Hitam-Putih Pilpres 2014
A
A
A
SAAT ini kita akan memasuki minggu tenang. Sesuai nomenklaturnya, kita berharap semua lapisan masyarakat, pemilik hak pilih dan terutama calon pengguna hak pilih pada Pilpres 2014 benar-benar berada dalam keadaan tenang.
Mereka berhak mendapatkan itu karena dijamin undang-undang (UU). Jika muncul ketidaktenangan, negara bisa mengambil tindakan hukum agar semua orang memperoleh ketenangan sebagaimana dijanjikan konstitusi. Namun, mencermati perkembangan selama kampanye pilpres kali ini, kita pantas waswas. Benarkah kita akan memperoleh ketenangan sebagaimana dijaminkan UU dimaksud? Keraguan pantas menyeruak, seiring hanya muncul dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Masyarakat kita berada dalam hitam-putih politik. Tak ada jalan kembali, point of no return, karena kita hanya disodorkan dua nama capres dan cawapres. Kalau tidak Prabowo Subianto dengan pasangannya Hatta Rajasa, pilihan lain hanya Joko Widodo dengan Jusuf Kalla. Semua pihak yang berkepentingan, semua kubu, semua kutub, bahkan telah mengambil tempatnya. Berhadap-hadapan, berkonfrontasi, head to head, satu lawan satu. Saya lawan kamu, kita lawan mereka, dan Prabowo versus Jokowi.
Kalau bukan pro-Jokowi berarti pro-Prabowo. Situasi ini jika tidak dikelola secara baik, sungguh berbahaya! Kita tengah berada dalam situasi yang secara diametral menempatkan anak-anak negeri menentukan sendiri rival sesuai haluan politiknya. Di mana letak masalahnya? Pada pelaku politik atau infrastruktur politiknya?
Paling kurang, seandainya para pimpinan partai politik mau berpikir jauh ke depan, melampaui kepentingan pribadi, kelompok, dan sesaat, tentu akan ada nama-nama alternatif sehingga situasinya tak perlu berhadap-hadapan.
Serbapermisif
Tapi, itulah politik. Sebuah jalan yang kalau tidak dibalut etik dan konsensus bersama menuju kebaikan, akan menyebabkan kehidupan serbapermisif. Yang penting tujuan tercapai, abaikan semua norma, etik, agama, dan konstitusi. Thomas Hobbes (1588-1679), jauh berabad-abad sesudah Aristoteles, terang-terangan membuka ”aib” manusia.
Kita, makhluk manusia, sejatinya tidaklah mulia-mulia amat sebagaimana diangankan Aristoteles dan kawan-kawannya, para filosof Yunani. Melalui Leviathan, salah satu karya pentingnya, Hobbes mengajukan gagasan berani tentang hakikat manusia (human nature). Ia yakin, segala tindakan manusia dilakukan semata untuk kepentingan diri sendiri, utamanya untuk mencapai kepuasan (satisfaction) dan menghindari kemalangan (harm).
Untuk menguatkan pendapatnya, Hobbes menguraikan aksioma tahap prapolitis perkembangan sosial manusia yang dalam bahasanya disebut sebagai keadaan alamiah (state of nature). Situasi inilah yang kini tengah menyergap para politisi Indonesia. Mereka diempaskan ke belantara politik sehingga, demikian asumsi Hobbes, merasa harus mengamankan diri masing-masing dari ancaman sesamanya; suatu kondisi semua lawan semua.
Hobbes menyarankan perlunya kontrak sosial antara masing-masing warga-bangsa. Dalam kaitan ini, di mana kita akan meletakkan Machiavelli (1469-1527). Peletak dasar pemikiran Hobbes yang harus berhadapan dengan Aristoteles atau berdiri menengahi keduanya? Bagi Machiavelli, alih-alih gamang memaknai politik antara yang empirik dan yang transendental, ia justru menatap politik sebagai gerak, dinamika, kekuatan rasionalitas, serta keputusan untuk bermain dalam yang empirik ke yang transendental.
