Ujian Kedewasaan Demokrasi Indonesia
A
A
A
TANGGAL 9 Juli 2014 telah menjadi momentum sejarah bagi bangsa Indonesia, karena pada hari itu rakyat Indonesia telah menentukan pilihannya untuk memilih calon presiden mereka yang baru untuk 5 tahun ke depan.
Pemilihan presiden kali ini tercatat sebagai pemilihan presiden yang paling ketat sepanjang sejarah pemilihan presiden secara langsung di Indonesia, ketat dari aspek persaingan antarkandidat yang hampir memiliki kekuatan dan kualitas yang sama, juga ketat dari aspek pendukung, karena hingga hari terakhir sebelum pemilihan, berdasarkan survei-survei yang ada prediksi selisih persentase kemenangan keduanya hanya terpaut tipis di angka satu digit dan bahkan berbeda-beda mengenai prediksi siapa yang menang.
Banyak kekhawatiran yang muncul dengan ketatnya persaingan antarpasangan capres dan pendukungnya kali ini. Berbagai kelompok masyarakat saling berargumentasi membela dan mempromosikan capres jagoannya. Media sosial, seperti Twitter, Facebook, dibanjiri oleh opini dan argumentasi yang sama. Belum lagi media elektronik dan cetak yang selalu mencari berita dan berbagai kampanye-kampanye hitam yang selalu menarik untuk diperdebatkan.
Silang pendapat, pernyataan yang simpang siur dari para tokoh dan elite politik datang silih berganti dan sulit diketahui lagi mana yang benar dan yang salah. Moral, etika, dan kejujuran begitu mudah untuk dikorbankan demi sebuah tujuan dan ambisi kekuasaan. Satu hal yang menarik dari fenomena Pilpres 2014 adalah meningkatnya antusiasme dan kesadaran berpolitik masyarakat Indonesia.
Kesadaran akan pentingnya menentukan pilihan, kesadaran menggunakan hak politik, kesadaran bahwa dengan memilih mereka ikut berperan dalam menentukan arah dan masa depan bangsa dan negaranya. Masyarakat pun sudah semakin pintar dan cerdas dalam menentukan pilihannya. Pemilih rasional semakin meningkat dengan semakin terbukanya akses informasi melalui berbagai media elektronik dan cetak.
Debat kandidat yang dilakukan secara terbuka semakin membuka mata dan telinga pemilih dalam menentukan pilihannya. Secara proses dan metode yang digunakan boleh dikatakan demokrasi di Indonesia sudah mengalami kemajuan. Tapi, secara sikap dan perilaku dari para pelaku demokrasi itu sendiri tampaknya masih dipertanyakan. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya bentuk pemaksaan, kampanye hitam, fitnah, kebohongan dari para tokoh politik, partai atau pendukung masing-masing calon untuk memenangkan kandidatnya.
Banyak terjadi retaknya persahabatan, pertemanan, dan bahkan persaudaraan karena perbedaan pandangan soal calon presiden yang dipilihnya. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana sikap yang akan mereka tunjukkan dalam menerima hasil dari proses pilpres ini nantinya. Di sinilah tingkat kedewasaan demokrasi Indonesia akan diuji.
Saat ini kita tengah memasuki tahap yang paling krusial dalam proses Pilpres 2014, yaitu perhitungan suara yang akan menentukan siapa yang akan menjadi pemenang dalam pertarungan pilpres ini. Seperti telah diduga, ketatnya persaingan dan tipisnya perbedaan angka dukungan di antara kedua capres telah menimbulkan ketegangan di antara kedua kubu dan pendukungnya.
Perbedaan hasil perhitungan cepat (quick count) dari lembaga-lembaga survei yang ada, telah membuat masing-masing kubu mendeklarasikan kemenangannya. Langkah ini tentunya akan sangat membingungkan masyarakat luas dan menimbulkan ketegangan di antara pendukung kedua kubu yang bertarung.
Apalagi dengan adanya pernyataan-pernyataan yang bersikap provokatif dari para pemimpin dan elite partai masing-masing kubu, akan semakin menambah ketegangan dan sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal antarpendukung kedua kubu yang bertarung. Melihat ketegangan dan kesimpangsiuran yang terjadi, sangat terlihat bahwa KPU belum begitu siap dalam menghadapi situasi seperti ini.
Tindakan cepat dari Presiden SBY dengan membuat konferensi pers dan pemanggilan kedua kubu yang bertarung sudah sangat tepat dan patut diapresiasi, paling tidak untuk meredam ketegangan yang ada. Tampaknya KPU juga perlu bertindak cepat dan tegas menyikapi polemik hasil quick count ini. Media massa pun seharusnya bersikap netral demi kepentingan bangsa dan negara.
Saran untuk KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu adalah, pertama, KPU seharusnya menjadi satu-satunya sumber yang dapat mengeluarkan hasil penghitungan pemilu, baik penghitungan sementara melalui penghitungan cepat maupun penghitungan hasil sesungguhnya (real count).
