Peradi Minta Pemerintah Batalkan Amandemen UU Advokat
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan minta kepada pemerintah untuk membatalkan amandemen UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat, karena banyak melahirkan organisasi advokat di Indonesia yang tidak terkontrol.
"Aturan single bar atau organisasi tunggal untuk menaungi para pengacara di Indonesia akan memudahkan pemberian sanksi bagi pengacara yang merugikan masyarakat," katanya, kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (23/7/2014).
Ditambahkan dia, saat ini semakin sulit mengontrol praktik pengacara di Indonesia, karena tidak adanya standarisasi kualitas advokat. Sebagai contoh, saat organisasi A menentukan standar kelulusan bagi calon pengacara saat tes adalah 8.
Sedangkan Organisasi B, menentukan standarisasi kelulusan 6. Maka calon pengacara yang ingin membuka praktik dan mendapatkan lisensi jika tidak lulus di organisasi A, dengan mudah beralih ke organisasi B.
"Ini kan bagaimana kualitasnya, belum lagi praktik nakal jika dia dihukum di A, maka dia akan pindah ke organisasi B. Jelas ini merugikan masyarakat," terangnya.
Otto menjelaskan, banyak anggota Peradi yang telah dicabut ijin praktiknya sebagai pengacara, karena telah berbuat merugikan masyarakat alias melakukan pemerasan.
"Kami juga menolak dewan advokat yang dipilih DPR atas usulan pemerintah sebagaimana dalam pasal 43-44 Revisi UU Advokat. Keberadaan dewan advokat bisa menimbulkan konflik kepentingan dan hilangnya independensi pengacara," ungkapnya.
Dengan adanya Dewan Advokat, para pengacara dikhawatirkan terjebak dalam ranah politik. Di mana advokat akan takut melawan partai politik dan pemerintah, jika terjadi perkara yang merugikan masyarakat dan berhadapan dengan parpol dan pemerintah.
"Keberadaan Dewan Advokat juga rentan disalahgunakan oleh partai politik, karena keberpihakan mereka kepada parpol yang telah memilihnya. Organisasi Advokat, adalah organisasi yang independen," tukasnya.
"Aturan single bar atau organisasi tunggal untuk menaungi para pengacara di Indonesia akan memudahkan pemberian sanksi bagi pengacara yang merugikan masyarakat," katanya, kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (23/7/2014).
Ditambahkan dia, saat ini semakin sulit mengontrol praktik pengacara di Indonesia, karena tidak adanya standarisasi kualitas advokat. Sebagai contoh, saat organisasi A menentukan standar kelulusan bagi calon pengacara saat tes adalah 8.
Sedangkan Organisasi B, menentukan standarisasi kelulusan 6. Maka calon pengacara yang ingin membuka praktik dan mendapatkan lisensi jika tidak lulus di organisasi A, dengan mudah beralih ke organisasi B.
"Ini kan bagaimana kualitasnya, belum lagi praktik nakal jika dia dihukum di A, maka dia akan pindah ke organisasi B. Jelas ini merugikan masyarakat," terangnya.
Otto menjelaskan, banyak anggota Peradi yang telah dicabut ijin praktiknya sebagai pengacara, karena telah berbuat merugikan masyarakat alias melakukan pemerasan.
"Kami juga menolak dewan advokat yang dipilih DPR atas usulan pemerintah sebagaimana dalam pasal 43-44 Revisi UU Advokat. Keberadaan dewan advokat bisa menimbulkan konflik kepentingan dan hilangnya independensi pengacara," ungkapnya.
Dengan adanya Dewan Advokat, para pengacara dikhawatirkan terjebak dalam ranah politik. Di mana advokat akan takut melawan partai politik dan pemerintah, jika terjadi perkara yang merugikan masyarakat dan berhadapan dengan parpol dan pemerintah.
"Keberadaan Dewan Advokat juga rentan disalahgunakan oleh partai politik, karena keberpihakan mereka kepada parpol yang telah memilihnya. Organisasi Advokat, adalah organisasi yang independen," tukasnya.
(san)