Kredit Bank Melambat
A
A
A
SETIDAKNYA ada dua hal yang diharapkan kalangan pengusaha terhadap siapa pun calon presiden (capres) kelak yang mendapat mandat dari rakyat. Pertama, penciptaan iklim dan situasi yang kondusif bagi bertumbuhnya perekonomian nasional.
Kedua, tingkat suku bunga kredit yang ideal untuk dunia usaha. Selama ini, di mata pengusaha, terutama kalangan menengah ke bawah, tingkat suku bunga kredit yang berkisar 12% hingga 14% sangat memberatkan. Karena itu, mereka berharap kelak presiden terpilih dapat menemukan solusi bagaimana caranya menurunkan suku bunga kredit pada level satu digit, misalnya pada kisaran 9%. Tapi mungkinkah harapan itu bisa terwujud? Untuk menekan tingkat suku bunga kredit menuju level satu digit memang tidak mudah, sebab kalangan bankir telanjur menikmati suku bunga tinggi selama ini.
Perbankan di Indonesia, berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menempati urutan tertinggi di ASEAN yang memperoleh margin bunga bersih (net interest margin/NIM). Perolehan keuntungan perbankan nasional yang tinggi tecermin dari margin bunga bersih yang mencapai sekitar 4,89% sepanjang tahun lalu. Bandingkan dengan NIM perbankan sejumlah negara tetangga, di antaranya Filipina sekitar 3,3%, disusul Thailand 2,6%, Malaysia 2,3%, dan Singapura hanya 1,5%. Namun, untuk tahun ini, kalangan bankir harus memutar strategi guna tetap bisa menikmati keuntungan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Pasalnya, Bank Indonesia (BI) meminta perbankan nasional mengerem laju pertumbuhan kredit pada kisaran 15% hingga 17% pada tahun ini. Permintaan itu seiring dengan perlambatan pertumbuhan perekonomian nasional yang diprediksi hanya pada level 5,1%. Selain pertimbangan situasi perekonomian yang melambat, kondisi perbankan dinilai cenderung overheating sehingga laju pengucuran kredit mulai harus dibatasi. Dalam dua tahun terakhir, tercatat pertumbuhan kredit perbankan selalu di atas 20%. Pada 2013, pertumbuhan kredit mencapai 21,63% dan bahkan pada 2012 tercatat sekitar 23,1%.
Rupanya permintaan bank sentral terhadap perbankan nasional untuk memperlambat penyaluran kredit mulai ”berbuah”. Hal itu terlihat pada pertumbuhan kredit yang mulai mengecil. Dari data yang dipublikasi BI belum lama ini terungkap bahwa dalam penyaluran kredit terjadi penurunan dari sekitar 18,5% pada April 2014 menjadi 17,4% pada Mei 2014. Pengucuran kredit perbankan pada Mei lalu tercatat sebesar Rp3.428 triliun. Pelambatan kredit tersebut terutama pada kredit modal kerja (KMK). Data menunjukkan KMK pada Mei lalu hanya tumbuh 12,9%, bandingkan dengan sebulan sebelumnya yang masih tercatat sekitar 15,5%.
Pelambatan penyaluran KMK terbesar dialami sektor industri pengolahan. Sementara itu, pihak OJK akan memberikan perhatian khusus kepada perbankan nasional yang masih menyalurkan kredit di atas ketentuan yang telah disepakati. Dalam beberapa bulan terakhir ini, pihak OJK mengaku sudah melakukan evaluasi terhadap kinerja perbankan nasional mengenai penyaluran kredit. Berdasarkan data OJK, pengucuran kredit perbankan rata-rata telah mencapai sekitar 15,14% sepanjang kuartal pertama 2014. Pembatasan penyaluran kredit tersebut seharusnya tidak terjadi di tengah melemahnya perekonomian.
Tapi, apa boleh buat, demi keamanan perbankan nasional kebijakan itu harus ditempuh. Sebab ada kekhawatiran jika pengucuran kredit melebihi target yang ditetapkan, besar kemungkinan hal itu berdampak pada likuiditas perbankan. Meski kinerja perbankan nasional cukup meyakinkan selama ini, sayang sekali belum bisa bersuara nyaring di lingkungan ASEAN. Karena itu, muncul kekhawatiran apakah nantinya perbankan nasional bisa bersaing dengan perbankan di wilayah negara serumpun saat persaingan perbankan ASEAN dibuka bebas pada 2020 mendatang?
Selama ini, konsolidasi di lingkungan perbankan milik negara sulit sekali diwujudkan. Berbagai hambatan terus mengganjal. Contoh paling aktual adalah rencana Bank BTN diambil alih Bank Mandiri kandas sebelum dicoba. Karena itu, kita berharap, siapa pun presiden kelak yang memimpin negeri ini harus punya tekad membentuk satu bank dengan skala lebih besar yang bisa diperhitungkan. Tentu tidak lupa pula mengoreksi suku bunga kredit sekarang yang dinilai pengusaha terlalu tinggi.
