Pepesan Kosong Koalisi Tanpa Syarat
A
A
A
HASIL keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), 21 Agustus 2014 telah mengukuhkan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebagai presiden terpilih dan tinggal menunggu pelantikan pada 20 Oktober 2014 mendatang.
Keputusan MK yang menolak seluruh gugatan pasangan capres Prabowo-Hatta menyebabkan dinamika politik koalisi yang kian menarik.
Masalahnya, apakah model koalisi yang digagas oleh Jokowi sebagai koalisi yang tanpa syarat dapat diwujudkan. Beberapa kali Jokowi mengingatkan agar partai pendukungnya berkoalisi tanpa syarat dan menteri yang terpilih melepaskan jabatan partai politik (parpol).
Artinya, tidak ada syarat apa pun termasuk soal jabatan menteri ketika kemudian dalam pilpres menang, (KORANSINDO, 12/8). Gagasan Jokowi sebagai presiden terpilih di atas bukan tanpa tantangan.
Secara ideal bisa saja dilakukan, tetapi politik adalah politik, penuh dinamika, onak, dan duri. Dengan dukungan yang kecil dari partai pengusung di parlemen, amat mustahil konsep koalisi tanpa syarat dapat diterapkan.
PDIP sebagai partai utama pendukung Jokowi hanya memperoleh 109 kursi (19,46%). Jika ditambah dengan kursi Nasdem 6,25%, PKB 8,39%, dan kursi Hanura 2,85% dari 560 kursi DPR, tampak jelas modal dan dukungan presiden terpilih sangat minim. Total jumlah kursi pendukung Jokowi hanya 207 kursi atau 36,96%.
Selain dukungan yang minim, publik pun tahu presiden tidak bekerja sendiri dalam memutuskan kebijakan. Memang benar Jokowi-JK sebagai pemenang pemilu yang langsung dipilih oleh rakyat.
Akan tetapi, Indonesia menganut sistem presidensial yang meniscayakan adanya hubungan kerja sama antara presiden dan DPR dalam membuat kebijakan. Argumentasi presiden memiliki legitimasi karena dipilih langsung oleh rakyat, sama halnya dengan mengasumsikan presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dapat bekerja sendiri.
Dalam sistem presidensial, ada perbedaan mendasar antara relasi DPR-presiden dan presiden-DPR dalam membangun mekanisme checks and balances. Format hubungan DPR-presiden berbeda dengan hubungan presiden-DPR untuk sebuah proses kebijakan atau lahirnya sebuah undang-undang.
DPR posisinya lebih tinggi, karena sebuah undangundang tanpa persetujuan presiden secara otomatis akan berlaku setelah 30 hari. Sebaliknya, kebijakan presiden tanpa dukungan DPR dengan mudah akan dihentikan di tengah jalan.
Dengan kondisi seperti itu, pernyataan Jokowi, presiden terpilih yang menyatakan bahwa koalisi yang akan dibentuk adalah koalisi tanpa syarat, ibarat menegakkan benang basah. Artinya, secara politik koalisi tanpa syarat dan struktur kabinet tanpa menteri dari partai hampir mustahil dilakukan.
Ibaratnya, tak ada dukungan yang gratis, dan tak ada dukungan politik yang tidak menginginkan jabatan kekuasaan di pemerintahan.
Membayangkan kabinet Jokowi-JK tanpa orang-orang partai ibarat membangun pemerintahan yang selalu berada dalam ancaman. Pengalaman di era Gus Dur, Mega, dan SBY dapat menjadi contoh, dengan kabinet yang didukung oleh partai politik yang jumlahnya cukup signifikan saja, seperti Presiden Gus Dur yang diusung poros tengah saja dimakzulkan.
Begitu pula dengan beberapa kasus kebijakan SBY yang ditentang keras oleh DPR, padahal SBY membangun pemerintahannya dengan koalisi yang besar, hampir 70% partai koalisinya menguasai kursi parlemen.
Dalam konteks seperti itu, PDIP sebagai partai pengusungnya lebih realistis. PDIP menyadari dengan kekuasaan koalisi 36% di parlemen, masih perlu mencari kawan baru untuk bergabung. Pilihannya hanya satu, menarik partai yang sudah berkoalisi dengan Prabowo-Hatta atau Partai Demokrat yang ingin menjadi partai penyeimbang.
Dengan modal partai pendukung yang kecil pula, Jokowi mengalami dilema dalam melakukan negosiasi dengan partaipartai yang akan diajak berkoalisi. Sebut sebagai contoh, penolakan PKB atas gagasan Jokowi agar menteri tidak merangkap jabatan partai dan PKB menagih janji jatah menteri, termasuk menteri agama, adalah sinyal awal bahwa koalisi tanpa syarat bukan tanpa masalah.
