Tiada Lawan Abadi dalam Politik
A
A
A
MANTAN dosen Fisipol UGM, Profesor Idris Adrianata Kesuma, pernah mengatakan: If a diplomat says yes, it means maybe. If a diplomat says maybe, it means no. A diplomat never says no. (Jika seorang diplomat berkata iya, itu berarti mungkin. Kalau ia mengatakan mungkin, itu berarti tidak. Seorang diplomat tidak pernah mengatakan tidak).
Posisi diplomat layaknya politisi, pernyataan tersebut sesungguhnya juga berlaku bagi mereka yang berkecimpung dalam politik praktis. Jika dikaitkan dengan dinamika politik di Tanah Air saat pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada), terasa sekali pernyataan tersebut relevan digunakan untuk menelaah perilaku elite dan partai politik (parpol). Perilaku elite dalam setiap perhelatan pilpres dan pilkada tampaknya sangat sulit diprediksi.
Tidak jarang mereka kemudian mengambil keputusan yang sulit di nalar publik. Salah satu indikatornya dapat diamati dari dukungan elite dan parpol saat pengusungan calon presiden (capres), calon gubernur (cagub), calon bupati (cabup), dan calon wali kota. Mereka seakan tidak lagi memedulikan persoalan platform dan ideologi partai. Perbedaan visi antarpasangan calon yang maju dalam pilpres dan pilkada juga diabaikan.
Tengoklah yang terjadi pada pasangan capres dan cawapres dalam pilpres lalu. Menurut pengamatan publik, pasangan Prabowo-Hatta sejatinya memiliki perbedaan yang sangat fundamental. Visi pembangunan ekonomi Prabowo adalah kerakyatan. Sementara Hatta lebih dikenal figur yang pro pada ekonomi liberal. Pasangan Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla (JK) juga memiliki perbedaan dalam senioritas, pengalaman, dan pandangan mengenai beberapa persoalan kebangsaan.
Masih segar dalam ingatan publik bagaimana penilaian JK terhadap Jokowi saat didorong berbagai elemen untuk maju dalam pilpres. Dalam wawancara yang ditayang ulang beberapa televisi jelas sekali JK mengecilkan kapasitas Jokowi. Dengan sinis JK bahkan mengatakan negara ini bisa hancur jika dipimpin Jokowi. Tetapi, dinamika politik bergerak dengan cepat, JK yang sebelumnya mengkritik keras ternyata bersedia untuk berpasangan dengan Jokowi dalam pilpres lalu.
Pertanyaannya, apa makna di balik perubahan sikap dari elite politik tersebut? Jawabnya, semua bergantung pada kepentingan. Jika kepentingan masing-masing elite telah mencapai kata mufakat, perbedaan yang terjadi dapat diabaikan. Pudarnya kepentingan ideologi dalam proses menjalin kemitraan antarelite partai semakin menegaskan bahwa budaya kontrak politik masih didasarkan pada kepentingan pragmatis jangka pendek.
Ada kalanya kepentingan itu berupa sharing kekuasaan bila calon yang diusung memenangkan pilpres dan pilkada. Juga ada dugaan bahwa kekuatan uanglah yang memengaruhi keputusan politik dari kelompok elite. Jika faktor uang itu benar, rakyat selayaknya bersedih. Itu karena ideologi perjuangan elite dan partai politik telah berganti dengan uang. Budaya politik uang inilah yang telah mengikis nilai-nilai perjuangan para politisi.
Akibat itu, kini sangat sulit menemukan ideolog partai politik yang benar-benar berkarakter seperti Mohammad Natsir dan Mr Mohammad Roem. Partai pengusung pasangan calon dalam pilpres dan pilkada juga seringkali mengabaikan pertimbangan ideologi parpol yang menjadi mitra koalisinya. Parpol yang secara ideologis tampak berseberangan ternyata justru menjalin berkoalisi.
Rekam jejak calon yang didukung juga diabaikan. Elite partai pendukung dan calon yang secara kasatmata berbeda ideologis pada saatnya dapat bersinergi untuk membangun kekuatan. Fenomena inilah yang menarik untuk diamati dari perkembangan politik Tanah Air. Perkembangan politik yang sangat dinamis memungkinkan seseorang yang tadinya berkawan menjadi berhadap-hadapan, begitu juga sebaliknya.
Apalagi budaya politik Tanah Air kini sedang berkembang pesat politik transaksional atau politik dagang sapi. Dalam politik transaksional itulah semua perbedaan dapat dicarikan jalan keluar. Persyaratannya, ada kepentingan yang sama dari mitra koalisi. Salah satu doktrin dalam politik mengajarkan prinsip who gets what, how, and when . Politik itu persoalan siapa memperoleh apa, bagaimana, dan kapan.
