Wamenkum HAM: Amicus Curiae Cari Kebenaran Hakiki Kasus Century

Sabtu, 12 Juli 2014 - 02:38 WIB
Wamenkum HAM: Amicus Curiae Cari Kebenaran Hakiki Kasus Century
Wamenkum HAM: Amicus Curiae Cari Kebenaran Hakiki Kasus Century
A A A
JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mendukung langkah 34 tokoh yang mengajukan pendapat dan masukan dalam bentuk amicus curiae terkait kasus Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan bailout penyelamatan Bank Century. Amicus curiae ini disampaikan tokoh-tokoh tersebut kepada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

"Ini (amicus curiae) bukan bentuk intervensi kepada pengadilan, ini sebagai dukungan kepada Pengadilan Tipikor, kami kepada KPK, dukungan kami agar proses hukum, demi keadilan hakiki betul-betul muncul dan hadir, betul-betul lahir,"tegas Denny dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat 11 Juli 2014.

Oleh karena itu, dirinya menyampaikan terima kasih kepada PN Jakarta Pusat atas telah diterimanya amicus curiae dari 34 tokoh ini pada Kamis kemarin.

Pendapat dan masukan ini diberikan sehubungan dengan perkembangan persidangan yang menunjukan kasus ini tidak lagi sekadar mencari kebenaran terkait tuduhan korupsi oleh terdakwa, tetapi juga menyoroti kebijakan publik terkait penyelamatan Bank Century yang dapat berdampak luas bagi kehidupan bernegara, praktik kenegaraan dan marwah penegakan hukum di mata rakyat maupun lingkup internasional.

Dasar hukum, Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan bailout penyelamatan Bank Century, lanjut Denny ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2008. Ia menyayangkan munculnya di persidangan kasus Bank Century tentang Perppu ini yang menyebut penerbitan Perppu itu bukan tolak ukur adanya krisis.

"Kita sama-sama paham, bahwa konsep Perppu yang diatur dalam Undang Undang Dasar itu syarat konstitusionalitasnya jelas, kalimat yang sering muncul adalah tiga kata kegentingan yang memaksa," tegasnya.

"Saya pikir jelas dan terang bahwa kegentingan yang memaksa itu meskipun tidak sama persis sebangun serupa tapi boleh kita analogikan dengan bahasa krisis macam-macam bentuknya bisa krisis politik, bisa krisis ekonomi, tapi Perppu yang lahir tahun 2008 ini adalah Perppu yang terkait dengan krisis ekonomi," tambahnya.

Menurut Denny, kelahiran Perppu tidak mungkin dan tidak boleh tanpa dasar kegentingan yang memaksa. Selain itu, Perppu secara politik harus disetujui menjadi undang-undang oleh DPR.

"Itu terjadi, itu maknanya DPR mengakui alasan kegentingan yang memaksa yang digunakan Presiden pada saat menerbitkan Perppu itu," jelasnya.

Sehingga, sambungnya dengan argumentasi ini tahun 2008 baik secara hukum ketatanegaraan kegentingan yang memaksa terpenuhi dengan Presiden mengeluarkan Perppu. Menurut Denny, kegentingan yang memaksa ini telah diafirmasi dan dikonfirmasi oleh DPR.

"Menurut saya ini perlu ditekankan," ujarnya.

Sedangkan Praktisi Hukum Todung Mulya Lubis menilai dalam persidangan kasus Bank Century bukan hanya menuntut Budi Mulya, akan tetapi juga terjadi kriminalisasi kebijakan oleh pejabat-pejabat Bank Indonesia dalam penyelamatan bank century. Padahal, jika tidak di selamatkan akan menggangu perbankan indonesia.

"Publik tidak semuanya tahu apa yang diambil oleh menteri keungan dan gubernur indonesia. Publik juga tidak mengetahui pada saat krisis Bank Indonesia diminta oleh bank-bank bumn menambahkan bantuan likuiditasnya, seperti BRI, BNI dan Bank Mandiri," ungkapnya.

Todung menjelaskan ketika kebijakan di ambil, mudah menilai secara post factum bahwa kebijakan itu salah dan benar ketika kebijakan sudah di ambil. Menurut dia, mengadili kebijakan adalah suatu langkah yang salah.

"Pengadilan punya tanggung jawab moral, tangggung jawab moral menyelamatkan perekonomian nasional," sebutnya.

Kata Todung, pengadilan membuat putusan seolah membuat keadilan tanpa dampak sosial, dampak politik.

"Dalam postfactum analisis, mudah untuk menyalahkan kebijakan yg diambil. Padahal, bank-bank besar sekalipun dibantu oleh BI untuk mengatasi krisis likuiditas," ujarnya

Dirinya pun memahami apa yang terjadi saat itu. Ada efek domino yang akan merembet pada hal-hal lain.

"Saya apresiasi dengan Boediono tidak ada niat jahat, tidak ada niat memperkaya diri. Boediono bisa memperkaya diri sebagai gubernur BI tapi nyatanya tidak dengan keserderhanaannya," tegasnya.

"Saya sangat kecewa keputusan kolektif dewan gubernur dipersalahkan, bukan waktunya menjadi pahlawan kesiangan. Disinilah kriminalisasi kebijakan degn diboncengi watak-watak sebagai pahlawan kesiangan," pungkasnya.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7441 seconds (0.1#10.140)