Politik dengan demikian adalah kehendak untuk menerjang celah antara yang empirik dengan yang transendental, politik adalah determinasi akal budi terhadap yang mungkin (virtu) dan yang tak mungkin (fortuna). Sayangnya, di tengah dua kubu yang bertarung tersebut belum tumbuh penengah dan wasit yang benar-benar berdiri di atas dan untuk semua golongan. Berderet-deret cendekiawan menjadi pelindung di kedua kubu.
Coba simak peringatan seorang the founding father kita, Bung Hatta. ”...Kaum cendekiawan Indonesia mempunya tanggung jawab moral terhadap perkembangan masyarakatnya. Apakah dia duduk di dalam pimpinan negara dan masyarakat atau tidak, ia tidak akan terlepas dari tanggung jawab itu. Sekali pun berdiri di luar pimpinan, sebagai rakyat-demokrat, ia harus menegur dan menentang perbuatan yang salah dengan menunjukkan perbaikan menurut keyakinannya.” (Kompas, 14 Oktober 1986).
Salah satu indikator sudah terbangunnya kultur demokrasi di negeri ini adalah kala pascapengumuman pilpres yang kalah segera memberikan selamat kepada pemenang dan lantas mengimbau para pendukungnya untuk menyatu bersama kelompok pemenang. Sementara pemenang dengan jiwa besar mau memuji yang kalah, mengapresiasi, serta mengajak tetap bersama-sama membangun Tanah Air tercinta.
Penting disadari, pascapilpres situasi kaku bahkan tegang karena perbedaan pendapat yang terjadi jelang Pilpres 2014 ini (merujuk pada realitas di media sosial) akan mencair karena masyarakat Indonesia, utamanya kelompok menengah yang terus bertumbuh, sudah rasional dan mandiri dalam berpendapat sehingga tidak terpengaruh sikap partisan dan provokasi para elite politik yang berada di kedua kubu kontestan pilpres. Bertambah kayanya pengalaman berdemokrasi bangsa ini semoga akan menumbuhkembangkan kedewasaan dalam berpolitik.
Jangan Mencubit
Kekuasaan dalam semua bentuknya bersifat menggoda dan menipu. Kekuasaan adalah suatu labirin–benak Anda menjadi terobsesi memecahkan beragam masalahnya yang tak terbatas. Lalu Anda menyadari, sesungguhnya Anda telah tersesat. Dengan kata lain, kekuasaan menjadi paling menggelikan jika Anda menganggapnya dan menyikapinya terlalu serius. (Robert Greene, The 48 Laws of Power).
Situasi inilah yang belakangan menyergap para politisi kita. Mengaduk-aduk emosi para pendukungnya, seakan berada di medan pertempuran hidup-mati. Kekhawatiran semakin membayang, terlebih karena dalam beberapa hari terakhir, aksi saling serang kian intensif dan masif antardua kubu pendukung. Situasi itu semakin keruh karena beberapa media massa ikut menuangkan bahan bakar ke tumpukan jerami emosi yang mulai tersulut.
Sudah bukan rahasia lagi, ketegangan memuncak, sedikit banyak, karena kian sistemiknya pemberitaan yang menyudutkan pasangan tertentu. Satu media mendukung, satunya lagi menyudutkan. Mereka butuh diperlakukan dengan adil. Yakinlah, jika media berlaku adil, para pendukung, relawan, dan tim sukses semua pasangan tak akan sudi membiarkan amuk muncul.
Tak ada yang suka rela diperlakukan tidak adil. Adakah mereka yang memperoleh kesenangan karena perlakuan adil akan membalasnya dengan anarki? Dengan logika sederhana, orang tua kita bilang; kalau dirimu dicubit sakit, jangan mencubit orang. Pascapilpres pemenang perlu mengapresiasi yang kalah dan yang kalah harus berbesar hati menerima kekalahannya.
Sebagai saudara, mereka harus tetap berangkulan dalam pelukan Ibu Pertiwi! Peringatan Bung Hatta terhadap para cendekiawan dan sentilan Greene terkait ambisi politik sebagian kita kiranya dapat menyadarkan betapa penting menyediakan suasana tenang dalam makna yang sebenarnya. Jangan karena mereka, lantas kita tidak tenang. Jangan karena ambisi mereka, ketenangan negeri ini terganggu.
Dalam dunia politik, kita hanya mengenal hitam dan putih. Tetapi, hidup bukan semata politik. Politik hanyalah jalan di antara banyak jalan lain menuju hidup yang bermartabat berdasar Pancasila.
