Penentuan Presiden di Tangan Mahkamah Konstitusi
A
A
A
TAHAPAN pilpres di negeri ini saat ini sudah memasuki fase persengketaan hasil pilpres di MK, sebuah fase yang memang disediakan oleh konstitusi yang dalam banyak teori hukum ketatanegaraan disebut sebagai fase yudisialisasi politik (political judicialization).
Fase tersebut pranata demokrasi konstitusional yang disediakan untuk memberikan penentuan akhir di tangan para hakim konstitusi yang sering disebut sebagai para penjaga konstitusi (the guardians of the constitution) mengenai hasil penghitungan suara pilpres yang benar sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD Negara RI 1945 dan Pasal 77 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003 jo UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Perlawanan kubu Prabowo-Hatta di aras politik dikanalisasi melalui saluran hukum dalam persidangan MK.
Publik bisa melihat dalam persidangan di MK, yang disiarkan secara luas baik oleh media elektronik maupun cetak, kualitas pembuktian dalil-dalil sengketa pilpres yang diajukan pemohon (Prabowo-Hatta), termohon (KPU), dan pihak terkait (pasangan Jokowi-JK).
Dalam pengajuan permohonan pemeriksaan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) terkait pelaksanaan pilpres, Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 4 Tahun 2014 telah menegaskan dua syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon PHPU (pasangan capres) agar mampu menunjukkan: (1) Ada indikasi kesalahan hasil penghitungan perolehan suara yang diumumkan KPU secara nasional dan (2) hasil penghitungan suara yang benar versi pemohon.
Dua hal itulah yang harus menjadi substansi dari permohonan pihak pemohon dengan didukung bukti-bukti yang dalam ranah yuridis mampu menguatkan permohonan tersebut.
Di titik inilah sebenarnya pemeriksaan PHPU di MK akan mengerucutkan isu hukum yang disengketakan menjadi beberapa hal yang menurut pendapat Steven Huefner (2010) meliputi: fraud (kecurangan), mistake (kekhilafan oleh petugas pemilu), non-fraudulent misconduct (tindakan yang bukan kecurangan dalam pemilu, namun menurunkan kredibilitas hasil pemilu), dan extrinsic events (faktor-faktor alamiah di luar kemampuan manusiawi penyelenggara pemilu).
Seluruh isu hukum tersebut dapat berujung pada kesalahan hasil penghitungan suara dalam pilpres. Namun, kesalahan penghitungan suara tersebut juga belum tentu berdampak signifikan yang memengaruhi hasil akhir suara yang diperoleh para pasangan capres.
Mandat konstitusional yang diberikan kepada MK untuk memeriksa PHPU berlandaskan prinsip kebenaran materiil pada hakikatnya memberikan kewenangan yang komprehensif kepada para hakim di MK untuk bisa menguji secara menyeluruh faktor-faktor yang menjadi penyebab perbedaan pendapat antara pemohon dan KPU sebagai termohon mengenai hasil penghitungan suara pilpres yang telah digelar.
Masalah hukum yang sering mengiringi persengketaan PHPU seringkali sangat kompleks bisa terjadi karena tindak pidana pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, maupun profesionalitas institusi penyelenggara pilpres.
Sehubungan dengan hal tersebut, sejak putusan MK No 062/PHPU-B-II/ 2004 yang merupakan putusan terhadap permohonan PHPU oleh pasangan capres pada 2004, MK tak sekadar menggunakan konsiderasi kuantitatif (kebenaran jumlah hasil suara pilpres) terkait pemeriksaan PHPU, namun juga menggunakan nalar/konsiderasi kualitatif dalam pemeriksaan PHPU. Artinya, MK juga memasuki ranah konstitusionalitas hasil pilpres dalam menilai hasil pilpres berdasarkan prinsip-prinsip pelaksanaan pilpres yang digariskan oleh Pasal 22E ayat (1) dan (5) UUD Negara RI 1945.
Pada intinya MK mengukur kualitas pelaksanaan pilpres berdasarkan prinsip-prinsip pemilu yang harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil) dengan menilai bukti-bukti yang diajukan para pihak di persidangan.
