DPR Dinilai Berlindung di Balik UU MD 3
A
A
A
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritisi beberapa pasal dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang baru disahkan melalui paripurna DPR.
Adapun yang dikritisi, salah satunya pasal mengenai perlunya izin dari Mahkamah kehormatan Dewan dari DPR jika anggota Dewan akan diperiksa oleh aparat penegak hukum.
Pada pasal 245 ayat 1 bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus melalui persetujuan tertulis dari mahkamah kehormatan dewan.
Aturan ini dinilai memperpanjang administrasi hukum yang sedang berjalan. "Dengan waktu penerbitan surat izin tertulis dari mahkamah kehormatan dewan hingga 30 hari, ada kemungkinan pihak yang dipanggil untuk jadi saksi itu menghilangkan dokumen dan barang bukti," ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan pada konferensi pers di Sekretariat ICW, Jakarta Selatan, Minggu (13/7/2014).
Menurut Abdullah, preseden ini sudah terjadi pada UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU itu, kepala daerah yang diperiksa harus dapat persetujuan dari presiden. Namun, belakangan akhirnya dianulir setelah diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Tapi sekarang DPR malah melakukan itu. Ini terkesan ada resistensi DPR terhadap pemberantasan korupsi, sehingga ada proteksi internal untuk melindungi dirinya," ujarnya.
Menurutnya, mahkamah kehormatan dewan melalui UU MD3 bukan lagi hanya mengurusi kode etik seperti saat bernama Badan Kehormatan tapi kewenangannya sudah masuk ke ranah penegakan hukum.
Abdullah mengatakan, bagi penyidik kejaksaan dan kepolisian peluang untuk menyelidiki anggota DPR, tertutup dengan adanya UU ini.
Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi masih bisa menyidik karena lembaga tersebut punya UU lain yang bersifat khusus (lex specialist). Namun, penyidik KPK pun hanya bisa memeriksa anggota DPR tanpa peretujuan MK DPR jika kasus yang ditangani sudah naik ke tahap penyidikan.
Adapun yang dikritisi, salah satunya pasal mengenai perlunya izin dari Mahkamah kehormatan Dewan dari DPR jika anggota Dewan akan diperiksa oleh aparat penegak hukum.
Pada pasal 245 ayat 1 bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus melalui persetujuan tertulis dari mahkamah kehormatan dewan.
Aturan ini dinilai memperpanjang administrasi hukum yang sedang berjalan. "Dengan waktu penerbitan surat izin tertulis dari mahkamah kehormatan dewan hingga 30 hari, ada kemungkinan pihak yang dipanggil untuk jadi saksi itu menghilangkan dokumen dan barang bukti," ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan pada konferensi pers di Sekretariat ICW, Jakarta Selatan, Minggu (13/7/2014).
Menurut Abdullah, preseden ini sudah terjadi pada UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU itu, kepala daerah yang diperiksa harus dapat persetujuan dari presiden. Namun, belakangan akhirnya dianulir setelah diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Tapi sekarang DPR malah melakukan itu. Ini terkesan ada resistensi DPR terhadap pemberantasan korupsi, sehingga ada proteksi internal untuk melindungi dirinya," ujarnya.
Menurutnya, mahkamah kehormatan dewan melalui UU MD3 bukan lagi hanya mengurusi kode etik seperti saat bernama Badan Kehormatan tapi kewenangannya sudah masuk ke ranah penegakan hukum.
Abdullah mengatakan, bagi penyidik kejaksaan dan kepolisian peluang untuk menyelidiki anggota DPR, tertutup dengan adanya UU ini.
Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi masih bisa menyidik karena lembaga tersebut punya UU lain yang bersifat khusus (lex specialist). Namun, penyidik KPK pun hanya bisa memeriksa anggota DPR tanpa peretujuan MK DPR jika kasus yang ditangani sudah naik ke tahap penyidikan.
(dam)