Wacana Jual Pesawat Kepresidenan Hanya Bikin Riuh
A
A
A
JAKARTA - Wacana agar Presiden terpilih Joko Widodo menjual pesawat kepresidenan dinilai hanya menimbulkan keriuhan politik.
Kemunculan wacana itu dinilai sebagai reaksi ketidaksenangan atas sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menolak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di penghujung masa jabatannya.
"Saya rasa itu hanya reaksi yang ditujukan kepada kelompok SBY," kata pengamat politik Universitas Padjadjaran Idil Akbar kepada Sindonews, Rabu 3 September 2014.
Dia menilai menjual pesawat kepresidenan bukan sesuatu yang subtansi jika alasannya untuk melakukan efisiensi anggaran. Apalagi, kata dia, Jusuf Kalla (JK) pernah menyatakan keberadaan pesawat kepresidenan justru membuat anggaran lebih efisien.
"Apakah betul bisa mengefisiensi anggaran? Atau jangan-jangan justru menjadi inefisiensi," tandas Idil.
Dia menilai wacana itu hanya bersifat reaktif sekaligus untuk memancing reaksi SBY serta kelompok Koalisi Merah Putih yang menolak kenaikan harga BBM. "Tidak substansi dan hanya menimbulkan keriuhan politik," katanya.
Wacana menjual pesawat kepresidenan dilontarkan Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Maruarar Sirait, beberapa waktu lalu.
Maruarar mengusulkan agar Presiden terpilih, Jokowi menjual fasilitas tersebut sebagai langkah efisiensi anggaran, sebelum opsi menaikkan harga BBM.
Dia menilai efisiensi harus dicontohkan oleh seorang pemimpin kepara para pejabat di bawahnya. Indonesia telah memiliki pesawat kepresidenan jenis Boeing 737-800 Business Jet 2. Pesawat itu dibeli dengan harga USD91,2 juta atau sekira Rp910 miliar.
Pesawat yang didominasi warna biru dengan garis merah dan putih itu sudah beberapa kali digunakan SBY ke berbagai daerah dan negara. Jokowi pun enggan menyikapi wacana menjual pesawat kepresidenan.
"Nyoba saja belum. Kok nanyain itu," ujar Jokowi di Balai Kota DKI Jakarta pada Selasa 2 September 2014.
Kemunculan wacana itu dinilai sebagai reaksi ketidaksenangan atas sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menolak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di penghujung masa jabatannya.
"Saya rasa itu hanya reaksi yang ditujukan kepada kelompok SBY," kata pengamat politik Universitas Padjadjaran Idil Akbar kepada Sindonews, Rabu 3 September 2014.
Dia menilai menjual pesawat kepresidenan bukan sesuatu yang subtansi jika alasannya untuk melakukan efisiensi anggaran. Apalagi, kata dia, Jusuf Kalla (JK) pernah menyatakan keberadaan pesawat kepresidenan justru membuat anggaran lebih efisien.
"Apakah betul bisa mengefisiensi anggaran? Atau jangan-jangan justru menjadi inefisiensi," tandas Idil.
Dia menilai wacana itu hanya bersifat reaktif sekaligus untuk memancing reaksi SBY serta kelompok Koalisi Merah Putih yang menolak kenaikan harga BBM. "Tidak substansi dan hanya menimbulkan keriuhan politik," katanya.
Wacana menjual pesawat kepresidenan dilontarkan Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Maruarar Sirait, beberapa waktu lalu.
Maruarar mengusulkan agar Presiden terpilih, Jokowi menjual fasilitas tersebut sebagai langkah efisiensi anggaran, sebelum opsi menaikkan harga BBM.
Dia menilai efisiensi harus dicontohkan oleh seorang pemimpin kepara para pejabat di bawahnya. Indonesia telah memiliki pesawat kepresidenan jenis Boeing 737-800 Business Jet 2. Pesawat itu dibeli dengan harga USD91,2 juta atau sekira Rp910 miliar.
Pesawat yang didominasi warna biru dengan garis merah dan putih itu sudah beberapa kali digunakan SBY ke berbagai daerah dan negara. Jokowi pun enggan menyikapi wacana menjual pesawat kepresidenan.
"Nyoba saja belum. Kok nanyain itu," ujar Jokowi di Balai Kota DKI Jakarta pada Selasa 2 September 2014.
(dam)