Kedua, seharusnya ada peraturan dari KPU tentang proses deklarasi kemenangan dari pihak-pihak yang bertarung, di mana deklarasi kemenangan hanya boleh dilakukan setelah hasil perhitungan resmi dari KPU dikeluarkan.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, sesungguhnya kedewasaan demokrasi di Indonesia sedang diuji. Apakah kita bisa bersikap dewasa dalam berdemokrasi? Apakah kita bisa dewasa dalam melihat perbedaan? Dan apakah kita bisa bersikap dewasa dalam menyikapi hasil dari pilpres ini?
Berdemokrasi secara dewasa adalah berdemokrasi tanpa paksaan dan intimidasi, tanpa kampanye hitam, tanpa ada saling memfitnah, menghormati perbedaan dan pendapat pihak lain tanpa harus mengorbankan pertemanan, persahabatan, apalagi persaudaraan. Kedewasaan berdemokrasi dapat dilihat dari cara berkampanye yang lebih menonjolkan visi, misi, program kerja dan target-target yang akan dicapai ketimbang menceritakan kejelekan-kejelekan dan kelemahan pihak lawan.
Kedewasaan berdemokrasi juga terpancar dari proses berjalannya pemungutan suara yang berlangsung dalam suasana aman dan damai, bebas dari kecurangan dan upaya-upaya manipulasi perhitungan suara. Dan, pada akhirnya kedewasaan berdemokrasi juga akan terlihat dari bagaimana kita merespons hasil perhitungan suara, berdemokrasi secara dewasa adalah mau menerima apapun hasil yang diperoleh secara jujur dan adil tanpa perlu mencari-cari kesalahan dan alasan-alasan kecurangan.
Kedewasaan berdemokrasi seharusnya ditunjukkan oleh para pasangan capres yang bertarung, para elite dan pimpinan partai pendukung, yang secara otomatis akan diikuti oleh para pendukung-pendukungnya di tingkat akar rumput. Sehingga, ketatnya persaingan tidak akan menimbulkan konflik horizontal yang pastinya akan merugikan bangsa dan rakyat Indonesia itu sendiri.
Yang menang jangan jemawa yang kalah harus legawa, pendukung tidak perlu marah jika jagoannya kalah. Karena, siapapun pemenangnya dia tetap presiden kita semua. Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa dan hanya satu presiden untuk Indonesia tercinta. Semoga, kita semakin dewasa dalam berdemokrasi!
HANDI SAPTA MUKTI, SSI, MM
Praktisi Manajemen dan Teknologi Informasi
Pemerhati Masalah Sosial & Lingkungan
Pemilihan presiden kali ini tercatat sebagai pemilihan presiden yang paling ketat sepanjang sejarah pemilihan presiden secara langsung di Indonesia, ketat dari aspek persaingan antarkandidat yang hampir memiliki kekuatan dan kualitas yang sama, juga ketat dari aspek pendukung, karena hingga hari terakhir sebelum pemilihan, berdasarkan survei-survei yang ada prediksi selisih persentase kemenangan keduanya hanya terpaut tipis di angka satu digit dan bahkan berbeda-beda mengenai prediksi siapa yang menang.
Banyak kekhawatiran yang muncul dengan ketatnya persaingan antarpasangan capres dan pendukungnya kali ini. Berbagai kelompok masyarakat saling berargumentasi membela dan mempromosikan capres jagoannya. Media sosial, seperti Twitter, Facebook, dibanjiri oleh opini dan argumentasi yang sama. Belum lagi media elektronik dan cetak yang selalu mencari berita dan berbagai kampanye-kampanye hitam yang selalu menarik untuk diperdebatkan.
Silang pendapat, pernyataan yang simpang siur dari para tokoh dan elite politik datang silih berganti dan sulit diketahui lagi mana yang benar dan yang salah. Moral, etika, dan kejujuran begitu mudah untuk dikorbankan demi sebuah tujuan dan ambisi kekuasaan. Satu hal yang menarik dari fenomena Pilpres 2014 adalah meningkatnya antusiasme dan kesadaran berpolitik masyarakat Indonesia.
Kesadaran akan pentingnya menentukan pilihan, kesadaran menggunakan hak politik, kesadaran bahwa dengan memilih mereka ikut berperan dalam menentukan arah dan masa depan bangsa dan negaranya. Masyarakat pun sudah semakin pintar dan cerdas dalam menentukan pilihannya. Pemilih rasional semakin meningkat dengan semakin terbukanya akses informasi melalui berbagai media elektronik dan cetak.
Debat kandidat yang dilakukan secara terbuka semakin membuka mata dan telinga pemilih dalam menentukan pilihannya. Secara proses dan metode yang digunakan boleh dikatakan demokrasi di Indonesia sudah mengalami kemajuan. Tapi, secara sikap dan perilaku dari para pelaku demokrasi itu sendiri tampaknya masih dipertanyakan. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya bentuk pemaksaan, kampanye hitam, fitnah, kebohongan dari para tokoh politik, partai atau pendukung masing-masing calon untuk memenangkan kandidatnya.
