Rupiah Loyo, Listrik Redup

Kamis, 19 Juni 2014 - 15:05 WIB
Rupiah Loyo, Listrik Redup
Rupiah Loyo, Listrik Redup
A A A
DALAM sepekan ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali terseok-seok. Pada penutupan perdagangan kemarin, posisi rupiah nyaris menembus level psikologis Rp12.000 per dolar Amerika.

Tren penguatan dolar AS terhadap sejumlah mata uang di dunia, salah satunya dipicu aksi Bank Sentral AS yang diprediksi bakal memangkas lagi besaran quantitative easing bulanan dari USD10 miliar menjadi USD35 miliar. Sementara itu, sentimen positif dari dalam negeri yang diharapkan memperkuat nilai tukar rupiah masih nihil. Investor memilih wait and see sambil mencermati situasi dan suhu politik domestik yang mulai memanas dalam masa kampanye pemilihan calon presiden RI.

Pelemahan rupiah yang kini bercokol di level Rp11.995 pada penutupan perdagangan kemarin, jauh meninggalkan asumsi nilai tukar yang dipatok dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2014 sebesar Rp11.600 per dolar AS.

Pelemahan rupiah terhadap dolar AS yang begitu tajam dalam sepekan ini membuat Menteri Keuangan Chatib Basri kelabakan setiap mendapat pertanyaan dari awak media, bagaimana menjaga stabilitas rupiah agar tetap dalam kisaran sesuai nilai tukar yang ditetapkan dalam RAPBN-P 2014. “Kalau bertanya rupiah per harian, saya jadi seperti pedagang valas,” ujar mantan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu.

Penguatan dolar AS terhadap rupiah senantiasa membawa dampak yang tidak bisa dihindari termasuk pada urusan anggaran subsidi listrik. Pengaruh langsung dari pelemahan rupiah terhadap dolar AS, sebagaimana diakui Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman, menyebabkan kenaikan biaya pokok produksi listrik yang ujung-ujungnya pemerintah harus menambah anggaran subsidi listrik.

Kabarnya, setiap pelemahan nilai tukar rupiah sebesar Rp100 per dolar AS maka pemerintah harus menaikkan anggaran subsidi listrik hingga sebesar Rp1,1 triliun. Selain pelemahan nilai tukar rupiah yang memengaruhi angka subsidi listrik, peningkatan harga minyak dunia juga turut mengoreksi angka subsidi yang sudah diperhitungkan matang oleh pemerintah. Bukankah belakangan ini sejumlah pembangkit listrik sudah menggunakan bahan bakar gas? Betul.

Masalahnya, penetapan harga gas masih dikaitkan dengan harga minyak. Kalau harga minyak naik, menurut Jarman, otomatis harga gas ikut terdongkrak. Karena itu, bila harga minyak dunia naik disusul penguatan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah maka pemerintah harus siap-siap menarik kocek lebih dalam lagi untuk mengatasi angka subsidi listrik.

Untuk anggaran subsidi listrik dalam APBN-P 2014 sudah disepakati sebesar Rp103,82 triliun. Anggaran subsidi tersebut sedikit turun dari usulan semula sebesar Rp107,15 triliun, namun terjadi lonjakan jika dibandingkan target subsidi listrik dalam APBN 2014 yang dipatok sebesar Rp71,36 triliun. Penambahan angka subsidi yang begitu besar salah satunya mengantisipasi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Dalam RAPBN-P 2014 pemerintah menetapkan rupiah berada di level Rp11.600 per dolar AS bandingkan pada APBN 2014 dipatok pada level Rp10.500 per dolar AS. Kenaikan subsidi listrik dalam RAPBN-P 2014 yang cukup signifikan itu ternyata tetap tak bisa membuat manajemen PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) lega mengelola perusahaan tersebut. Tuntutan bagaimana harga listrik berada dalam jalur harga keekonomian tetap harus diwujudkan.

Karena itu, meski kalangan pengusaha mati-matian meminta pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik, tetap tidak bisa dihalangi. Pemerintah sudah mendapat lampu hijau dari DPR RI untuk menaikkan tarif listrik per 1 Juli mendatang. Penyesuaian tarif listrik kali ini menyasar enam golongan, meliputi industri I-3 non go public , rumah tangga R-2, pemerintah P-2, penerangan jalan umum P- 3, rumah tangga R-1 (2.200 VA) dan rumah tangga R-1 (1.300 VA).

Persoalan listrik di negeri ini bila tidak segera dibereskan maka yakinlah akan menjadi ganjalan serius ke depan. Total kapasitas terpasang pembangkit listrik saat ini, berdasarkan versi Kementerian ESDM sebesar 49.630 megawatt (MW), yang bersumber dari PLN sekitar 72%, independent power producer (IPP) sebesar 21%, PPU sekitar 4% dan IO non-BBM sebesar 3%.

Adapun kebutuhan listrik dari 2013 hingga 2022 diprediksi rata-rata bertumbuh sekitar 8,4% per tahun. Karena itu, penambahan kapasitas pembangkit listrik tak bisa ditunda-tunda lagi atas alasan apa pun.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7668 seconds (0.1#10.140)