Sama halnya dengan itu, keinginan untuk menarik kawan baru apakah PPP, Partai Demokrat, atau Golkar, menurut hemat penulis bergantung pada tawaran yang akan diberikan. Istilahnya tak ada jatah menteri, tak ada dukungan, tidak mungkin ada politik yang gratis, partai dibentuk untuk berkuasa, pasti mereka memiliki kepentingan untuk memperoleh jabatan.
Dengan kekuatan yang hanya 36,96% pula, rasanya hampir mustahil menegakkan kepala dengan mengatakan bahwa koalisi tidak boleh macam-macam, partai yang mendukung tidak boleh meminta balas budi, dan semua kuasa hanya ada pada presiden terpilih.
Situasi itulah yang kini sedang dihadapi oleh PDIP dan Jokowi. Itulah realitas politik yang sedang bergolak di dalam. Pencitraan bahwa calon-calon menteri sedang digodok dengan mekanisme keikutsertaan publik dalam mengusulkan nama-nama adalah sebuah proses yang bisa menjadi antiklimaks.
Proses penyusunan struktur kabinet yang dikemukakan ke publik sebagai kabinet yang profesional, ramping, dan minim orang partai, dapat saja mengangkat nama presiden terpilih. Tetapi sebaliknya apabila bertentangan dengan susunan nama-nama kabinetnya, justru akan memunculkan kekecewaan politik dan awal ketidakpercayaan terhadap presiden terpilih.
Komunikasi yang mulai gencar dilakukan oleh PDIP dan sejumlah pihak pendukung presiden terpilih memperlihatkan pula bahwa mereka merasa “tidak aman”. Kekuatan oposisi yang berasal dari barisan Merah Putih Prabowo yang terdiri atas PAN, PPP, Golkar, PKS, dan Gerinda, jika benar akan permanen dan tak ada yang membelot adalah sebuah buldoser oposisi dengan penguasaan 52,14%.
Sebuah kekuatan oposisi yang bukan saja akan mengancam, melainkan justru dapat menimbulkan “huru-hara” politik di parlemen. Oleh karena itu, wacana koalisi tanpa syarat, tidak ada bagi-bagi jabatan dapat disebut sebuah pepesan kosong, sesuatu yang mustahil terjadi.
Apa maknanya? Kontestasi koalisi pascakeputusan MK adalah sebuah proses koalisi yang sedang dibangun oleh presiden terpilih untuk mengamankan dukungan politiknya di parlemen. Dalam suasana politik Indonesia saat ini, adakah koalisi yang ikhlas, koalisi tanpa imbal jasa?
MOCH NURHASIM
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik-LIPI
Keputusan MK yang menolak seluruh gugatan pasangan capres Prabowo-Hatta menyebabkan dinamika politik koalisi yang kian menarik.
Masalahnya, apakah model koalisi yang digagas oleh Jokowi sebagai koalisi yang tanpa syarat dapat diwujudkan. Beberapa kali Jokowi mengingatkan agar partai pendukungnya berkoalisi tanpa syarat dan menteri yang terpilih melepaskan jabatan partai politik (parpol).
Artinya, tidak ada syarat apa pun termasuk soal jabatan menteri ketika kemudian dalam pilpres menang, (KORANSINDO, 12/8). Gagasan Jokowi sebagai presiden terpilih di atas bukan tanpa tantangan.
Secara ideal bisa saja dilakukan, tetapi politik adalah politik, penuh dinamika, onak, dan duri. Dengan dukungan yang kecil dari partai pengusung di parlemen, amat mustahil konsep koalisi tanpa syarat dapat diterapkan.
PDIP sebagai partai utama pendukung Jokowi hanya memperoleh 109 kursi (19,46%). Jika ditambah dengan kursi Nasdem 6,25%, PKB 8,39%, dan kursi Hanura 2,85% dari 560 kursi DPR, tampak jelas modal dan dukungan presiden terpilih sangat minim. Total jumlah kursi pendukung Jokowi hanya 207 kursi atau 36,96%.
Selain dukungan yang minim, publik pun tahu presiden tidak bekerja sendiri dalam memutuskan kebijakan. Memang benar Jokowi-JK sebagai pemenang pemilu yang langsung dipilih oleh rakyat.
Akan tetapi, Indonesia menganut sistem presidensial yang meniscayakan adanya hubungan kerja sama antara presiden dan DPR dalam membuat kebijakan. Argumentasi presiden memiliki legitimasi karena dipilih langsung oleh rakyat, sama halnya dengan mengasumsikan presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dapat bekerja sendiri.
Dalam sistem presidensial, ada perbedaan mendasar antara relasi DPR-presiden dan presiden-DPR dalam membangun mekanisme checks and balances. Format hubungan DPR-presiden berbeda dengan hubungan presiden-DPR untuk sebuah proses kebijakan atau lahirnya sebuah undang-undang.
