Mengapa Hendropriyono?
A
A
A
USAI sudah pesta demokrasi lima tahunan pemilihan presiden (pilpres). Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pemenang pilpres tahun 2014 dengan perolehan 70.997.833 suara (53,15%).
Sementara pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa memperoleh 62.576.444 suara (46,85%). Kemenangan pasangan nomor urut satu itu kian kukuh pascapenolakan Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan perselisihan hasil pemilihan umum yang diajukan oleh pasangan Prabowo-Hatta pada Kamis (21/8) lalu.
Berbagai pekerjaan rumah terkait kehidupan bangsa dan negara –baik di bidang ekonomi, politik, maupun hukum– telah menanti untuk segera dituntaskan setelah pasangan nomor urut dua tersebut secara resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober mendatang.
Seiring dengan hal itu, presiden terpilih Joko Widodo telah membentuk tim transisi dengan komposisi keanggotaan Rini Mariani Soemarno, Anies Baswedan, Andi Widjajanto, Hasto Kristianto, dan Akbar Faizal.
Beberapa tugas utama tim transisi adalah mempersiapkan hal-hal strategis terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2015, mempersiapkan arsitektur kabinet, dan mempersiapkan kelancaran rencana program Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Pembentukan tim transisi menuai apresiasi karena dinilai sebagai ikhtiar politik Joko Widodo selaku presiden terpilih, untuk menghemat waktu agar pemerintahan mendatang dapat langsung bekerja setelah pelantikan.
Meskipun demikian, tidak sedikit pula kritik tajam publik ditujukan kepada Joko Widodo terkait pembentukan tim transisi, terutama soal keberadaan tokoh kontroversial AM Hendropriyono di jajaran penasihat. Tidak kurang istri almarhum Munir, Suciwati, mengkritik keras keputusan Joko Widodo tersebut.
Mantan wali kota Solo itu berdalih memilih AM Hendropriyono sebagai penasihat semata-mata untuk kepentingan urusan intelijen bagi kantor transisi.
Sudah menjadi rahasia umum bila nama AM Hendropriyono termasuk tokoh penuh kontroversi dan memiliki resistensi tinggi di mata publik, terutama para aktivis dan pegiat hak asasi manusia (HAM). Guru besar bidang ilmu intelijen ini diduga terkait peristiwa pelanggaran HAM di Talangsari tahun 1989 saat menjabat danrem 043 Garuda Hitam Lampung.
Selain itu, dia juga diduga terlibat dalam usaha pembunuhan mantan aktivis Munir saat menjabat sebagai kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tahun 2004. Karena itu, wajar bila keberadaan nama AM Hendropriyono sebagai penasihat tim transisi mengundang keprihatinan publik.
Bukan tidak mungkin jabatan sebagai penasihat tim transisi merupakan awal pembuka jalan untuk menduduki posisi strategis di kabinet Joko Widodo mendatang, seperti menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan (menko polhukam).
Apalagi, AM Hendropriyono memiliki kedekatan dengan Megawati Soekarnoputri yang notabene ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sekaligus mentor politik Joko Widodo. Harus diakui, dalam konteks Indonesia, penegakan HAM masih menjadi sebuah pekerjaan rumah besar yang belum dituntaskan.
Di tengah hiruk-pikuk politik pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014, pekerjaan rumah itu pun terasa kian berat untuk dituntaskan karena sejumlah tokoh terduga pelanggar HAM masih belum menjauh dari pusat-pusat kekuasaan negara. Atau justru kian mendekat dengan lingkaran terdalam kekuasaan?
Sulit dipungkiri kemunculan kembali para elite dengan rekam jejak kelam di masa lalu di langgam politik nasional saat ini merupakan gambaran konkret tentang tidak adanya perasaan bersalah dan penyesalan diri atas berbagai dosa politik di masa lalu, termasuk masalah pelanggaran HAM.
Keterlibatan mereka dalam kontestasi politik saat ini dapat dilihat sebagai bentuk ketidakrelaan tinggal di pinggiran sejarah. Ada sebuah kepercayaan besar dalam diri mereka dengan berkiprah di dunia politik peluang untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan akan kembali terbuka.