Bukti-bukti yang diajukan di persidangan MK cukup banyak yang terdiri atas tujuh macam alat bukti dan secara garis besar bisa diklasifikasikan atas bukti-bukti tertulis (documentary evidences) dan bukti-bukti lisan (oral evidences). Pemeriksaan itu dibatasi harus selesai diputus oleh MK melalui sidang pleno yang bersifat terbuka dalam waktu paling lambat 14 hari sejak permohonan perkara didaftarkan di MK.
Perhatian publik kini terfokus pada persidangan di MK. MK memiliki tanggung jawab ketatanegaraan untuk memberikan solusi hukum secara adil atas PHPU yang dimohonkan oleh kubu Prabowo-Hatta mengenai dugaan ada pelanggaran asas-asas pemilu dalam pelaksanaan pilpres.
Upaya untuk membuktikan validitas dalil-dalil pemohon, termohon, maupun pihak terkait akan berimplikasi terhadap keberlanjutan proses demokrasi di negeri ini.
Hasil akhir pilpres yang diputuskan MK harus diterima sebagai kebenaran hukum yang mengikat terhadap siapa pun warga negara yang mengaku dirinya tunduk di bawah konstitusi. Itulah prasyarat fundamental jika negara ini masih ingin disebut sebagai negara hukum atas siapa pun yang ”ditentukan” oleh MK sebagai presiden ketujuh republik ini.
Apa pun yang menjadi latar belakang sengketa pilpres di MK itu harus menjadi pembelajaran demokrasi bagi semua pihak, khususnya presiden yang ditentukan oleh putusan MK, bahwa beratnya prosedur demokrasi untuk menduduki kursi RI 1 saat ini semoga bisa diikuti dengan tekad yang sungguh-sungguh bagi pasangan presiden terpilih untuk mengabdikan tahta RI 1 untuk kesejahteraan rakyatnya, bukan hanya untuk kesejahteraan segelintir orang yang berkerumun di sekitar sang presiden.
Presiden terpilih harus memulai rekonsiliasi nasional karena selisih suara yang tak signifikan dalam skala nasional memberi sinyal perlunya format demokrasi baru yang bersifat kolaboratif dan bisa merangkul semua unsur di republik ini yang sempat terbelah semasa pilpres (divided nation).
DR W RIAWAN TJANDRA SH M HUM
Pengajar Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Fase tersebut pranata demokrasi konstitusional yang disediakan untuk memberikan penentuan akhir di tangan para hakim konstitusi yang sering disebut sebagai para penjaga konstitusi (the guardians of the constitution) mengenai hasil penghitungan suara pilpres yang benar sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD Negara RI 1945 dan Pasal 77 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003 jo UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Perlawanan kubu Prabowo-Hatta di aras politik dikanalisasi melalui saluran hukum dalam persidangan MK.
Publik bisa melihat dalam persidangan di MK, yang disiarkan secara luas baik oleh media elektronik maupun cetak, kualitas pembuktian dalil-dalil sengketa pilpres yang diajukan pemohon (Prabowo-Hatta), termohon (KPU), dan pihak terkait (pasangan Jokowi-JK).
Dalam pengajuan permohonan pemeriksaan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) terkait pelaksanaan pilpres, Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 4 Tahun 2014 telah menegaskan dua syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon PHPU (pasangan capres) agar mampu menunjukkan: (1) Ada indikasi kesalahan hasil penghitungan perolehan suara yang diumumkan KPU secara nasional dan (2) hasil penghitungan suara yang benar versi pemohon.
Dua hal itulah yang harus menjadi substansi dari permohonan pihak pemohon dengan didukung bukti-bukti yang dalam ranah yuridis mampu menguatkan permohonan tersebut.
Di titik inilah sebenarnya pemeriksaan PHPU di MK akan mengerucutkan isu hukum yang disengketakan menjadi beberapa hal yang menurut pendapat Steven Huefner (2010) meliputi: fraud (kecurangan), mistake (kekhilafan oleh petugas pemilu), non-fraudulent misconduct (tindakan yang bukan kecurangan dalam pemilu, namun menurunkan kredibilitas hasil pemilu), dan extrinsic events (faktor-faktor alamiah di luar kemampuan manusiawi penyelenggara pemilu).
