Menakar Kualitas Pilpres 2014
A
A
A
PERHELATAN Pilpres 2014 telah kita lalui bersama. Saat ini kita sedang menunggu proses rekapitulasi suara yang sesuai jadwal akan berakhir pada 22 Juli 2014. Pada hari pelaksanaan Pilpres 9 Juli lalu, masyarakat sudah disuguhi dengan pemberitaan hasil hitung cepat/quick count (QC) dari beberapa lembaga survei.
Terlepas dari kontroversi perbedaan hasil QC yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei tersebut, ada beberapa catatan proses pelaksanaan pilpres yang bisa kita jadikan pembelajaran di masa yang akan datang. Apa yang dilakukan lembaga survei dengan rilis hasil QC merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam memberikan pengawalan atas hasil pemilu. QC dan sejenisnya tentu sangat berguna sebagai mekanisme kontrol asalkan dilakukan dengan metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Partisipasi Masyarakat
Pelibatan masyarakat dalam proses pemilu merupakan hal penting yang senantiasa menjadi perhatian penyelenggara (KPU). Semakin banyak pihak yang terlibat dalam proses pemilu bisa membuat partisipasi pemilih tinggi. Dalam Pasal 246 UU 8 Tahun 2102 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dengan jelas disebutkan bahwa partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu adalah dapat dilakukan dengan cara: sosialisasi pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei tentang pemilu, dan penghitungan cepat hasil pemilu.
Pada bagian lain, keterlibatan masyarakat dalam pemantauan pemilu diatur dalam Pasal 233 UU 8 Tahun 2012. Perbedaan antara yang dilakukan lembaga survei dengan pemantau adalah; lembaga survei lebih fokus melakukan survei/QC yang berorientasi menghadirkan hasil pemilu lebih awal, sementara pemantau banyak memperhatikan sisi proses pelaksanaan. Kedua aktivitas ini kalau berjalan beriringan akan sangat baik. Pemantauan akan memantau semua prosesnya berjalan baik, lembaga survei melalui QC akan bisa memberikan data pembanding tentang hasil pemilu secara cepat, sebagai bagian dari kontrol atas rekapitulasi yang dilakukan KPU.
Temuan Pemantauan Pilpres
Dari sisi pelaksanaan pemilu, bisa jadi tantangan penyelenggara pemilu di Indonesia merupakan yang paling kompleks. Hal ini dikarenakan jumlah pemilih yang sangat banyak dan sebaran daerah yang sangat luas. Dari sisi penyelenggaraan Pilpres 2014 ini masih ditemukan beberapa masalah administratif yang mestinya tak perlu lagi terjadi. Pertama, masih adanya persoalan saat pembukaan TPS, misalnya diperiksanya logistik seperti surat suara sebelum dimulainya pencoblosan, kotak suara yang tidak diperlihatkan dalam keadaan kosong.
Dari 415 TPS yang dipantau JPPR masih ada 67 TPS (16%) yang mengalami masalah tersebut. Kedua, intimidasi kepada pemilih. Secara umum memang pelaksanaan pilpres kali ini tak terlalu banyak praktik intimidasi atau penggiringan suara ke kandidat tertentu. JPPR menemukan hanya di 41 TPS (10%) terjadi intimidasi kepada pemilih. Ketiga, masih banyak daftar pemilih tetap (DPT) yang tidak ditempel di TPS 57 TPS (14%) dari 415 TPS terpantau. Ditempelnya DPT di TPS untuk memudahkan kita mengetahui berapa jumlah DPT di TPS dan berapa pemilih yang hadir.
Khawatirnya kalau kita tidak mengetahui berapa pemilih yang hadir, sisa surat suara bisa disalahgunakan. Keempat, keterbukaan proses penghitungan suara di tingkat TPS. Ini merupakan salah satu hal penting yang perlu dipantau karena dalam pileg April lalu di antara masalah yang banyak muncul adalah saat proses penghitungan sampai rekapitulasi berjenjang dari TPS, PPS, PPK, dan seterusnya. Untuk proses di tingkat TPS, JPPR menemukan 45 TPS (15%) TPS yang proses penghitungan suaranya bermasalah. Belakangan kita mendapatkan informasi bahwa di beberapa daerah memang terjadi kesalahan dalam penulisan hasil suara di C1.
Pengabaian pada proses administrasi yang terkadang dianggap kecil/sepele terkadang menjadi pemicu terjadinya masalah yang lebih besar. Misalnya soal salah tulis dalam C1 yang dilakukan oleh petugas. Pada beberapa kasus yang terjadi seperti kesalahan penulisan angka dan penjumlahan di C1, para pihak terkait sering kali dengan enteng menyatakan bahwa itu adalah masalah kesalahan penulisan. Kecerobohan pada ranah ini mempunyai dampak serius terhadap hasil suara karena akan ada pihak yang dirugikan dan ada pihak yang diuntungkan.
