 per barel pada 2010.

Tren penguatan ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga menembus batas psikologis USD100 per barel. Harga minyak yang tinggi diakui oleh pemerintah telah menyebabkan pembengkakan anggaran dan menekan nilai tukar rupiah.

Sebuah lembaga penelitian menghitung bahwa setiap kenaikan USD1 per barel harga minyak di atas asumsi APBN akan memperbesar defisit setidaknya Rp550 miliar.

Namun, ketika Jokowi menyatakan siap menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), sejumlah politisi PDIP malah meminta Jokowi untuk tidak memaksakan rencana itu. Itu bisa dipahami karena selama ini PDIP paling getol menolak kenaikan harga BBM sebab dipastikan akan menyengsarakan rakyat kecil.

Hasil survei yang dilakukan LSI pada 24-26 Agustus 2014 juga menyebut bahwa sekitar 73% rakyat menyatakan tidak setuju harga BBM dinaikkan.

Sebenarnya hal yang mendesak setelah perubahan status kita sebagai negara yang pernah menjadi salah satu pengekspor minyak terbesar menjadi negara pengimpor sekitar lima tahun lalu adalah memanfaatkan potensi energi terbarukan yang dimiliki negeri ini secara berlimpah.

Karena tidak dilakukan oleh pemerintahan SBY, setidaknya pemerintahan Jokowi-JK harus menunjukkan keseriusan untuk keluar dari ketergantungan pada energi fosil, baik minyak bumi, gas maupun batu bara. Ini sekaligus menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap kelestarian lingkungan hidup.

Energi Terbarukan
Kebijakan energi nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 5/2006 menempatkan penggunaan energi baru dan energi terbarukan pada prioritas keempat setelah batu bara, gas, dan BBM. Energi baru yang dimaksud adalah energi yang dihasilkan teknologi baru, termasuk nuklir.

Namun, sebagai negara yang sering diguncang gempa, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) terbilang rawan. Jepang bisa menjadi pembelajaran yaitu ketika diterpa gempa berkekuatan 6,8 Skala Richter saja telah merusak sebagian fasilitas PLTN di Kashiwazaki.

Sedangkan energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan sumber daya energi yang secara alamiah tidak akan habis seperti aliran sungai, panas bumi, biofuel, panas surya, angin, biomassa, biogas, ombak laut, dan suhu kedalaman laut. Bagi negeri tropis seperti Indonesia, salah satu energi alternatif yang tak terbatas adalah sinar matahari.

Saat ini energi sinar matahari yang dipancarkan ke planet bumi 15.000 kali lebih besar dibandingkan penggunaan energi global dan 100 kali dibandingkan cadangan batu bara, gas, dan minyak bumi.

Sementara teknologi mutakhir telah mampu mengubah 10-20% pancaran sinar matahari tersebut menjadi energi. Secara teoritis, untuk mencukupi kebutuhan energi global, penempatan peralatan tersebut hanya memerlukan kurang dari 1% permukaan bumi.

Sebuah besaran yang jauh lebih kecil dibandingkan lahan yang dibutuhkan bendungan pembangkit tenaga listrik. Sayangnya, meski Indonesia memiliki energi matahari berlimpah ruah berikut seabrek kelebihannya, toh pemanfaatannya saat ini masih sangat minim.

Ironisnya, negara-negara di belahan utara yang relatif miskin matahari lebih banyak memanfaatkan sumber energi terperbaharui, ramah lingkungan, dan aman ini, dibandingkan kita di kawasan tropis.

Mulanya sumber energi ini dikembangkan penggunaannya bagi satelit ruang angkasa. Kini pemanfaatannya mulai menyebar ke kawasan industri, rumah pribadi, dan bahkan ke pelosok desa. Tak lama lagi ia diramal akan menjadi sumber energi pada pembangkit tenaga listrik kapasitas besar.

Ketika harga minyak pasar internasional mencapai USD60 per barel, minat industri pembangkit tenaga listrik pada sumber energi terperbaharui semakin membesar. Pertimbangan ekonomi menjadi alasan pertama. Kini persaingan ini telah terjadi di negara-negara industri, khususnya di sektor industri kecil dan menengah.

Menurut Report on World Development (UN, 1992), kebutuhan energi global dalam 30 tahun ke depan meningkat dua kali lipat per tahun. Empat puluh tahun mendatang kebutuhan tersebut menjadi tiga kali lipat atau sepadan dengan energi 20 miliar ton minyak bumi.

Perkembangan ini ditaksir bakal mahal karena eksploitasi dan eksplorasinya lebih sulit. Ada baiknya kita bayangkan bahwa penggunaan 20 miliar ton energi per tahun itu memerlukan biaya sebesar USD4,5 triliun.

Separuhnya adalah pengeluaran negara-negara berkembang. Indonesia yang setiap tahun disinari energi matahari berpotensi besar untuk keluar dari ketergantungan pada energi fosil seperti BBM.

Kelebihan energi matahari yang sering diungkapkan adalah pembakarannya tidak menghasilkan CO2, SO2, dan gas racun lainnya. Uraian singkat tentang dua pembangkit energi dari sinar matahari yaitu solar thermal dan photogalvanic berikut ini menggambarkan hal tersebut. Keduanya tidak membutuhkan areal yang luas bagi peralatannya.

Ide awal tentang pembangkit tenaga listrik solar thermal sudah sangat tua. Pembangkit listrik pertama dibangun di Mesir pada 1912, tetapi ditutup saat usai perang dunia I karena rendahnya harga minyak.

Sementara pengembangan pembangkit listrik Photogalvanic berkembang cepat sejak dua dasawarsa terakhir. Harga peralatannya merosot tajam berkat keberhasilan teknologi, padahal kebijakan energi nasional maupun internasional sama sekali tidak mendukung. Awal 70-an harga per modul masih sangat mahal yaitu USD300.000. Kini harganya sekitar USD5.

Masih relatif mahal memang. Tetapi, melihat pesatnya perkembangan pasar, harganya akan terus menukik turun. Salah satu pasar potensial adalah mobil bertenaga listrik yang diramal bakal menjadi mobil massal abad ini.

Kemauan Politik

Menilik berbagai kelebihan energi terperbaharui, pertanyaan yang kemudian timbul, apakah cara menunjang pengembangan dan perluasan penggunaan energi ini sehingga sinkron dengan kebijakan energi nasional dan global.

Pertama, harus ada diversifikasi penelitian dan pengembangan. Dana penelitian energi ramah lingkungan ini. Sayangnya, dari tahun ke tahun menyusut.

Di negara-negara industri, hanya sekitar 5% dana penelitian yang diperuntukan bagi sektor energi. Darinya, sebagian besar untuk jenis energi fosil. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, hal tersebut lebih memprihatinkan.

Kedua, dengan perkembangan teknologi saat ini, biaya produksi energi terbarukan ini bisa bersaing dengan harga energi fosil. Namun, tentu saja, untuk memproduksi energi matahari dengan “Solar Thermal Technic“ dan “PV Technic“ dalam kategori massal, diperlukan kemauan politik.

Ketika Indonesia masih menjadi produsen dan eksportir minyak dan di dalam negeri harga jualnya masih sepenuhnya disubsidi, mungkin terkesan tidak realistis untuk mendudukkan energi terperbaharui pada posisi penting. Namun, kini keadaan sudah sangat mendesak untuk berpikir dan bertindak mengantisipasinya. Semoga!
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6960 seconds (0.1#10.140)