Transisi Pencitraan
A
A
A
Tradisi baru dalam transisi kekuasaan yang baru saja dibangun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Presiden Terpilih Joko Widodo tidak berjalan mulus.
Pertemuan di Bali antara dua pemimpin beberapa waktu lalu sempat memberikan sinyal dan harapan positif akan tercipta tata cara dan etika pergantian kekuasaan dari pemerintahan lama ke pemerintahan baru yang diklaim tidak atau belum sempat dilakukan presiden-presiden sebelumnya.
Sepanjang sejarah politik Indonesia, transisi kekuasaan dari pemerintahan lama ke pemerintahan baru cenderung kurang mulus atau malah bisa disebut penuh ganjalan.
Pemimpin lama dan pemimpin baru lebih banyak didudukkan pada masalah tesis dan antitesis, diametral, dan berlawanan satu sama lain. Dalam benak publik presiden baru yang terpilih dianggap sebagai sosok yang akan mampu menjawab segala kekurangan dari presiden sebelumnya.
Jika presiden lama dituduh lebih otoriter, presiden baru ditempatkan sebagai sosok yang merakyat. Demikian juga sebaliknya, jika presiden lama karakternya dianggap lebih merakyat dan demokratis, publik akan cenderung memilih capres yang lebih elitis dan otoriter sebagai antitesis dari presiden lama.
Celakanya, antitesis di sini lebih banyak dimaknai sebagai semangat perubahan. Artinya, jika presiden baru tidak menunjukkan gaya dan karakter yang berbeda dari presiden sebelumnya, dia tidak dianggap properubahan. Sementara isu perubahan tetap menjadi jargon yang paling efektif untuk mendulang simpati rakyat saat pemilu presiden.
Karena itu, tak heran jika capres yang ingin mengalahkan presiden incumbent dalam pilpres harus menciptakan kredo dan kampanye yang isinya sarat dengan pesan-pesan perubahan. Meskipun sejujurnya si capres tidak begitu paham dan yakin betul tentang janji-janji perubahan yang dia ucapkan.
Dalam konteks membangun tradisi transisi kekuasaan yang dilakukan Presiden SBY dan Jokowi harus disambut baik. Namun, transisi itu harus benar-benar bersifat substantif, bukan hanya untuk keperluan kosmetik atau pencitraan. Pencitraan dalam kancah politik di Indonesia atau di negara-negara lain adalah hal yang sangat penting dalam proses pemilu legislatif maupun pemilihan presiden.
Tanpa pencitraan, orang tidak akan mengenal siapa caleg dan capresnya sehingga akan kesulitan untuk menentukan pilihan. Artinya pencitraan adalah sarana yang efektif untuk memengaruhi pilihan masyarakat dalam pemilu.
Sejumlah pakar komunikasi politik berpendapat, era 2004 adalah era pencitraan. Ini ditandai dengan tumbuh pesat lembaga-lembaga survei politik, konsultan pencitraan, dan sebagainya.
Terbukti, sosok yang berhasil mencitrakan diri positif di depan publik akan lebih banyak mendapatkan dukungan daripada sosok yang kurang cakap dalam mengemas pencitraan. Namun, pencitraan bisa menjadi bumerang jika dilakukan di luar takaran kewajaran alias dikonsumsi melebihi dosis.
Seperti narkotika, pencitraan bisa membuat orang ketagihan dan ketergantungan atau sakau. Akibat itu, sang pemimpin tidak akan mampu bekerja dengan baik jika tidak dilihat wartawan yang selama ini memanjakan dia dengan peliputan yang masif.
Dalam kaitan ini apa yang sudah dimulai Presiden SBY dan Presiden Terpilih Joko Widodo dalam membangun transisi kekuasaan yang baik masih sebatas pencitraan dan pemberitaan semata. Belum ada ihwal substantif yang mengikuti kemudian setelah pertemuan Bali.
Semisal tim yang sudah ditunjuk oleh dua presiden bertemu dan berdiskusi intens untuk menyelaraskan langkah terutama kesinambungan program-program jangka yang sudah dimulai oleh pemerintahan lama ke pemerintahan baru.
Alangkah banyaknya waktu dan energi yang terbuang cuma-cuma jika pemerintahan baru harus membolak-balik sendiri semua kebijakan yang sudah diputuskan pemerintahan sebelumnya.
Apalagi anggapan “ganti presiden ganti program dan kebijakan” masih sangat kuat di benak masyarakat. Bagaimana kelanjutan nasib subsidi BBM, kontrak karya migas yang belum diputuskan, kurikulum baru, MP3EI, dan sebagainya masih tanda tanya besar.