Kalau di saat pileg lalu, alasan petugas kecapaian dan akhirnya dengan tidak sengaja melakukan kesalahan dalam penulisan bisa dimaklumi karena beban kerjanya yang amat berat. Tetapi saat pilpres, bebannya tak seberat saat pileg karena jenis surat suara yang hanya satu. Jangan-jangan, masih ada petugas yang dengan sengaja mencoba-coba melakukan kecurangan, siapa tahu nantinya tidak diketahui oleh publik. Pada akhirnya masalah tersebut terbongkar bersamaan dengan masifnya pengawasan publik atas proses rekapitulasi suara.
Pengingat Dini dari Proses Pileg
Secara umum, memang temuan pelanggaran yang terjadi di pilpres tak sebanyak yang terjadi di pileg. Ada beberapa catatan yang bisa menjelaskan situasi ini. Pertama, bisa jadi maraknya pelanggaran di saat pileg kemarin menjadi semacam lonceng yang membangkitkan masyarakat untuk mengawasi dan memantau semua proses, terutama saat penghitungan dan rekapitulasi suara. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya temuan keganjilan formulir C1 yang didapatkan dari laporan masyarakat.
Kedua, dalam pilpres, pihak-pihak yang berkepentingan langsung di tingkat lokal tak sebanyak di saat pileg. Banyaknya caleg tingkat kabupaten/kota, serta provinsi di daerah tentu berpengaruh terhadap situasi dan proses pelaksanaan. Pihak-pihak yang terlibat langsung seperti caleg dan tim sukses banyak yang langsung berkomunikasi dengan penyelenggara di tingkat bawah dan ini bisa mempengaruhi dan mengganggu penyelenggara. Ketiga, pasangan capres yang hanya dua pasang membuat rivalitas sangat ketat dan langsung kelihatan.
Kecenderungan dukungan masyarakat juga sangat jelas, dan ini secara langsung juga membuat daya awas masyarakat atas proses pilpres menjadi tinggi karena sama-sama tidak ingin kandidat yang dijagokan kemudian dicurangi. Siapa pun pemenang pilpres ini dan berapa pun selisih suaranya, kalau semua proses pelaksanaannya dilakukan secara jujur, adil, dan transparan tentu membuat pihak-pihak terkait akan percaya dengan hasilnya. Pemantauan dan pengawasan dalam pilpres semata-mata dilakukan untuk mengawal proses pemilu ini berlangsung secara jurdil. Partisipasi masyarakat dalam melakukan pemantauan dan pengawasan tentu patut diapresiasi sebagai bagian dari keterlibatan masyarakat dalam menyukseskan Pemilu 2014.
M AFIFUDDIN
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan
Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
Terlepas dari kontroversi perbedaan hasil QC yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei tersebut, ada beberapa catatan proses pelaksanaan pilpres yang bisa kita jadikan pembelajaran di masa yang akan datang. Apa yang dilakukan lembaga survei dengan rilis hasil QC merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam memberikan pengawalan atas hasil pemilu. QC dan sejenisnya tentu sangat berguna sebagai mekanisme kontrol asalkan dilakukan dengan metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Partisipasi Masyarakat
Pelibatan masyarakat dalam proses pemilu merupakan hal penting yang senantiasa menjadi perhatian penyelenggara (KPU). Semakin banyak pihak yang terlibat dalam proses pemilu bisa membuat partisipasi pemilih tinggi. Dalam Pasal 246 UU 8 Tahun 2102 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dengan jelas disebutkan bahwa partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu adalah dapat dilakukan dengan cara: sosialisasi pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei tentang pemilu, dan penghitungan cepat hasil pemilu.
Pada bagian lain, keterlibatan masyarakat dalam pemantauan pemilu diatur dalam Pasal 233 UU 8 Tahun 2012. Perbedaan antara yang dilakukan lembaga survei dengan pemantau adalah; lembaga survei lebih fokus melakukan survei/QC yang berorientasi menghadirkan hasil pemilu lebih awal, sementara pemantau banyak memperhatikan sisi proses pelaksanaan. Kedua aktivitas ini kalau berjalan beriringan akan sangat baik. Pemantauan akan memantau semua prosesnya berjalan baik, lembaga survei melalui QC akan bisa memberikan data pembanding tentang hasil pemilu secara cepat, sebagai bagian dari kontrol atas rekapitulasi yang dilakukan KPU.
Temuan Pemantauan Pilpres
Dari sisi pelaksanaan pemilu, bisa jadi tantangan penyelenggara pemilu di Indonesia merupakan yang paling kompleks. Hal ini dikarenakan jumlah pemilih yang sangat banyak dan sebaran daerah yang sangat luas. Dari sisi penyelenggaraan Pilpres 2014 ini masih ditemukan beberapa masalah administratif yang mestinya tak perlu lagi terjadi. Pertama, masih adanya persoalan saat pembukaan TPS, misalnya diperiksanya logistik seperti surat suara sebelum dimulainya pencoblosan, kotak suara yang tidak diperlihatkan dalam keadaan kosong.