Seluruh isu hukum tersebut dapat berujung pada kesalahan hasil penghitungan suara dalam pilpres. Namun, kesalahan penghitungan suara tersebut juga belum tentu berdampak signifikan yang memengaruhi hasil akhir suara yang diperoleh para pasangan capres.
Mandat konstitusional yang diberikan kepada MK untuk memeriksa PHPU berlandaskan prinsip kebenaran materiil pada hakikatnya memberikan kewenangan yang komprehensif kepada para hakim di MK untuk bisa menguji secara menyeluruh faktor-faktor yang menjadi penyebab perbedaan pendapat antara pemohon dan KPU sebagai termohon mengenai hasil penghitungan suara pilpres yang telah digelar.
Masalah hukum yang sering mengiringi persengketaan PHPU seringkali sangat kompleks bisa terjadi karena tindak pidana pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, maupun profesionalitas institusi penyelenggara pilpres.
Sehubungan dengan hal tersebut, sejak putusan MK No 062/PHPU-B-II/ 2004 yang merupakan putusan terhadap permohonan PHPU oleh pasangan capres pada 2004, MK tak sekadar menggunakan konsiderasi kuantitatif (kebenaran jumlah hasil suara pilpres) terkait pemeriksaan PHPU, namun juga menggunakan nalar/konsiderasi kualitatif dalam pemeriksaan PHPU. Artinya, MK juga memasuki ranah konstitusionalitas hasil pilpres dalam menilai hasil pilpres berdasarkan prinsip-prinsip pelaksanaan pilpres yang digariskan oleh Pasal 22E ayat (1) dan (5) UUD Negara RI 1945.
Pada intinya MK mengukur kualitas pelaksanaan pilpres berdasarkan prinsip-prinsip pemilu yang harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil) dengan menilai bukti-bukti yang diajukan para pihak di persidangan.
Bukti-bukti yang diajukan di persidangan MK cukup banyak yang terdiri atas tujuh macam alat bukti dan secara garis besar bisa diklasifikasikan atas bukti-bukti tertulis (documentary evidences) dan bukti-bukti lisan (oral evidences). Pemeriksaan itu dibatasi harus selesai diputus oleh MK melalui sidang pleno yang bersifat terbuka dalam waktu paling lambat 14 hari sejak permohonan perkara didaftarkan di MK.
Perhatian publik kini terfokus pada persidangan di MK. MK memiliki tanggung jawab ketatanegaraan untuk memberikan solusi hukum secara adil atas PHPU yang dimohonkan oleh kubu Prabowo-Hatta mengenai dugaan ada pelanggaran asas-asas pemilu dalam pelaksanaan pilpres.
Upaya untuk membuktikan validitas dalil-dalil pemohon, termohon, maupun pihak terkait akan berimplikasi terhadap keberlanjutan proses demokrasi di negeri ini.
Hasil akhir pilpres yang diputuskan MK harus diterima sebagai kebenaran hukum yang mengikat terhadap siapa pun warga negara yang mengaku dirinya tunduk di bawah konstitusi. Itulah prasyarat fundamental jika negara ini masih ingin disebut sebagai negara hukum atas siapa pun yang ”ditentukan” oleh MK sebagai presiden ketujuh republik ini.
Apa pun yang menjadi latar belakang sengketa pilpres di MK itu harus menjadi pembelajaran demokrasi bagi semua pihak, khususnya presiden yang ditentukan oleh putusan MK, bahwa beratnya prosedur demokrasi untuk menduduki kursi RI 1 saat ini semoga bisa diikuti dengan tekad yang sungguh-sungguh bagi pasangan presiden terpilih untuk mengabdikan tahta RI 1 untuk kesejahteraan rakyatnya, bukan hanya untuk kesejahteraan segelintir orang yang berkerumun di sekitar sang presiden.
Presiden terpilih harus memulai rekonsiliasi nasional karena selisih suara yang tak signifikan dalam skala nasional memberi sinyal perlunya format demokrasi baru yang bersifat kolaboratif dan bisa merangkul semua unsur di republik ini yang sempat terbelah semasa pilpres (divided nation).
DR W RIAWAN TJANDRA SH M HUM
Pengajar Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
(hyk)