Boleh jadi pula mereka meyakini jabatan di pemerintahan kelak akan dapat melindungi mereka dari berbagai tuntutan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Terkait hal itu ada baiknya apabila kita melihat pengalaman Sudan. Lima tahun lalu International Criminal Court mengesahkan perintah penangkapan internasional (arrest warrant) terhadap Presiden Sudan Omar Hassan Ahmad al-Bashir sebagai pelaku tidak langsung dari kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Darfur.
Statuta International Criminal Court tidak mengakui adanya kekebalan hukum sekalipun pihak bersangkutan tengah menjabat sebagai kepala negara. Ditegaskan dengan jelas, seorang pejabat negara tetap dapat dituntut secara pidana oleh pengadilan internasional.
Pengalaman Sudan memberikan pelajaran kepada kita semua bahwa merupakan kesalahan besar jika mengira sebuah jabatan politik pemerintahan dapat melindungi seseorang dari tuntutan hukum pelanggaran HAM.
Sebagai bangsa, kita kelak tentu tidak ingin mendapatkan aib karena seorang pejabat tinggi negara diseret ke pengadilan internasional atas tuduhan pelanggaran HAM.
Mungkin benar perkataan seorang tokoh bernama Mirek dalam novel The Book of Laugher and Forgetting karya Milan Kundera bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan merupakan perjuangan melawan lupa.
Ketika deretan kejahatan kemanusiaan dan kekerasan oleh negara terhapus dari memori kolektif publik, tidak aneh bila tokoh-tokoh dengan catatan kelam di masa lalu dapat berganti peran menjadi seorang pahlawan.
Harus diingat bila keterbukaan dan kebebasan politik kita nikmati di era reformasi seperti saat ini bukanlah cek kosong. Segala keterbukaan dan kebebasan politik itu dapat hadir karena ditebus dengan tetesan peluh dan darah dari para pejuang gerakan-gerakan reformasi.
Kehadiran era reformasi merupakan kesempatan emas bagi negara untuk membayar lunas utang kepada mereka yang pernah menjadi korban rezim masa lalu.
Semoga Joko Widodo belum lupa dan masih mengingat hal ini dengan baik sebagaimana janji-janji saat kampanye pilpres lalu. Menempatkan tokoh-tokoh dengan rekam jejak kelam di lingkaran kekuasaan cuma akan mempersingkat masa “bulan madu” Joko Widodo dengan publik.
BAWONO KUMORO
Peneliti Politik The Habibie Center
Sementara pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa memperoleh 62.576.444 suara (46,85%). Kemenangan pasangan nomor urut satu itu kian kukuh pascapenolakan Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan perselisihan hasil pemilihan umum yang diajukan oleh pasangan Prabowo-Hatta pada Kamis (21/8) lalu.
Berbagai pekerjaan rumah terkait kehidupan bangsa dan negara –baik di bidang ekonomi, politik, maupun hukum– telah menanti untuk segera dituntaskan setelah pasangan nomor urut dua tersebut secara resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober mendatang.
Seiring dengan hal itu, presiden terpilih Joko Widodo telah membentuk tim transisi dengan komposisi keanggotaan Rini Mariani Soemarno, Anies Baswedan, Andi Widjajanto, Hasto Kristianto, dan Akbar Faizal.
Beberapa tugas utama tim transisi adalah mempersiapkan hal-hal strategis terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2015, mempersiapkan arsitektur kabinet, dan mempersiapkan kelancaran rencana program Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Pembentukan tim transisi menuai apresiasi karena dinilai sebagai ikhtiar politik Joko Widodo selaku presiden terpilih, untuk menghemat waktu agar pemerintahan mendatang dapat langsung bekerja setelah pelantikan.
Meskipun demikian, tidak sedikit pula kritik tajam publik ditujukan kepada Joko Widodo terkait pembentukan tim transisi, terutama soal keberadaan tokoh kontroversial AM Hendropriyono di jajaran penasihat. Tidak kurang istri almarhum Munir, Suciwati, mengkritik keras keputusan Joko Widodo tersebut.
Mantan wali kota Solo itu berdalih memilih AM Hendropriyono sebagai penasihat semata-mata untuk kepentingan urusan intelijen bagi kantor transisi.
Sudah menjadi rahasia umum bila nama AM Hendropriyono termasuk tokoh penuh kontroversi dan memiliki resistensi tinggi di mata publik, terutama para aktivis dan pegiat hak asasi manusia (HAM). Guru besar bidang ilmu intelijen ini diduga terkait peristiwa pelanggaran HAM di Talangsari tahun 1989 saat menjabat danrem 043 Garuda Hitam Lampung.