Dari 415 TPS yang dipantau JPPR masih ada 67 TPS (16%) yang mengalami masalah tersebut. Kedua, intimidasi kepada pemilih. Secara umum memang pelaksanaan pilpres kali ini tak terlalu banyak praktik intimidasi atau penggiringan suara ke kandidat tertentu. JPPR menemukan hanya di 41 TPS (10%) terjadi intimidasi kepada pemilih. Ketiga, masih banyak daftar pemilih tetap (DPT) yang tidak ditempel di TPS 57 TPS (14%) dari 415 TPS terpantau. Ditempelnya DPT di TPS untuk memudahkan kita mengetahui berapa jumlah DPT di TPS dan berapa pemilih yang hadir.
Khawatirnya kalau kita tidak mengetahui berapa pemilih yang hadir, sisa surat suara bisa disalahgunakan. Keempat, keterbukaan proses penghitungan suara di tingkat TPS. Ini merupakan salah satu hal penting yang perlu dipantau karena dalam pileg April lalu di antara masalah yang banyak muncul adalah saat proses penghitungan sampai rekapitulasi berjenjang dari TPS, PPS, PPK, dan seterusnya. Untuk proses di tingkat TPS, JPPR menemukan 45 TPS (15%) TPS yang proses penghitungan suaranya bermasalah. Belakangan kita mendapatkan informasi bahwa di beberapa daerah memang terjadi kesalahan dalam penulisan hasil suara di C1.
Pengabaian pada proses administrasi yang terkadang dianggap kecil/sepele terkadang menjadi pemicu terjadinya masalah yang lebih besar. Misalnya soal salah tulis dalam C1 yang dilakukan oleh petugas. Pada beberapa kasus yang terjadi seperti kesalahan penulisan angka dan penjumlahan di C1, para pihak terkait sering kali dengan enteng menyatakan bahwa itu adalah masalah kesalahan penulisan. Kecerobohan pada ranah ini mempunyai dampak serius terhadap hasil suara karena akan ada pihak yang dirugikan dan ada pihak yang diuntungkan.
Kalau di saat pileg lalu, alasan petugas kecapaian dan akhirnya dengan tidak sengaja melakukan kesalahan dalam penulisan bisa dimaklumi karena beban kerjanya yang amat berat. Tetapi saat pilpres, bebannya tak seberat saat pileg karena jenis surat suara yang hanya satu. Jangan-jangan, masih ada petugas yang dengan sengaja mencoba-coba melakukan kecurangan, siapa tahu nantinya tidak diketahui oleh publik. Pada akhirnya masalah tersebut terbongkar bersamaan dengan masifnya pengawasan publik atas proses rekapitulasi suara.
Pengingat Dini dari Proses Pileg
Secara umum, memang temuan pelanggaran yang terjadi di pilpres tak sebanyak yang terjadi di pileg. Ada beberapa catatan yang bisa menjelaskan situasi ini. Pertama, bisa jadi maraknya pelanggaran di saat pileg kemarin menjadi semacam lonceng yang membangkitkan masyarakat untuk mengawasi dan memantau semua proses, terutama saat penghitungan dan rekapitulasi suara. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya temuan keganjilan formulir C1 yang didapatkan dari laporan masyarakat.
Kedua, dalam pilpres, pihak-pihak yang berkepentingan langsung di tingkat lokal tak sebanyak di saat pileg. Banyaknya caleg tingkat kabupaten/kota, serta provinsi di daerah tentu berpengaruh terhadap situasi dan proses pelaksanaan. Pihak-pihak yang terlibat langsung seperti caleg dan tim sukses banyak yang langsung berkomunikasi dengan penyelenggara di tingkat bawah dan ini bisa mempengaruhi dan mengganggu penyelenggara. Ketiga, pasangan capres yang hanya dua pasang membuat rivalitas sangat ketat dan langsung kelihatan.
Kecenderungan dukungan masyarakat juga sangat jelas, dan ini secara langsung juga membuat daya awas masyarakat atas proses pilpres menjadi tinggi karena sama-sama tidak ingin kandidat yang dijagokan kemudian dicurangi. Siapa pun pemenang pilpres ini dan berapa pun selisih suaranya, kalau semua proses pelaksanaannya dilakukan secara jujur, adil, dan transparan tentu membuat pihak-pihak terkait akan percaya dengan hasilnya. Pemantauan dan pengawasan dalam pilpres semata-mata dilakukan untuk mengawal proses pemilu ini berlangsung secara jurdil. Partisipasi masyarakat dalam melakukan pemantauan dan pengawasan tentu patut diapresiasi sebagai bagian dari keterlibatan masyarakat dalam menyukseskan Pemilu 2014.
M AFIFUDDIN
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan
Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
(hyk)