Oposisi (juga) Perjuangan
A
A
A
PERGULATAN politik di Tanah Air pasca-Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 tidak serta-merta berakhir bersamaan dengan tuntasnya sengketa hasil pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebaliknya, lembaran dinamika politik yang akan mewarnai perjalanan Indonesia lima tahun ke depan baru terbuka. Hal itu terkait dengan sikap partai politik (parpol) pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Koalisi Merah Putih yang memilih tetap solid.
Dengan demikian, mereka akan bersama-sama menjadi kekuatan oposisi terhadap pemerintahan yang akan dibentuk Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dalam lima tahun mendatang beserta kekuatan parpol pendukungnya.
Dalam perspektif politik, oposisi merupakan hal wajar. Bahkan, dalam demokrasi dikenal istilah rechstaat (negara hukum) yang mensyaratkan adanya pembatasan kekuasaan, salah satunya dengan pemisahan kekuasaan negara berdasar trias politica: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Untuk menjamin tiap kekuasaan itu tidak melampaui kewenganannya, muncul konsep checks and balances system.
Di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial, implementasi koalisi versus oposisi tidak berlaku secara kaku seperti di negara dengan sistem parlementer. Pada sistem presidensial seperti di Tanah Air, posisi presiden tidak kalah dengan parlemen karena diangkat langsung oleh rakyat dan tidak dapat diberhentikan parlemen. Karena itulah parlemen tidak bisa bertindak semaunya.
Kendati demikian, bukan berarti tidak ada peluang bagi kekuatan politik di luar kekuatan partai pemerintah (ruling party) untuk memainkan oposisi dalam bentuk lain, yakni checks and balances atau kekuatan penyeimbang dan pengontrol.
Melalui kekuatan yang dibangun di parlemen, kekuatan oposisi bisa memainkan perannya untuk mengontrol jalannya pemerintahan seperti dalam menjalankan fungsi penganggaran maupun legislasi.
Premisnya, seputih apa pun pemimpin yang berkuasa, kekuasaan tetap akan mengikuti hukum alamnya: power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Dengan demikian, pilihan yang diambil Koalisi Merah Putih untuk bersama-sama menjadi kekuatan oposisi merupakan pilihan ideal.
Apalagi dengan 353 kursi DPR yang digenggamnya versus 207 kursi dari partai pendukung Jokowi-JK, mereka mempunyai sumber daya untuk tampil sebagai kekuatan penyeimbang dan pengontrol yang strategis terhadap langkah-langkah Jokowi-JK dalam menjalankan kekuasaannya.
Berdasar tradisi political behaviour selama ini, memang tidak mudah bagi parpol untuk berada di luar pemerintah. Momen yang terbangun dalam Pilpres 2014 ini menjadi pintu masuk tepat untuk membawa tradisi baru berpolitik yang lebih dewasa: berjuang di luar maupun di dalam pemerintah sama-sama ideal dan terhormat.
Karena itu, parpol seperti Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak perlu tergoda bergabung dalam pemerintahan. Begitu pun Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat.
Adapun pihak Jokowi-JK tidak perlu berambisi memperbesar dukungan di parlemen dengan mengiming-imingi satu atau dua partai yang sebelumnya berada di kubu Prabowo-Hatta agar bergabung dalam ruling party lewat barter kursi di kabinet.
Pelajaran selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, besarnya dukungan di parlemen ternyata tidak selaras dengan efektivitas pemerintahan. Terlebih, parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih mempunyai visi yang berbeda dalam memandang bagaimana pemerintahan Indonesia ke depan.
Sebaliknya, Jokowi-JK semestinya tertantang untuk mengoperasionalkan gagasan Koalisi Rakyat yang digaungkan selama kampanye.
Walaupun hanya ditopang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai NasDem, dan Partai Hanura, mereka hendaknya tetap pede selama menjalankan pemerintahan seperti diharapkan rakyat.
Selama tidak terpengaruh oleh kekuatan suprapolitik, baik dari dalam maupun luar negeri, mereka tidak perlu khawatir akan mendapat perlawanan oposisi di parlemen.