JANNUS T H SIAHAAN
Pengamat Sosial Politik
Mereka berhak mendapatkan itu karena dijamin undang-undang (UU). Jika muncul ketidaktenangan, negara bisa mengambil tindakan hukum agar semua orang memperoleh ketenangan sebagaimana dijanjikan konstitusi. Namun, mencermati perkembangan selama kampanye pilpres kali ini, kita pantas waswas. Benarkah kita akan memperoleh ketenangan sebagaimana dijaminkan UU dimaksud? Keraguan pantas menyeruak, seiring hanya muncul dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Masyarakat kita berada dalam hitam-putih politik. Tak ada jalan kembali, point of no return, karena kita hanya disodorkan dua nama capres dan cawapres. Kalau tidak Prabowo Subianto dengan pasangannya Hatta Rajasa, pilihan lain hanya Joko Widodo dengan Jusuf Kalla. Semua pihak yang berkepentingan, semua kubu, semua kutub, bahkan telah mengambil tempatnya. Berhadap-hadapan, berkonfrontasi, head to head, satu lawan satu. Saya lawan kamu, kita lawan mereka, dan Prabowo versus Jokowi.
Kalau bukan pro-Jokowi berarti pro-Prabowo. Situasi ini jika tidak dikelola secara baik, sungguh berbahaya! Kita tengah berada dalam situasi yang secara diametral menempatkan anak-anak negeri menentukan sendiri rival sesuai haluan politiknya. Di mana letak masalahnya? Pada pelaku politik atau infrastruktur politiknya?
Paling kurang, seandainya para pimpinan partai politik mau berpikir jauh ke depan, melampaui kepentingan pribadi, kelompok, dan sesaat, tentu akan ada nama-nama alternatif sehingga situasinya tak perlu berhadap-hadapan.
Serbapermisif
Tapi, itulah politik. Sebuah jalan yang kalau tidak dibalut etik dan konsensus bersama menuju kebaikan, akan menyebabkan kehidupan serbapermisif. Yang penting tujuan tercapai, abaikan semua norma, etik, agama, dan konstitusi. Thomas Hobbes (1588-1679), jauh berabad-abad sesudah Aristoteles, terang-terangan membuka ”aib” manusia.
Kita, makhluk manusia, sejatinya tidaklah mulia-mulia amat sebagaimana diangankan Aristoteles dan kawan-kawannya, para filosof Yunani. Melalui Leviathan, salah satu karya pentingnya, Hobbes mengajukan gagasan berani tentang hakikat manusia (human nature). Ia yakin, segala tindakan manusia dilakukan semata untuk kepentingan diri sendiri, utamanya untuk mencapai kepuasan (satisfaction) dan menghindari kemalangan (harm).
Untuk menguatkan pendapatnya, Hobbes menguraikan aksioma tahap prapolitis perkembangan sosial manusia yang dalam bahasanya disebut sebagai keadaan alamiah (state of nature). Situasi inilah yang kini tengah menyergap para politisi Indonesia. Mereka diempaskan ke belantara politik sehingga, demikian asumsi Hobbes, merasa harus mengamankan diri masing-masing dari ancaman sesamanya; suatu kondisi semua lawan semua.
Hobbes menyarankan perlunya kontrak sosial antara masing-masing warga-bangsa. Dalam kaitan ini, di mana kita akan meletakkan Machiavelli (1469-1527). Peletak dasar pemikiran Hobbes yang harus berhadapan dengan Aristoteles atau berdiri menengahi keduanya? Bagi Machiavelli, alih-alih gamang memaknai politik antara yang empirik dan yang transendental, ia justru menatap politik sebagai gerak, dinamika, kekuatan rasionalitas, serta keputusan untuk bermain dalam yang empirik ke yang transendental.
Politik dengan demikian adalah kehendak untuk menerjang celah antara yang empirik dengan yang transendental, politik adalah determinasi akal budi terhadap yang mungkin (virtu) dan yang tak mungkin (fortuna). Sayangnya, di tengah dua kubu yang bertarung tersebut belum tumbuh penengah dan wasit yang benar-benar berdiri di atas dan untuk semua golongan. Berderet-deret cendekiawan menjadi pelindung di kedua kubu.
