Buah Simalakama
A
A
A
Bagai makan buah simalakama. Peribahasa tersebut tepat untuk menggambarkan kondisi yang dialami presiden terpilih, Joko Widodo atau Jokowi, dalam menghadapi ancaman membengkaknya kuota subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Berbagai pilihan yang diambil semua serba salah: Mau ke kiri salah, ke kanan salah, maju salah, mundur pun salah. Lantas? Inilah tantangan yang harus dihadapi Jokowi! Persoalan subsidi BBM memang sebenar-benarnya bola panas yang bukan hanya akan dihadapi rezim Jokowi-Jusuf Kalla (JK), tapi juga rezim sebelumnya.
Setiap keputusan yang diambil, terutama solusi kenaikan harga, selalu terbelit berbagai pertimbangan beserta risikonya, terutama populisme politik. Tapi pada sisi lain, beban subsidi yang harus ditanggung mencekik anggaran.
Kondisi inilah yang kini membayangi pemerintahan Jokowi-JK mendatang. Mereka harus bersiap menutupi jebolnya subsidi BBM setelah program pengendalian yang diambil pemerintah gagal dan menimbulkan gejolak di masyarakat.
Berdasarkan penghitungan Pertamina, tanpa pengendalian, konsumsi BBM subsidi per 31 Desember akan berlebih 1,261 juta kl dari besaran yang ditetapkan APBNP 2014 sebesar 46 juta kiloliter (kl) atau senilai Rp246,49 triliun. Pembengkakan kuota BBM bersubsidi tentu saja menjadi tanggungan pemerintah, dalam hal ini pemerintahan ke depan.
Risiko yang akan terjadi, penyempitan ruang anggaran bagi Jokowi-JK untuk bermanuver guna mewujudkan program-program mereka. JK bahkan secara tidak langsung menyebut beban subsidi mengancam “keselamatan negara”. Karena itulah, mereka, termasuk PDIP, mendesak pemerintah menaikkan harga BBM.
Desakan ini bahkan disampaikan Jokowi saat bertemu SBY di Bali, Rabu (27/08) malam. Bagi Jokowi-JK dan PDIP, akan sangat menguntungkan jika Presiden SBY bersedia menuruti keinginan mereka karena bukan hanya terbebas dari beban anggaran, melainkan juga tidak menanggung residu dari kebijakan tidak populis tersebut.
Namun, Presiden SBY menolak permintaan itu karena tidak ingin menambah beban masyarakat. Sekarang bola panas subsidi BBM sepenuhnya di kaki Jokowi- JK. Menaikkan harga BBM memang solusi paling mudah, tapi bukan perkara mudah.
Menaikkan harga BBM dipastikan mempertaruhkan kredibilitas partai pendukung Jokowi-JK, PDIP, yang sebelumnya menjegal langkah Presiden SBY menaikkan harga BBM. Atas nama wong cilik, FPDIP yang dikomandani Puan Maharani ke sana ke mari melobi fraksi lain untuk menggagalkan rencana kenaikan harga BBM dan bahkan turun jalan.
Menaikkan harga BBM juga dipastikan menjadi pertaruhan Jokowi-JK. Muaranya bukan sekadar merosotnya popularitas seperti temuan survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), melainkan juga sejauh mana mereka mampu membuat breakthrough dan inovasi untuk menyelesaikan setumpuk persoalan bangsa.
Ini harus menjadi perhatian karena rakyat menggantungkan ekspektasi begitu tinggi pada mereka untuk membuat perbedaan dan perbaikan terhadap rezim sebelumnya.
Dengan kemampuan dan track record Jokowi-JK sebelumnya, semestinya menaikkan harga BBM bukanlah solusi utama. Sebaliknya, mereka harus tertantang mencari solusi alternatif yang lebih mendasar. PDIP yang pernah mengeluarkan buku saku, bahkan menyusun postur APBN-P sendiri, saat melawan kenaikan BBM, tentu juga sudah mempunyai solusi lebih baik.
Kecuali jika perlawanan berdasar argumentasi asal bunyi dan berorientasi populisme politis. Namun, sekali lagi, keputusan sepenuhnya di tangan Jokowi-JK: apakah memilih jalan termudah dengan menaikkan harga BBM, namun dengan risiko popularitas, kredibilitas, plus dampak makroekonomi seperti kenaikan harga barang, inflasi, kenaikan angka kemiskinan dan lainnya.
Atau, mengambil solusi alternatif yang membutuhkan pemikiran dan kesabaran karena tidak akan serta-merta mengurangi beban anggaran. Mungkin harus berhadapan dengan mereka yang selama ini menikmati keuntungan dari subsidi BBM.
