Menahan Diri

Sabtu, 12 Juli 2014 - 12:37 WIB
Menahan Diri
Menahan Diri
A A A
SERUAN agar semua pihak yang terkait pilpres untuk menahan diri, tidak melakukan provokasi atau tindakan-tindakan yang menebar kebencian dan memancing emosi, harus terus didengungkan.

Capres-cawapres nomor urut 1 maupun nomor urut 2 harus terus-menerus menunjukkan sikap sebagai seorang negarawan yang mampu mengayomi dan melindungi seluruh bangsa Indonesia saat dipercaya menjadi pemenang pilpres pada 22 Juli nanti. Sikap bijak dan santun dari para capres maupun cawapres akan membawa suasana politik yang panas pasca-Pemilu 9 Juli berlangsung aman dan damai, akan membawa situasi negeri ini semakin baik dan kondusif menjelang pergantian pemerintahan secara demokratis.

Jika para capres-cawapres mampu menahan diri, tenang, santun, mengendalikan emosi, tentu para tim sukses, pendukung, dan masyarakat bawah yang sedang resah dan bingung karena klaim kemenangan atas dasar hasil hitung cepat bisa didinginkan. Kita tahu persaingan antardua kandidat dalam pilpres ini sangatlah ketat seperti diprediksi sejak awal. Apalagi diperkirakan selisih perolehan kedua kandidat tidak terlalu banyak alias tipis. Karena itu, dituntut jiwa besar dan ksatria dari dua calon untuk siap kalah, di samping siap menang.

Siap kalah memang tidak gampang. Untuk sekadar mengucapkan pun berat jika memang sejak awal hatinya hanya menyiapkan satu skenario, menang. Jika seorang capres maupun cawapres sejak awal maunya ingin menang, menang, dan menang, alangkah ruginya dia. Tidak ada kata kalah dalam kamus hidupnya. Capres seperti ini akan sulit menerima kekalahan baik lahir maupun batin. Dia akan cenderung menyalahkan orang lain dan tidak siap menerima kenyataan pahit jika nanti akhirnya KPU mengumumkan rivalnya yang menang.

Dalam kompetisi yang sangat sengit ini capres yang lebih siap menerima kekalahan dialah yang akan menjadi “pemenang” sejati meski nanti faktanya dia kalah. Kemenangan bukanlah segala-segalanya. Tapi, perjuangan untuk menggapai kemenangan itulah yang akan menjadi pelajaran hidup yang paling berharga. Siapakah capres yang sudah siap kalah itu? Kita berharap dua capres kita memiliki sikap itu.

Sebagai calon pemimpin negara sebesar Indonesia, hati dan jiwa capres harus terlatih dan teruji untuk menerima kenyataan paling pahit dalam hidupnya. Dari sanalah ketangguhan dan kematangan seorang pemimpin itu ditempa. Sejarah telah mencatat para pemimpin besar dunia rata-rata lahir dari masa-masa sulit yang penuh cobaan dan rintangan. Jiwa kepemimpinan bukanlah barang instan yang bisa dipoles kemudian dieluk-elukkan dan ramai-ramai diteriakkan sebagai pemimpin idaman.

Rakyat telah menjatuhkan pilihannya kepada capres nomor 1 maupun capres nomor 2. Kita tunggu, awasi dan doakan agar para komisioner KPU bisa bekerja objektif, profesional, jujur, tanpa terintimidasi dalam penghitungan suara pilpres. Setelah itu siapkan hati dan jiwa kita untuk menerima apa pun hasil penghitungan KPU itu.

Jika memang tidak terima dengan hasil itu, capres bisa mengajukan banding ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk kemudian diputuskan secara final dan mengikat. Alangkah baiknya dalam masa menunggu ini para tim sukses dan pendukung untuk menahan diri. Jangan mencederai demokrasi dengan usaha memaksakan dan memonopoli kebenaran. Menganggap diri paling benar dan yang lain salah adalah bentuk ketidakpercayaan diri.

Apalagi sampai keluar kata-kata jika hitungan KPU berbeda dengan quick count versinya, berarti KPU salah. Ini jelas bentuk arogansi yang tidak mencerminkan sikap intelektual. Sangat disayangkan. Mari kita semua menahan diri.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9947 seconds (0.1#10.140)