Banyak terjadi retaknya persahabatan, pertemanan, dan bahkan persaudaraan karena perbedaan pandangan soal calon presiden yang dipilihnya. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana sikap yang akan mereka tunjukkan dalam menerima hasil dari proses pilpres ini nantinya. Di sinilah tingkat kedewasaan demokrasi Indonesia akan diuji.
Saat ini kita tengah memasuki tahap yang paling krusial dalam proses Pilpres 2014, yaitu perhitungan suara yang akan menentukan siapa yang akan menjadi pemenang dalam pertarungan pilpres ini. Seperti telah diduga, ketatnya persaingan dan tipisnya perbedaan angka dukungan di antara kedua capres telah menimbulkan ketegangan di antara kedua kubu dan pendukungnya.
Perbedaan hasil perhitungan cepat (quick count) dari lembaga-lembaga survei yang ada, telah membuat masing-masing kubu mendeklarasikan kemenangannya. Langkah ini tentunya akan sangat membingungkan masyarakat luas dan menimbulkan ketegangan di antara pendukung kedua kubu yang bertarung.
Apalagi dengan adanya pernyataan-pernyataan yang bersikap provokatif dari para pemimpin dan elite partai masing-masing kubu, akan semakin menambah ketegangan dan sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal antarpendukung kedua kubu yang bertarung. Melihat ketegangan dan kesimpangsiuran yang terjadi, sangat terlihat bahwa KPU belum begitu siap dalam menghadapi situasi seperti ini.
Tindakan cepat dari Presiden SBY dengan membuat konferensi pers dan pemanggilan kedua kubu yang bertarung sudah sangat tepat dan patut diapresiasi, paling tidak untuk meredam ketegangan yang ada. Tampaknya KPU juga perlu bertindak cepat dan tegas menyikapi polemik hasil quick count ini. Media massa pun seharusnya bersikap netral demi kepentingan bangsa dan negara.
Saran untuk KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu adalah, pertama, KPU seharusnya menjadi satu-satunya sumber yang dapat mengeluarkan hasil penghitungan pemilu, baik penghitungan sementara melalui penghitungan cepat maupun penghitungan hasil sesungguhnya (real count).
Kedua, seharusnya ada peraturan dari KPU tentang proses deklarasi kemenangan dari pihak-pihak yang bertarung, di mana deklarasi kemenangan hanya boleh dilakukan setelah hasil perhitungan resmi dari KPU dikeluarkan.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, sesungguhnya kedewasaan demokrasi di Indonesia sedang diuji. Apakah kita bisa bersikap dewasa dalam berdemokrasi? Apakah kita bisa dewasa dalam melihat perbedaan? Dan apakah kita bisa bersikap dewasa dalam menyikapi hasil dari pilpres ini?
Berdemokrasi secara dewasa adalah berdemokrasi tanpa paksaan dan intimidasi, tanpa kampanye hitam, tanpa ada saling memfitnah, menghormati perbedaan dan pendapat pihak lain tanpa harus mengorbankan pertemanan, persahabatan, apalagi persaudaraan. Kedewasaan berdemokrasi dapat dilihat dari cara berkampanye yang lebih menonjolkan visi, misi, program kerja dan target-target yang akan dicapai ketimbang menceritakan kejelekan-kejelekan dan kelemahan pihak lawan.
Kedewasaan berdemokrasi juga terpancar dari proses berjalannya pemungutan suara yang berlangsung dalam suasana aman dan damai, bebas dari kecurangan dan upaya-upaya manipulasi perhitungan suara. Dan, pada akhirnya kedewasaan berdemokrasi juga akan terlihat dari bagaimana kita merespons hasil perhitungan suara, berdemokrasi secara dewasa adalah mau menerima apapun hasil yang diperoleh secara jujur dan adil tanpa perlu mencari-cari kesalahan dan alasan-alasan kecurangan.
Kedewasaan berdemokrasi seharusnya ditunjukkan oleh para pasangan capres yang bertarung, para elite dan pimpinan partai pendukung, yang secara otomatis akan diikuti oleh para pendukung-pendukungnya di tingkat akar rumput. Sehingga, ketatnya persaingan tidak akan menimbulkan konflik horizontal yang pastinya akan merugikan bangsa dan rakyat Indonesia itu sendiri.
Yang menang jangan jemawa yang kalah harus legawa, pendukung tidak perlu marah jika jagoannya kalah. Karena, siapapun pemenangnya dia tetap presiden kita semua. Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa dan hanya satu presiden untuk Indonesia tercinta. Semoga, kita semakin dewasa dalam berdemokrasi!
HANDI SAPTA MUKTI, SSI, MM
Praktisi Manajemen dan Teknologi Informasi
Pemerhati Masalah Sosial & Lingkungan
(hyk)