Mestinya substansi itulah yang harus disiapkan dalam tradisi transisi kekuasaan. Bukan transisi yang hanya demi pencitraan.
Pertemuan di Bali antara dua pemimpin beberapa waktu lalu sempat memberikan sinyal dan harapan positif akan tercipta tata cara dan etika pergantian kekuasaan dari pemerintahan lama ke pemerintahan baru yang diklaim tidak atau belum sempat dilakukan presiden-presiden sebelumnya.
Sepanjang sejarah politik Indonesia, transisi kekuasaan dari pemerintahan lama ke pemerintahan baru cenderung kurang mulus atau malah bisa disebut penuh ganjalan.
Pemimpin lama dan pemimpin baru lebih banyak didudukkan pada masalah tesis dan antitesis, diametral, dan berlawanan satu sama lain. Dalam benak publik presiden baru yang terpilih dianggap sebagai sosok yang akan mampu menjawab segala kekurangan dari presiden sebelumnya.
Jika presiden lama dituduh lebih otoriter, presiden baru ditempatkan sebagai sosok yang merakyat. Demikian juga sebaliknya, jika presiden lama karakternya dianggap lebih merakyat dan demokratis, publik akan cenderung memilih capres yang lebih elitis dan otoriter sebagai antitesis dari presiden lama.
Celakanya, antitesis di sini lebih banyak dimaknai sebagai semangat perubahan. Artinya, jika presiden baru tidak menunjukkan gaya dan karakter yang berbeda dari presiden sebelumnya, dia tidak dianggap properubahan. Sementara isu perubahan tetap menjadi jargon yang paling efektif untuk mendulang simpati rakyat saat pemilu presiden.
Karena itu, tak heran jika capres yang ingin mengalahkan presiden incumbent dalam pilpres harus menciptakan kredo dan kampanye yang isinya sarat dengan pesan-pesan perubahan. Meskipun sejujurnya si capres tidak begitu paham dan yakin betul tentang janji-janji perubahan yang dia ucapkan.
Dalam konteks membangun tradisi transisi kekuasaan yang dilakukan Presiden SBY dan Jokowi harus disambut baik. Namun, transisi itu harus benar-benar bersifat substantif, bukan hanya untuk keperluan kosmetik atau pencitraan. Pencitraan dalam kancah politik di Indonesia atau di negara-negara lain adalah hal yang sangat penting dalam proses pemilu legislatif maupun pemilihan presiden.
Tanpa pencitraan, orang tidak akan mengenal siapa caleg dan capresnya sehingga akan kesulitan untuk menentukan pilihan. Artinya pencitraan adalah sarana yang efektif untuk memengaruhi pilihan masyarakat dalam pemilu.
Sejumlah pakar komunikasi politik berpendapat, era 2004 adalah era pencitraan. Ini ditandai dengan tumbuh pesat lembaga-lembaga survei politik, konsultan pencitraan, dan sebagainya.
Terbukti, sosok yang berhasil mencitrakan diri positif di depan publik akan lebih banyak mendapatkan dukungan daripada sosok yang kurang cakap dalam mengemas pencitraan. Namun, pencitraan bisa menjadi bumerang jika dilakukan di luar takaran kewajaran alias dikonsumsi melebihi dosis.
Seperti narkotika, pencitraan bisa membuat orang ketagihan dan ketergantungan atau sakau. Akibat itu, sang pemimpin tidak akan mampu bekerja dengan baik jika tidak dilihat wartawan yang selama ini memanjakan dia dengan peliputan yang masif.
Dalam kaitan ini apa yang sudah dimulai Presiden SBY dan Presiden Terpilih Joko Widodo dalam membangun transisi kekuasaan yang baik masih sebatas pencitraan dan pemberitaan semata. Belum ada ihwal substantif yang mengikuti kemudian setelah pertemuan Bali.
Semisal tim yang sudah ditunjuk oleh dua presiden bertemu dan berdiskusi intens untuk menyelaraskan langkah terutama kesinambungan program-program jangka yang sudah dimulai oleh pemerintahan lama ke pemerintahan baru.
Alangkah banyaknya waktu dan energi yang terbuang cuma-cuma jika pemerintahan baru harus membolak-balik sendiri semua kebijakan yang sudah diputuskan pemerintahan sebelumnya.
Apalagi anggapan “ganti presiden ganti program dan kebijakan” masih sangat kuat di benak masyarakat. Bagaimana kelanjutan nasib subsidi BBM, kontrak karya migas yang belum diputuskan, kurikulum baru, MP3EI, dan sebagainya masih tanda tanya besar.
Mestinya substansi itulah yang harus disiapkan dalam tradisi transisi kekuasaan. Bukan transisi yang hanya demi pencitraan.
(hyk)