DPR posisinya lebih tinggi, karena sebuah undangundang tanpa persetujuan presiden secara otomatis akan berlaku setelah 30 hari. Sebaliknya, kebijakan presiden tanpa dukungan DPR dengan mudah akan dihentikan di tengah jalan.
Dengan kondisi seperti itu, pernyataan Jokowi, presiden terpilih yang menyatakan bahwa koalisi yang akan dibentuk adalah koalisi tanpa syarat, ibarat menegakkan benang basah. Artinya, secara politik koalisi tanpa syarat dan struktur kabinet tanpa menteri dari partai hampir mustahil dilakukan.
Ibaratnya, tak ada dukungan yang gratis, dan tak ada dukungan politik yang tidak menginginkan jabatan kekuasaan di pemerintahan.
Membayangkan kabinet Jokowi-JK tanpa orang-orang partai ibarat membangun pemerintahan yang selalu berada dalam ancaman. Pengalaman di era Gus Dur, Mega, dan SBY dapat menjadi contoh, dengan kabinet yang didukung oleh partai politik yang jumlahnya cukup signifikan saja, seperti Presiden Gus Dur yang diusung poros tengah saja dimakzulkan.
Begitu pula dengan beberapa kasus kebijakan SBY yang ditentang keras oleh DPR, padahal SBY membangun pemerintahannya dengan koalisi yang besar, hampir 70% partai koalisinya menguasai kursi parlemen.
Dalam konteks seperti itu, PDIP sebagai partai pengusungnya lebih realistis. PDIP menyadari dengan kekuasaan koalisi 36% di parlemen, masih perlu mencari kawan baru untuk bergabung. Pilihannya hanya satu, menarik partai yang sudah berkoalisi dengan Prabowo-Hatta atau Partai Demokrat yang ingin menjadi partai penyeimbang.
Dengan modal partai pendukung yang kecil pula, Jokowi mengalami dilema dalam melakukan negosiasi dengan partaipartai yang akan diajak berkoalisi. Sebut sebagai contoh, penolakan PKB atas gagasan Jokowi agar menteri tidak merangkap jabatan partai dan PKB menagih janji jatah menteri, termasuk menteri agama, adalah sinyal awal bahwa koalisi tanpa syarat bukan tanpa masalah.
Sama halnya dengan itu, keinginan untuk menarik kawan baru apakah PPP, Partai Demokrat, atau Golkar, menurut hemat penulis bergantung pada tawaran yang akan diberikan. Istilahnya tak ada jatah menteri, tak ada dukungan, tidak mungkin ada politik yang gratis, partai dibentuk untuk berkuasa, pasti mereka memiliki kepentingan untuk memperoleh jabatan.
Dengan kekuatan yang hanya 36,96% pula, rasanya hampir mustahil menegakkan kepala dengan mengatakan bahwa koalisi tidak boleh macam-macam, partai yang mendukung tidak boleh meminta balas budi, dan semua kuasa hanya ada pada presiden terpilih.
Situasi itulah yang kini sedang dihadapi oleh PDIP dan Jokowi. Itulah realitas politik yang sedang bergolak di dalam. Pencitraan bahwa calon-calon menteri sedang digodok dengan mekanisme keikutsertaan publik dalam mengusulkan nama-nama adalah sebuah proses yang bisa menjadi antiklimaks.
Proses penyusunan struktur kabinet yang dikemukakan ke publik sebagai kabinet yang profesional, ramping, dan minim orang partai, dapat saja mengangkat nama presiden terpilih. Tetapi sebaliknya apabila bertentangan dengan susunan nama-nama kabinetnya, justru akan memunculkan kekecewaan politik dan awal ketidakpercayaan terhadap presiden terpilih.
Komunikasi yang mulai gencar dilakukan oleh PDIP dan sejumlah pihak pendukung presiden terpilih memperlihatkan pula bahwa mereka merasa “tidak aman”. Kekuatan oposisi yang berasal dari barisan Merah Putih Prabowo yang terdiri atas PAN, PPP, Golkar, PKS, dan Gerinda, jika benar akan permanen dan tak ada yang membelot adalah sebuah buldoser oposisi dengan penguasaan 52,14%.
Sebuah kekuatan oposisi yang bukan saja akan mengancam, melainkan justru dapat menimbulkan “huru-hara” politik di parlemen. Oleh karena itu, wacana koalisi tanpa syarat, tidak ada bagi-bagi jabatan dapat disebut sebuah pepesan kosong, sesuatu yang mustahil terjadi.
Apa maknanya? Kontestasi koalisi pascakeputusan MK adalah sebuah proses koalisi yang sedang dibangun oleh presiden terpilih untuk mengamankan dukungan politiknya di parlemen. Dalam suasana politik Indonesia saat ini, adakah koalisi yang ikhlas, koalisi tanpa imbal jasa?
MOCH NURHASIM
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik-LIPI
(hyk)