Sebaliknya, lembaran dinamika politik yang akan mewarnai perjalanan Indonesia lima tahun ke depan baru terbuka. Hal itu terkait dengan sikap partai politik (parpol) pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Koalisi Merah Putih yang memilih tetap solid.
Dengan demikian, mereka akan bersama-sama menjadi kekuatan oposisi terhadap pemerintahan yang akan dibentuk Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dalam lima tahun mendatang beserta kekuatan parpol pendukungnya.
Dalam perspektif politik, oposisi merupakan hal wajar. Bahkan, dalam demokrasi dikenal istilah rechstaat (negara hukum) yang mensyaratkan adanya pembatasan kekuasaan, salah satunya dengan pemisahan kekuasaan negara berdasar trias politica: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Untuk menjamin tiap kekuasaan itu tidak melampaui kewenganannya, muncul konsep checks and balances system.
Di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial, implementasi koalisi versus oposisi tidak berlaku secara kaku seperti di negara dengan sistem parlementer. Pada sistem presidensial seperti di Tanah Air, posisi presiden tidak kalah dengan parlemen karena diangkat langsung oleh rakyat dan tidak dapat diberhentikan parlemen. Karena itulah parlemen tidak bisa bertindak semaunya.
Kendati demikian, bukan berarti tidak ada peluang bagi kekuatan politik di luar kekuatan partai pemerintah (ruling party) untuk memainkan oposisi dalam bentuk lain, yakni checks and balances atau kekuatan penyeimbang dan pengontrol.
Melalui kekuatan yang dibangun di parlemen, kekuatan oposisi bisa memainkan perannya untuk mengontrol jalannya pemerintahan seperti dalam menjalankan fungsi penganggaran maupun legislasi.
Premisnya, seputih apa pun pemimpin yang berkuasa, kekuasaan tetap akan mengikuti hukum alamnya: power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Dengan demikian, pilihan yang diambil Koalisi Merah Putih untuk bersama-sama menjadi kekuatan oposisi merupakan pilihan ideal.
Apalagi dengan 353 kursi DPR yang digenggamnya versus 207 kursi dari partai pendukung Jokowi-JK, mereka mempunyai sumber daya untuk tampil sebagai kekuatan penyeimbang dan pengontrol yang strategis terhadap langkah-langkah Jokowi-JK dalam menjalankan kekuasaannya.
Berdasar tradisi political behaviour selama ini, memang tidak mudah bagi parpol untuk berada di luar pemerintah. Momen yang terbangun dalam Pilpres 2014 ini menjadi pintu masuk tepat untuk membawa tradisi baru berpolitik yang lebih dewasa: berjuang di luar maupun di dalam pemerintah sama-sama ideal dan terhormat.
Karena itu, parpol seperti Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak perlu tergoda bergabung dalam pemerintahan. Begitu pun Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat.
Adapun pihak Jokowi-JK tidak perlu berambisi memperbesar dukungan di parlemen dengan mengiming-imingi satu atau dua partai yang sebelumnya berada di kubu Prabowo-Hatta agar bergabung dalam ruling party lewat barter kursi di kabinet.
Pelajaran selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, besarnya dukungan di parlemen ternyata tidak selaras dengan efektivitas pemerintahan. Terlebih, parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih mempunyai visi yang berbeda dalam memandang bagaimana pemerintahan Indonesia ke depan.
Sebaliknya, Jokowi-JK semestinya tertantang untuk mengoperasionalkan gagasan Koalisi Rakyat yang digaungkan selama kampanye.
Walaupun hanya ditopang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai NasDem, dan Partai Hanura, mereka hendaknya tetap pede selama menjalankan pemerintahan seperti diharapkan rakyat.
Selama tidak terpengaruh oleh kekuatan suprapolitik, baik dari dalam maupun luar negeri, mereka tidak perlu khawatir akan mendapat perlawanan oposisi di parlemen.
(hyk)