Coba simak peringatan seorang the founding father kita, Bung Hatta. ”...Kaum cendekiawan Indonesia mempunya tanggung jawab moral terhadap perkembangan masyarakatnya. Apakah dia duduk di dalam pimpinan negara dan masyarakat atau tidak, ia tidak akan terlepas dari tanggung jawab itu. Sekali pun berdiri di luar pimpinan, sebagai rakyat-demokrat, ia harus menegur dan menentang perbuatan yang salah dengan menunjukkan perbaikan menurut keyakinannya.” (Kompas, 14 Oktober 1986).
Salah satu indikator sudah terbangunnya kultur demokrasi di negeri ini adalah kala pascapengumuman pilpres yang kalah segera memberikan selamat kepada pemenang dan lantas mengimbau para pendukungnya untuk menyatu bersama kelompok pemenang. Sementara pemenang dengan jiwa besar mau memuji yang kalah, mengapresiasi, serta mengajak tetap bersama-sama membangun Tanah Air tercinta.
Penting disadari, pascapilpres situasi kaku bahkan tegang karena perbedaan pendapat yang terjadi jelang Pilpres 2014 ini (merujuk pada realitas di media sosial) akan mencair karena masyarakat Indonesia, utamanya kelompok menengah yang terus bertumbuh, sudah rasional dan mandiri dalam berpendapat sehingga tidak terpengaruh sikap partisan dan provokasi para elite politik yang berada di kedua kubu kontestan pilpres. Bertambah kayanya pengalaman berdemokrasi bangsa ini semoga akan menumbuhkembangkan kedewasaan dalam berpolitik.
Jangan Mencubit
Kekuasaan dalam semua bentuknya bersifat menggoda dan menipu. Kekuasaan adalah suatu labirin–benak Anda menjadi terobsesi memecahkan beragam masalahnya yang tak terbatas. Lalu Anda menyadari, sesungguhnya Anda telah tersesat. Dengan kata lain, kekuasaan menjadi paling menggelikan jika Anda menganggapnya dan menyikapinya terlalu serius. (Robert Greene, The 48 Laws of Power).
Situasi inilah yang belakangan menyergap para politisi kita. Mengaduk-aduk emosi para pendukungnya, seakan berada di medan pertempuran hidup-mati. Kekhawatiran semakin membayang, terlebih karena dalam beberapa hari terakhir, aksi saling serang kian intensif dan masif antardua kubu pendukung. Situasi itu semakin keruh karena beberapa media massa ikut menuangkan bahan bakar ke tumpukan jerami emosi yang mulai tersulut.
Sudah bukan rahasia lagi, ketegangan memuncak, sedikit banyak, karena kian sistemiknya pemberitaan yang menyudutkan pasangan tertentu. Satu media mendukung, satunya lagi menyudutkan. Mereka butuh diperlakukan dengan adil. Yakinlah, jika media berlaku adil, para pendukung, relawan, dan tim sukses semua pasangan tak akan sudi membiarkan amuk muncul.
Tak ada yang suka rela diperlakukan tidak adil. Adakah mereka yang memperoleh kesenangan karena perlakuan adil akan membalasnya dengan anarki? Dengan logika sederhana, orang tua kita bilang; kalau dirimu dicubit sakit, jangan mencubit orang. Pascapilpres pemenang perlu mengapresiasi yang kalah dan yang kalah harus berbesar hati menerima kekalahannya.
Sebagai saudara, mereka harus tetap berangkulan dalam pelukan Ibu Pertiwi! Peringatan Bung Hatta terhadap para cendekiawan dan sentilan Greene terkait ambisi politik sebagian kita kiranya dapat menyadarkan betapa penting menyediakan suasana tenang dalam makna yang sebenarnya. Jangan karena mereka, lantas kita tidak tenang. Jangan karena ambisi mereka, ketenangan negeri ini terganggu.
Dalam dunia politik, kita hanya mengenal hitam dan putih. Tetapi, hidup bukan semata politik. Politik hanyalah jalan di antara banyak jalan lain menuju hidup yang bermartabat berdasar Pancasila.
JANNUS T H SIAHAAN
Pengamat Sosial Politik
(hyk)