Utang Pemerintah
A
A
A
Utang pemerintah Indonesia terus bertambah. Langka pemerintah yang mencoba memperkecil jumlah utang yang terus membebani anggaran negara ternyata belum efektif.
Hampir setiap saat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam berbagai kesempatan menyampaikan bagaimana pentingnya mengikis utang negara, tetapi nyatanya nilai utang tetap saja menanjak. Awal pekan ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merilis jumlah utang pemerintah telah menembus Rp2.507,52 triliun dengan rasio sekitar 25,5% terhadap produk domestik bruto (PDB) per Juni tahun ini. Tahun ini pemerintah bakal menambah utang baru lagi guna menutup defisit anggaran. Namun, sumber utang tersebut akan difokuskan pada penjualan SUN.
Melihat total utang pemerintah yang jauh melampaui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2014 menimbulkan pertanyaan, seberapa besar dana yang dibutuhkan pemerintah untuk melunasi cicilan pokok dan bunga utang per tahun? Dari periode Januari hingga Juni 2014, berdasarkan data terbaru Kemenkeu, pemerintah telah mengorek kocek untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang sebesar Rp223,004 triliun. Pelunasan kewajiban tersebut setara dengan 60,44% dari target yang dipatok pemerintah untuk pembayaran cicilan dan bunga utang pemerintah tahun ini.
Lebih jelas, dari total Rp223,004 triliun yang dibayarkan pemerintah tersebut meliputi cicilan pokok utang sebesar Rp154,804 triliun, terdiri atas cicilan pokok utang luar negeri Rp42,303 triliun, utang dalam negeri Rp7,16 triliun, dan cicilan pokok surat utang negara (SUN) yang mencapai Rp105,34 triliun. Adapun cicilan bunga utang tercatat Rp68,2 triliun yang meliputi cicilan bunga utang luar negeri sekitar Rp18,181 triliun, bunga utang dalam negeri sebesar Rp1,8 triliun, dan cicilan bunga SUN menembus sebesar Rp48,219 triliun.
Meski utang terus bertumbuh, pemerintah menilai masih tetap dalam kondisi aman dengan berpatokan pada rasio utang yang masih rendah sekitar 25,5% terhadap PDB. Memang, angka rasio tersebut termasuk rendah namun perlu tetap diwaspadai sebab mulai tumbuh lagi dibandingkan tahun sebelumnya. Selama ini, sejumlah negara di kawasan Eropa dalam tiga tahun terakhir ini terlilit utang karena disebabkan oleh rasio utang terhadap PDB yang tinggi. Lalu, pada titik angka rasio utang berapa yang termasuk dalam kategori mengkhawatirkan?
Pihak Kemenkeu mengungkapkan titik rawan rasio utang terhadap PDB yang harus diwaspadai apabila sudah mencapai level 60%. Namun, lain lagi ceritanya bila dikaitkan dengan rasio pembayaran utang dan bunga terhadap jumlah penerimaan ekspor atau debt to service ratio (DSR). Pada triwulan pertama 2014, angka DSR meningkat menjadi 46,31% dibandingkan angka DSR pada triwulan akhir tahun lalu yang tercatat 43,38%.
Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kemenkeu Robert Pakpahan, angka DSR 46,31% itu harus diturunkan segera karena sudah pada tahap mengkhawatirkan. Hanya, Robert menggarisbawahi bahwa angka DSR adalah kombinasi dari utang pemerintah dan swasta. Dalam setahun ini, utang luar negeri swasta memang cenderung meningkat di tengah melambatnya penyaluran kredit dari perbankan nasional.
Meski demikian, pemerintah tetap harus berupaya menekan utang baru dan mengatur alokasi penggunaan utang yang sudah ditarik untuk hal-hal yang produktif demi kemakmuran rakyat.
Hampir setiap saat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam berbagai kesempatan menyampaikan bagaimana pentingnya mengikis utang negara, tetapi nyatanya nilai utang tetap saja menanjak. Awal pekan ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merilis jumlah utang pemerintah telah menembus Rp2.507,52 triliun dengan rasio sekitar 25,5% terhadap produk domestik bruto (PDB) per Juni tahun ini. Tahun ini pemerintah bakal menambah utang baru lagi guna menutup defisit anggaran. Namun, sumber utang tersebut akan difokuskan pada penjualan SUN.
Melihat total utang pemerintah yang jauh melampaui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2014 menimbulkan pertanyaan, seberapa besar dana yang dibutuhkan pemerintah untuk melunasi cicilan pokok dan bunga utang per tahun? Dari periode Januari hingga Juni 2014, berdasarkan data terbaru Kemenkeu, pemerintah telah mengorek kocek untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang sebesar Rp223,004 triliun. Pelunasan kewajiban tersebut setara dengan 60,44% dari target yang dipatok pemerintah untuk pembayaran cicilan dan bunga utang pemerintah tahun ini.
Lebih jelas, dari total Rp223,004 triliun yang dibayarkan pemerintah tersebut meliputi cicilan pokok utang sebesar Rp154,804 triliun, terdiri atas cicilan pokok utang luar negeri Rp42,303 triliun, utang dalam negeri Rp7,16 triliun, dan cicilan pokok surat utang negara (SUN) yang mencapai Rp105,34 triliun. Adapun cicilan bunga utang tercatat Rp68,2 triliun yang meliputi cicilan bunga utang luar negeri sekitar Rp18,181 triliun, bunga utang dalam negeri sebesar Rp1,8 triliun, dan cicilan bunga SUN menembus sebesar Rp48,219 triliun.
Meski utang terus bertumbuh, pemerintah menilai masih tetap dalam kondisi aman dengan berpatokan pada rasio utang yang masih rendah sekitar 25,5% terhadap PDB. Memang, angka rasio tersebut termasuk rendah namun perlu tetap diwaspadai sebab mulai tumbuh lagi dibandingkan tahun sebelumnya. Selama ini, sejumlah negara di kawasan Eropa dalam tiga tahun terakhir ini terlilit utang karena disebabkan oleh rasio utang terhadap PDB yang tinggi. Lalu, pada titik angka rasio utang berapa yang termasuk dalam kategori mengkhawatirkan?
Pihak Kemenkeu mengungkapkan titik rawan rasio utang terhadap PDB yang harus diwaspadai apabila sudah mencapai level 60%. Namun, lain lagi ceritanya bila dikaitkan dengan rasio pembayaran utang dan bunga terhadap jumlah penerimaan ekspor atau debt to service ratio (DSR). Pada triwulan pertama 2014, angka DSR meningkat menjadi 46,31% dibandingkan angka DSR pada triwulan akhir tahun lalu yang tercatat 43,38%.
Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kemenkeu Robert Pakpahan, angka DSR 46,31% itu harus diturunkan segera karena sudah pada tahap mengkhawatirkan. Hanya, Robert menggarisbawahi bahwa angka DSR adalah kombinasi dari utang pemerintah dan swasta. Dalam setahun ini, utang luar negeri swasta memang cenderung meningkat di tengah melambatnya penyaluran kredit dari perbankan nasional.
Meski demikian, pemerintah tetap harus berupaya menekan utang baru dan mengatur alokasi penggunaan utang yang sudah ditarik untuk hal-hal yang produktif demi kemakmuran rakyat.
(hyk)