Karena itu, persoalan sharing kekuasaan menjadi variabel yang penting dalam menjelaskan dukungan politik dari elite dan parpol. Dalam budaya politik transaksional rasanya tidak mungkin dukungan diberikan tanpa syarat. Pasti ada kalkulasi politik yang disepakati antarelite dan parpol memberikan dukungan. Kalkulasi itu bisa berupa sharing kekuasaan atau imbalan dalam bentuk uang.
Itu berarti memang tidak ada yang gratis dalam dukungan elite dan parpol. Dalam politik juga berlaku doktrin bahwa perbedaan pendapat itu hal biasa. Yang tidak boleh terjadi adalah perbedaan ”pendapatan.” Faktor perbedaan ”pendapatan” itulah yang sering memicu persoalan sesama mitra koalisi. Jika dalam ilmu matematika dikenal ada sistem seperti perkalian, penjumlahan, pengurangan, dan pembagian, sistem pembagian itulah yang paling krusial dalam politik.
Karena itu, jangan bermain-main dengan sistem pembagian dalam politik. Apalagi jika itu berkaitan dengan sharing kekuasaan dan pendapatan. Jika pembagiannya tidak adil, akan terjadi pecah kongsi. Itulah sebabnya dunia politik selalu diwarnai perpecahan. Politik juga selalu menghadirkan kejutan. Elite politik dan parpol yang sebelumnya tampak berseberangan bisa saling mendekat.
Mereka yang dulu menjadi lawan politik pada saatnya berubah menjadi mitra. Sebaliknya, mereka yang dulu menjadi mitra berubah menjadi lawan politik. Itu menunjukkan bahwa tidak ada lawan atau kawan yang abadi dalam politik. Sekali lagi, yang abadi dalam politik adalah kepentingan. Selama ada kesamaan kepentingan, kemitraan akan berjalan baik dan begitu juga sebaliknya.
Dalam proses menjalin koalisi yang melibatkan elite dan parpol, kita mendambakan agar kepentingan jangka panjang yang diutamakan. Kepentingan itu masa depan bangsa dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Harus diakui, pemilu satu-satunya mekanisme yang dibenarkan konstitusi untuk memilih pemimpin yang terbaik. Karena itu, elite dan parpol seharusnya tidak menggadaikan masa depan bangsa dengan kepentingan pragmatis dan jangka pendek.
BIYANTO
Dosen UIN Sunan Ampel
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
Posisi diplomat layaknya politisi, pernyataan tersebut sesungguhnya juga berlaku bagi mereka yang berkecimpung dalam politik praktis. Jika dikaitkan dengan dinamika politik di Tanah Air saat pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada), terasa sekali pernyataan tersebut relevan digunakan untuk menelaah perilaku elite dan partai politik (parpol). Perilaku elite dalam setiap perhelatan pilpres dan pilkada tampaknya sangat sulit diprediksi.
Tidak jarang mereka kemudian mengambil keputusan yang sulit di nalar publik. Salah satu indikatornya dapat diamati dari dukungan elite dan parpol saat pengusungan calon presiden (capres), calon gubernur (cagub), calon bupati (cabup), dan calon wali kota. Mereka seakan tidak lagi memedulikan persoalan platform dan ideologi partai. Perbedaan visi antarpasangan calon yang maju dalam pilpres dan pilkada juga diabaikan.
Tengoklah yang terjadi pada pasangan capres dan cawapres dalam pilpres lalu. Menurut pengamatan publik, pasangan Prabowo-Hatta sejatinya memiliki perbedaan yang sangat fundamental. Visi pembangunan ekonomi Prabowo adalah kerakyatan. Sementara Hatta lebih dikenal figur yang pro pada ekonomi liberal. Pasangan Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla (JK) juga memiliki perbedaan dalam senioritas, pengalaman, dan pandangan mengenai beberapa persoalan kebangsaan.
Masih segar dalam ingatan publik bagaimana penilaian JK terhadap Jokowi saat didorong berbagai elemen untuk maju dalam pilpres. Dalam wawancara yang ditayang ulang beberapa televisi jelas sekali JK mengecilkan kapasitas Jokowi. Dengan sinis JK bahkan mengatakan negara ini bisa hancur jika dipimpin Jokowi. Tetapi, dinamika politik bergerak dengan cepat, JK yang sebelumnya mengkritik keras ternyata bersedia untuk berpasangan dengan Jokowi dalam pilpres lalu.