Berbagai pilihan yang diambil semua serba salah: Mau ke kiri salah, ke kanan salah, maju salah, mundur pun salah. Lantas? Inilah tantangan yang harus dihadapi Jokowi! Persoalan subsidi BBM memang sebenar-benarnya bola panas yang bukan hanya akan dihadapi rezim Jokowi-Jusuf Kalla (JK), tapi juga rezim sebelumnya.
Setiap keputusan yang diambil, terutama solusi kenaikan harga, selalu terbelit berbagai pertimbangan beserta risikonya, terutama populisme politik. Tapi pada sisi lain, beban subsidi yang harus ditanggung mencekik anggaran.
Kondisi inilah yang kini membayangi pemerintahan Jokowi-JK mendatang. Mereka harus bersiap menutupi jebolnya subsidi BBM setelah program pengendalian yang diambil pemerintah gagal dan menimbulkan gejolak di masyarakat.
Berdasarkan penghitungan Pertamina, tanpa pengendalian, konsumsi BBM subsidi per 31 Desember akan berlebih 1,261 juta kl dari besaran yang ditetapkan APBNP 2014 sebesar 46 juta kiloliter (kl) atau senilai Rp246,49 triliun. Pembengkakan kuota BBM bersubsidi tentu saja menjadi tanggungan pemerintah, dalam hal ini pemerintahan ke depan.
Risiko yang akan terjadi, penyempitan ruang anggaran bagi Jokowi-JK untuk bermanuver guna mewujudkan program-program mereka. JK bahkan secara tidak langsung menyebut beban subsidi mengancam “keselamatan negara”. Karena itulah, mereka, termasuk PDIP, mendesak pemerintah menaikkan harga BBM.
Desakan ini bahkan disampaikan Jokowi saat bertemu SBY di Bali, Rabu (27/08) malam. Bagi Jokowi-JK dan PDIP, akan sangat menguntungkan jika Presiden SBY bersedia menuruti keinginan mereka karena bukan hanya terbebas dari beban anggaran, melainkan juga tidak menanggung residu dari kebijakan tidak populis tersebut.
Namun, Presiden SBY menolak permintaan itu karena tidak ingin menambah beban masyarakat. Sekarang bola panas subsidi BBM sepenuhnya di kaki Jokowi- JK. Menaikkan harga BBM memang solusi paling mudah, tapi bukan perkara mudah.
Menaikkan harga BBM dipastikan mempertaruhkan kredibilitas partai pendukung Jokowi-JK, PDIP, yang sebelumnya menjegal langkah Presiden SBY menaikkan harga BBM. Atas nama wong cilik, FPDIP yang dikomandani Puan Maharani ke sana ke mari melobi fraksi lain untuk menggagalkan rencana kenaikan harga BBM dan bahkan turun jalan.
Menaikkan harga BBM juga dipastikan menjadi pertaruhan Jokowi-JK. Muaranya bukan sekadar merosotnya popularitas seperti temuan survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), melainkan juga sejauh mana mereka mampu membuat breakthrough dan inovasi untuk menyelesaikan setumpuk persoalan bangsa.
Ini harus menjadi perhatian karena rakyat menggantungkan ekspektasi begitu tinggi pada mereka untuk membuat perbedaan dan perbaikan terhadap rezim sebelumnya.
Dengan kemampuan dan track record Jokowi-JK sebelumnya, semestinya menaikkan harga BBM bukanlah solusi utama. Sebaliknya, mereka harus tertantang mencari solusi alternatif yang lebih mendasar. PDIP yang pernah mengeluarkan buku saku, bahkan menyusun postur APBN-P sendiri, saat melawan kenaikan BBM, tentu juga sudah mempunyai solusi lebih baik.
Kecuali jika perlawanan berdasar argumentasi asal bunyi dan berorientasi populisme politis. Namun, sekali lagi, keputusan sepenuhnya di tangan Jokowi-JK: apakah memilih jalan termudah dengan menaikkan harga BBM, namun dengan risiko popularitas, kredibilitas, plus dampak makroekonomi seperti kenaikan harga barang, inflasi, kenaikan angka kemiskinan dan lainnya.
Atau, mengambil solusi alternatif yang membutuhkan pemikiran dan kesabaran karena tidak akan serta-merta mengurangi beban anggaran. Mungkin harus berhadapan dengan mereka yang selama ini menikmati keuntungan dari subsidi BBM.
(hyk)