Mudik, Ketupat & Pilpres

Jum'at, 25 Juli 2014 - 16:36 WIB
Mudik, Ketupat & Pilpres
Mudik, Ketupat & Pilpres
A A A
Jalan-jalan utama di Pulau Jawa yang menghubungkan wilayah barat dengan wilayah tengah dan timur kembali diwarnai kepadatan arus mudik.

Pada Lebaran 2014 kondisi dipastikan akan lebih semrawut dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun, separah apa pun kondisi mudik dipastikan tidak akan menyurutkan niat untuk tetap mudik. Rasa capai, bosan, stres, kepanasan atau kedinginan karena hujan yang bercampur aduk menjadi satu seolah hilang begitu saja berganti dengan kerinduan begitu mendalam untuk segera sampai di kampung halaman dan bertemu dengan orang tua dan keluarga.

Cita rasa ketupat dengan kekhasan daerah masing-masing kian memperberat rasa rindu itu. Mengapa mudik dan mengapa dorongan itu begitu kuat? Mudik yang berasal dari frase “menuju udik” secara fisik mempunyai arti kembali ke kampung. Masyarakat yang selama ini bergelut mencari sesuap nasi atau menumpang hidup di kota besar seperti Jakarta atau di daerah lain berbondong-bondong kembali ke kampung halaman masing-masing, termasuk di luar Jawa.

Bagi umat Islam, tradisi mudik tentu jangan berhenti sebatas meluapkan rasa kangen dan kerinduan secara fisik. Mudik secara filosofis dipahami sebagai kembali ke hulu atau dalam filsafat Jawa disebut sangkan paraning dumadi, yakni mengingatkan bahwa siapa pun berasal dari rahim ibu dan menjadi bagian dari saudara, keluarga besar, dan lingkungan tempat asal. Dan mudik adalah untuk menemukan asal-usul dan ke mana akan melangkah. Dengan demikian, mudik sarat dengan pesan kasih sayang dan silaturahmi.

Begitu pula rasa kangen terhadap ketupat jangan berhenti pada kenikmatan di lidah semata. Lebih jauh ketupat juga hendaknya mengingatkan akan dimensi manusia dalam konteks hubungan transendental maupun horizontal. Dalam filosofi Jawa, tradisi ketupat tak lepas dari strategi pembauran budaya yang dilakukan Kanjeng Sunan Kalijaga untuk mendekatkan tradisi Jawa yang berkembang di eranya dengan nilai Islam. Dalam perspektif ini, waliyullah yang berasal dari Tuban itu memaknai ketupat (Jawa: kupat) sebagai laku papat atau empat tindakan.

Empat tindakan dimaksud adalah Lebaran atau lebar atau tanda sudah menunaikan puasa satu bulan penuh; Luberan atau luber atau menyisihkan harta untuk berzakat; Leburan atau lebur atau menghapus segala khilaf dengan bermaaf-maafan; dan Laburan atau labur atau memenuhi jiwa dengan jiwa baru atau kembali fitrah. Kiranya makna mudik dan ketupat pada Lebaran 2014 semakin menyentuh karena berbarengan dengan berhentinya masa kampanye dan coblosan Pilpres 2014 untuk memperebutkan tampuk kepemimpinan negeri ini. Perilaku politik yang muncul pun harus diakui telah menunjukkan wajahnya yang paling pragmatis: menghalalkan tindakan apa pun demi struggle for power.

Hasilnya, secara tidak sadar, banyak orang telah memorakporandakan tali silaturahmi dan mengedepankan urusan kekuasaan lebih dari segalanya. Momen mudik adalah waktu yang tepat untuk Leburan dan Laburan. Jati diri sebagai manusia kiranya semakin utuh dalam segala dimensinya jika mampu memaripurnakan dengan Lebaran dan Luberan. Minal aidin wal faizin.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0679 seconds (0.1#10.140)