Pertanyaannya, apa makna di balik perubahan sikap dari elite politik tersebut? Jawabnya, semua bergantung pada kepentingan. Jika kepentingan masing-masing elite telah mencapai kata mufakat, perbedaan yang terjadi dapat diabaikan. Pudarnya kepentingan ideologi dalam proses menjalin kemitraan antarelite partai semakin menegaskan bahwa budaya kontrak politik masih didasarkan pada kepentingan pragmatis jangka pendek.
Ada kalanya kepentingan itu berupa sharing kekuasaan bila calon yang diusung memenangkan pilpres dan pilkada. Juga ada dugaan bahwa kekuatan uanglah yang memengaruhi keputusan politik dari kelompok elite. Jika faktor uang itu benar, rakyat selayaknya bersedih. Itu karena ideologi perjuangan elite dan partai politik telah berganti dengan uang. Budaya politik uang inilah yang telah mengikis nilai-nilai perjuangan para politisi.
Akibat itu, kini sangat sulit menemukan ideolog partai politik yang benar-benar berkarakter seperti Mohammad Natsir dan Mr Mohammad Roem. Partai pengusung pasangan calon dalam pilpres dan pilkada juga seringkali mengabaikan pertimbangan ideologi parpol yang menjadi mitra koalisinya. Parpol yang secara ideologis tampak berseberangan ternyata justru menjalin berkoalisi.
Rekam jejak calon yang didukung juga diabaikan. Elite partai pendukung dan calon yang secara kasatmata berbeda ideologis pada saatnya dapat bersinergi untuk membangun kekuatan. Fenomena inilah yang menarik untuk diamati dari perkembangan politik Tanah Air. Perkembangan politik yang sangat dinamis memungkinkan seseorang yang tadinya berkawan menjadi berhadap-hadapan, begitu juga sebaliknya.
Apalagi budaya politik Tanah Air kini sedang berkembang pesat politik transaksional atau politik dagang sapi. Dalam politik transaksional itulah semua perbedaan dapat dicarikan jalan keluar. Persyaratannya, ada kepentingan yang sama dari mitra koalisi. Salah satu doktrin dalam politik mengajarkan prinsip who gets what, how, and when . Politik itu persoalan siapa memperoleh apa, bagaimana, dan kapan.
Karena itu, persoalan sharing kekuasaan menjadi variabel yang penting dalam menjelaskan dukungan politik dari elite dan parpol. Dalam budaya politik transaksional rasanya tidak mungkin dukungan diberikan tanpa syarat. Pasti ada kalkulasi politik yang disepakati antarelite dan parpol memberikan dukungan. Kalkulasi itu bisa berupa sharing kekuasaan atau imbalan dalam bentuk uang.
Itu berarti memang tidak ada yang gratis dalam dukungan elite dan parpol. Dalam politik juga berlaku doktrin bahwa perbedaan pendapat itu hal biasa. Yang tidak boleh terjadi adalah perbedaan ”pendapatan.” Faktor perbedaan ”pendapatan” itulah yang sering memicu persoalan sesama mitra koalisi. Jika dalam ilmu matematika dikenal ada sistem seperti perkalian, penjumlahan, pengurangan, dan pembagian, sistem pembagian itulah yang paling krusial dalam politik.
Karena itu, jangan bermain-main dengan sistem pembagian dalam politik. Apalagi jika itu berkaitan dengan sharing kekuasaan dan pendapatan. Jika pembagiannya tidak adil, akan terjadi pecah kongsi. Itulah sebabnya dunia politik selalu diwarnai perpecahan. Politik juga selalu menghadirkan kejutan. Elite politik dan parpol yang sebelumnya tampak berseberangan bisa saling mendekat.
Mereka yang dulu menjadi lawan politik pada saatnya berubah menjadi mitra. Sebaliknya, mereka yang dulu menjadi mitra berubah menjadi lawan politik. Itu menunjukkan bahwa tidak ada lawan atau kawan yang abadi dalam politik. Sekali lagi, yang abadi dalam politik adalah kepentingan. Selama ada kesamaan kepentingan, kemitraan akan berjalan baik dan begitu juga sebaliknya.
Dalam proses menjalin koalisi yang melibatkan elite dan parpol, kita mendambakan agar kepentingan jangka panjang yang diutamakan. Kepentingan itu masa depan bangsa dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Harus diakui, pemilu satu-satunya mekanisme yang dibenarkan konstitusi untuk memilih pemimpin yang terbaik. Karena itu, elite dan parpol seharusnya tidak menggadaikan masa depan bangsa dengan kepentingan pragmatis dan jangka pendek.
BIYANTO
Dosen UIN Sunan Ampel
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
(hyk)