Selain itu, dia juga diduga terlibat dalam usaha pembunuhan mantan aktivis Munir saat menjabat sebagai kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tahun 2004. Karena itu, wajar bila keberadaan nama AM Hendropriyono sebagai penasihat tim transisi mengundang keprihatinan publik.
Bukan tidak mungkin jabatan sebagai penasihat tim transisi merupakan awal pembuka jalan untuk menduduki posisi strategis di kabinet Joko Widodo mendatang, seperti menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan (menko polhukam).
Apalagi, AM Hendropriyono memiliki kedekatan dengan Megawati Soekarnoputri yang notabene ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sekaligus mentor politik Joko Widodo. Harus diakui, dalam konteks Indonesia, penegakan HAM masih menjadi sebuah pekerjaan rumah besar yang belum dituntaskan.
Di tengah hiruk-pikuk politik pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014, pekerjaan rumah itu pun terasa kian berat untuk dituntaskan karena sejumlah tokoh terduga pelanggar HAM masih belum menjauh dari pusat-pusat kekuasaan negara. Atau justru kian mendekat dengan lingkaran terdalam kekuasaan?
Sulit dipungkiri kemunculan kembali para elite dengan rekam jejak kelam di masa lalu di langgam politik nasional saat ini merupakan gambaran konkret tentang tidak adanya perasaan bersalah dan penyesalan diri atas berbagai dosa politik di masa lalu, termasuk masalah pelanggaran HAM.
Keterlibatan mereka dalam kontestasi politik saat ini dapat dilihat sebagai bentuk ketidakrelaan tinggal di pinggiran sejarah. Ada sebuah kepercayaan besar dalam diri mereka dengan berkiprah di dunia politik peluang untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan akan kembali terbuka.
Boleh jadi pula mereka meyakini jabatan di pemerintahan kelak akan dapat melindungi mereka dari berbagai tuntutan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Terkait hal itu ada baiknya apabila kita melihat pengalaman Sudan. Lima tahun lalu International Criminal Court mengesahkan perintah penangkapan internasional (arrest warrant) terhadap Presiden Sudan Omar Hassan Ahmad al-Bashir sebagai pelaku tidak langsung dari kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Darfur.
Statuta International Criminal Court tidak mengakui adanya kekebalan hukum sekalipun pihak bersangkutan tengah menjabat sebagai kepala negara. Ditegaskan dengan jelas, seorang pejabat negara tetap dapat dituntut secara pidana oleh pengadilan internasional.
Pengalaman Sudan memberikan pelajaran kepada kita semua bahwa merupakan kesalahan besar jika mengira sebuah jabatan politik pemerintahan dapat melindungi seseorang dari tuntutan hukum pelanggaran HAM.
Sebagai bangsa, kita kelak tentu tidak ingin mendapatkan aib karena seorang pejabat tinggi negara diseret ke pengadilan internasional atas tuduhan pelanggaran HAM.
Mungkin benar perkataan seorang tokoh bernama Mirek dalam novel The Book of Laugher and Forgetting karya Milan Kundera bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan merupakan perjuangan melawan lupa.
Ketika deretan kejahatan kemanusiaan dan kekerasan oleh negara terhapus dari memori kolektif publik, tidak aneh bila tokoh-tokoh dengan catatan kelam di masa lalu dapat berganti peran menjadi seorang pahlawan.
Harus diingat bila keterbukaan dan kebebasan politik kita nikmati di era reformasi seperti saat ini bukanlah cek kosong. Segala keterbukaan dan kebebasan politik itu dapat hadir karena ditebus dengan tetesan peluh dan darah dari para pejuang gerakan-gerakan reformasi.
Kehadiran era reformasi merupakan kesempatan emas bagi negara untuk membayar lunas utang kepada mereka yang pernah menjadi korban rezim masa lalu.
Semoga Joko Widodo belum lupa dan masih mengingat hal ini dengan baik sebagaimana janji-janji saat kampanye pilpres lalu. Menempatkan tokoh-tokoh dengan rekam jejak kelam di lingkaran kekuasaan cuma akan mempersingkat masa “bulan madu” Joko Widodo dengan publik.
BAWONO KUMORO
Peneliti Politik The Habibie Center
(hyk)