Kedua, tingkat suku bunga kredit yang ideal untuk dunia usaha. Selama ini, di mata pengusaha, terutama kalangan menengah ke bawah, tingkat suku bunga kredit yang berkisar 12% hingga 14% sangat memberatkan. Karena itu, mereka berharap kelak presiden terpilih dapat menemukan solusi bagaimana caranya menurunkan suku bunga kredit pada level satu digit, misalnya pada kisaran 9%. Tapi mungkinkah harapan itu bisa terwujud? Untuk menekan tingkat suku bunga kredit menuju level satu digit memang tidak mudah, sebab kalangan bankir telanjur menikmati suku bunga tinggi selama ini.
Perbankan di Indonesia, berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menempati urutan tertinggi di ASEAN yang memperoleh margin bunga bersih (net interest margin/NIM). Perolehan keuntungan perbankan nasional yang tinggi tecermin dari margin bunga bersih yang mencapai sekitar 4,89% sepanjang tahun lalu. Bandingkan dengan NIM perbankan sejumlah negara tetangga, di antaranya Filipina sekitar 3,3%, disusul Thailand 2,6%, Malaysia 2,3%, dan Singapura hanya 1,5%. Namun, untuk tahun ini, kalangan bankir harus memutar strategi guna tetap bisa menikmati keuntungan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Pasalnya, Bank Indonesia (BI) meminta perbankan nasional mengerem laju pertumbuhan kredit pada kisaran 15% hingga 17% pada tahun ini. Permintaan itu seiring dengan perlambatan pertumbuhan perekonomian nasional yang diprediksi hanya pada level 5,1%. Selain pertimbangan situasi perekonomian yang melambat, kondisi perbankan dinilai cenderung overheating sehingga laju pengucuran kredit mulai harus dibatasi. Dalam dua tahun terakhir, tercatat pertumbuhan kredit perbankan selalu di atas 20%. Pada 2013, pertumbuhan kredit mencapai 21,63% dan bahkan pada 2012 tercatat sekitar 23,1%.
Rupanya permintaan bank sentral terhadap perbankan nasional untuk memperlambat penyaluran kredit mulai ”berbuah”. Hal itu terlihat pada pertumbuhan kredit yang mulai mengecil. Dari data yang dipublikasi BI belum lama ini terungkap bahwa dalam penyaluran kredit terjadi penurunan dari sekitar 18,5% pada April 2014 menjadi 17,4% pada Mei 2014. Pengucuran kredit perbankan pada Mei lalu tercatat sebesar Rp3.428 triliun. Pelambatan kredit tersebut terutama pada kredit modal kerja (KMK). Data menunjukkan KMK pada Mei lalu hanya tumbuh 12,9%, bandingkan dengan sebulan sebelumnya yang masih tercatat sekitar 15,5%.
Pelambatan penyaluran KMK terbesar dialami sektor industri pengolahan. Sementara itu, pihak OJK akan memberikan perhatian khusus kepada perbankan nasional yang masih menyalurkan kredit di atas ketentuan yang telah disepakati. Dalam beberapa bulan terakhir ini, pihak OJK mengaku sudah melakukan evaluasi terhadap kinerja perbankan nasional mengenai penyaluran kredit. Berdasarkan data OJK, pengucuran kredit perbankan rata-rata telah mencapai sekitar 15,14% sepanjang kuartal pertama 2014. Pembatasan penyaluran kredit tersebut seharusnya tidak terjadi di tengah melemahnya perekonomian.
Tapi, apa boleh buat, demi keamanan perbankan nasional kebijakan itu harus ditempuh. Sebab ada kekhawatiran jika pengucuran kredit melebihi target yang ditetapkan, besar kemungkinan hal itu berdampak pada likuiditas perbankan. Meski kinerja perbankan nasional cukup meyakinkan selama ini, sayang sekali belum bisa bersuara nyaring di lingkungan ASEAN. Karena itu, muncul kekhawatiran apakah nantinya perbankan nasional bisa bersaing dengan perbankan di wilayah negara serumpun saat persaingan perbankan ASEAN dibuka bebas pada 2020 mendatang?
Selama ini, konsolidasi di lingkungan perbankan milik negara sulit sekali diwujudkan. Berbagai hambatan terus mengganjal. Contoh paling aktual adalah rencana Bank BTN diambil alih Bank Mandiri kandas sebelum dicoba. Karena itu, kita berharap, siapa pun presiden kelak yang memimpin negeri ini harus punya tekad membentuk satu bank dengan skala lebih besar yang bisa diperhitungkan. Tentu tidak lupa pula mengoreksi suku bunga kredit sekarang yang dinilai pengusaha terlalu tinggi.
(hyk)